Sebelumnya: Jalan Pemikiran Muhyiddin… (1)
Konsep Sentral Wahdah al-Wujud
Konsep sentral wahdat al-wujud Ibn Arabi ini adalah tajalliyat al-Haq. Adalah menampaknya diri Allah swt. melalui penciptaan alam. Kata jalli dalam terma Ibnu Arabi identik dengan konsep faydh (emanasi, pelimpahan). Konsep dasar inilah yang secara ontologis menghubungankan antara khaliq dengan makhluk, yakni yang satu menjadi banyak. Dzat Allah yang asli tetaplah azali dan transenden secara absolut.
Dalam tajallinya, Ibn Arabi membedakan antara tajalli dzati (yakni penampakan diri esensial atau penampakan pada dirinya sendiri), dan tajalli suluqi (penampakan Allah dalam berbagai bentuk yang tidak terbatas dalam alam wujud yang konkret). Dan ritual yang paling utama untuk mencapai taraf ini adalah dengan berkhalwat.
Ia percaya bahwa seseorang yang berlatih secara benar, disiplin dan intensif, maka ia dapat wushul atau bertemu kepada Allah di mana puncaknya adalah pencapaian pengetahuan dan kebenaran sejati dengan Allah. Demikian juga, seseorang yang sudah sampai pada tingkat spiritualitas ini, dipercaya mampu menembus tabir yang selama ini membatasi antara Allah dengan hambanya melalui mata hati (ain bashirah). Jika hal ini tercapai, maka kesatuan esensi dan rasa seakan telah berakar, di mana dia menjadi Anda dan Anda menjadi dia.
Tak hanya itu, Ibn Arabi juga memberi makna agama sebagai ketundukan kepada Allah, ketaatan, balasan dan kebiasaan. Ia memetakan dua macam agama, pertama al-din indallah (agama yang diserukan oleh para Rasul Allah); kedua, al-din indal-khalq (ilham-ilham kebijaksanaan yang diperoleh melalui Rasul dalam tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat). Tentunya, yang pertama identik dengan agama samawi, sedang yang kedua dengan agama ardhi.
Pengaruh Al-Hallaj
Kita tahu, Ibn Arabi merupakan figur representatif yang mengikuti jejak pendahulunya, yaitu al-Hallaj. Ia juga beranjak dari pembacaan atas Allah yang menurutnya tidak dapat terlihat oleh siapapun. Bahkan, ia menolak klaim para sufi yang mengaku melihat Allah dalam keadaan ekstase atau fana mereka. Allah hanya ahir dan majalli serta menjadi nampak dalam bentuk-bentuk ephipani atau penampakan (tersusun dalam alam semesta).
Allah hadir dalam keyakinan di hati. Ia membuka rahasia diri-Nya sendiri kepada hati dalam suatu cara yang memungkinkan hati mengakui-Nya. Lantas mata ini menyaksikan hanya Allah dari keyakinan. Keyakinan melahirkan ukuran dari kapasitas hati. Itulah mengapa terdapat banyak keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Kepada setiap orang yang percaya, Allah adalah Dia yang menyingkapkan dirinya dalam bentuk keyakinan (iman). Jika Allah menampakkan dirinya dalam bentuk yang berbeda, orang yang percaya tidak dalam bentuk itu akan menolak-Nya. Dan inilah sebab mengapa keyakinan-keyakinan dogmatis bertikai satu dengan lainnya.
Konsepsi ketuhanan Ibn Arabi dengan demikian berdiri di atas dikotomi yang membedakan antara Allah yang sebenarnya dengan Allah yang merupakan persepsi manusia terhadap-Nya. Allah yang sebenarnya adalah Allah dalam diri-Nya sendiri, dalam Dzat-nya, yang tidak dapat diketahui karena keterbatasan akal manusia. Ibn Arabi menyebutnya sebagai al-Ilah al-Haqq, al-Ilah al-Mutlaq, al-Ilah al- Majhul, atau Ankar al-Nakirat, al-Ghayb al-Mutlaq, dan al-Ghayb al-Aqdas.
Sementara itu, Allah dalam kepercayaan manusia, yang tentu diwarnai oleh kapasitas pengetahuan dan kesiapan partikular mereka (al-isti’dad al-juz’i) untuk mempersepsi-Nya, disebut oleh Ibn Arabi sebagai al-Ilah al-Mu’taqad, al-Ilah fi al-I’tiqad, al-Haqq al-I’tiqadi, al-Haqq alladhi fi al-mu’taqad, dan al-Haqq al-makhluq fi al-I’tiqad.
Namun, terlepas dari itu, di tengah-tengah berbagai bentuk keyakinan dan peribadatan yang berbeda tersebut, ahli ma’rifat hanya akan melihat satu hakikat objek sesembahan. Dari titik inilah semua tipe agama adalah sama, dan Islam tidak lebih baik dari pada kultus. Di sini tidak menjadi penting keyakinan apa yang seseorang miliki atau ritual apa yang ia kerjakan. Masjid sejati adalah hati yang suci dan jernih di mana semua orang menyembah Allah di dalamnya (jadi bukan di dalam masjid yang terbuat dari batu).
Ibn Arabi juga menasihatkan agar seseorang hendaknya tidak terlalu mengikatkan diri secara eksklusif kepada suatu paham keyakinan tertentu. Sebab, menurutnya, eksklusivisme tersebut hanya akan menggagalkan seseorang untuk menemukan dan mengakui kebenaran hakiki dari suatu persoalan, sehingga cenderung menyalahkan yang lain.
Padahal Allah yang Maha Wujud dan Kuasa tidaklah terbatasi oleh sekat-sekat sempit suatu keyakinan peribadatan. Dia hadir dalam tiap bentuk kepercayaan manusia. Ibnu Arabi menegaskan, bahwa tidak ada agama yang lebih mulia dari agama cinta dan rindu akan Allah. Cinta adalah esensi dari semua keyakinan, terlepas apapun yang menjadi kulit luarnya.
dalam kitabnya Futuhat al-Makkiyyah, Ibn Arabi mengatakan “Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya. Itulah agama dan keimananku.” Beliau mengungkapkan bahwa agama yang sejati adalah agama yang dilandasi oleh cinta kasih, agama yang sejati akan merangkul seluruh manusia, agama yang sejati -menurut beliau- membawa pesan-pesan universal yang menuju ke arah kebaikan dan kebahagiaan.
Tentu saja agama cinta yang dimaksud oleh Ibn Arabi adalah memahami agama sebagai sebuah lembaga yang membumikan cinta kasih. Ibn Arabi ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa jikalau kita menelusuri setiap ajaran, pesan, wejangan dan petuah dari para nabi yang membawa agama-agama di dunia, bahwa pada hakikatnya dan esensi utama dari pesan tersebut adalah Cinta. Wallahu a’lam bisshawab.