Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata literasi memiliki beberapa makna. Diantaranya adalah kemampuan menulis dan membaca, pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, serta kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Sedangkan dalam wikipedia, lietrasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemamuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung da memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehdupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dipisahkan dari kemampuan berbahasa.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya literasi ini merupakan aktivitas manusia yang sangat dekat sekali hubungannya dengan membaca dan menulis. Dari dua pekerjaan ini, diharapkan manusia dapat memiliki kemampuan berbahasa, keterampilan hingga keahlian untuk memecahkan masalah tertentu.
Dalam hal ini, agama islam tampaknya merupakan agama yang sangat menekankan kesadaran berliterasi. Hal ini dapat kita telisik dari ayat al-Qur’an yang pertama kali turun pada nabi Muhammad SAW yang berbunyi: Iqra’ (artinya: Bacalah) QS. Al-Alaq:1).
Pada artikel ini, saya coba menuliskan ketekunan para ulama kita dalam menuntut ilmu, hubungan mereka dengan buku dan kitab, hingga begitu rajinnya para ulama kita perihal membaca dan menulis atau mengarang.
Amirul Mukinin, Sayyidini Ali, pernah berkata pada Kumail, “Camkan apa yang aku katakan kepadamu. Pertama, orang berilmu yang rabbani. Kedua, orang berilmu yang berjalan diatas keselamatan. Ketiga, orang bodoh yang suka ikut-ikutan. Ia selalu mengikuti ke mana arah angin. Ia tidak mau berpedoman pada cahaya ilmu dan tidak berlindung pada pilar yang kokoh.
Sesungguhnya ilmu itu lebih baik dari pada harta. Ilmu akan menjadi anda, sedangkan andalah yang akan menjaga harta. Ilmu dapat mengembangkan amal, sedangkan harta itu berkurang karena dibelanjakan.
Karya ilmu akan tetap dikenang meskipun orang yang bersangkutan telah meninggal dunia, sedangkan karya harta akan hilang bersama meninggalnya orang yang bersangkutan. Para penyimpan harta itu telah mati kendatipun mereka masih hidup, sedangkan para ulama itu akan terus abadi sepanjang zaman. Meskipun jasad mereka telah tiada, mamun keteladanan-keteladanan mereka tetap bersemayam didalam hati.”
Kalimat-kalimat tersebut saya temukan dalam buku Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban karya Suherman, M.Si. Kalimat Sayyidina Ali di atas mengindikasikan semangat para ulama dalam mencari ilmu. Bagi mereka, mencari ilmu merupakan perintah suci dari Allah untuk meninggikan kalimat Allah. Seolah-olah, buku merupakan bahan utama untuk hidup melebihi sembako.
Membaca adalah jihad memerangi kebodohan yang bersemayam dalam diri dan menulis merupakan jihad menyebarkan ilmu supaya orang lain turut berilmu pula. Oleh karena itu, mari kita simak bagaimana ketekunan para ulama dalam membaca dan menulis ilmu pengetahuan.
Ibnu al-Jauzi rahimullah mengatakan, “Selama menuntut ilmu, aku telah membaca kitab sebanyak dua puluh ribu jilid. Dengan rajin membaca kitab,aku bisa mengetahui sejarah para ulama salaf, cita-cita mereka yang tinggi, hafalan mereka yang luar biasa, ketekunan ibadah mereka, dan ilmu-olmu mereka yang aneh-aneh. Semua itu jelas tidak mungkin diketahui oleh orang yang malas membaca.”
“itulah sebab dalam hal hobi membaca, aku punya kelebihan tersendiri dibandingkan dengan kebanyakan manusia. Aku sangat prihatin atas cita-cita para penuntut ilmu sekarang. Dan segala puji adalah milik Allah,” tutur Ibnu al-Jauzi.
Para ulama adalah orang yang sangat mencintai ilmu, buku dan empunya ilmu (guru). Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari ilmu, kemudian disebarkan dalam rangka mencari keridhoan Allah SWT.
Abdurrahman al-Khatthib al-Baghdadi mengatakan, “aku pernah mendengar Ali bin Abdullah bin Abdul Haffar al-Lughawi bercerita sesungguhnya Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang wafat tahun 310 Hijriah selama empat puluh tahun tinggal di rumah. Setiap hari ia mampu menulis sebanyak empat puluh lembar.” Ini artinya, sosok yang biasa dikenal dengan nama Imam Thobari tersebut telah menulis hampir lima ratus delapan puluh empat ribu (584.000) lembar.
Bagi orang yang malas, jarang membaca dan masih suka membuang-buang waktu mungkin akan tercengang membaca keterangan tersebut. Bagaimana seseorang menghabiskan waktunya demi menulis sebanyak empat puluh lembar setiap harinya. Sedangkan dirinya (mungkin termasuk kita) masih sering menggunakan waktu kurang maksimal, lebih banyak menulis pesan chat dengan teman daripada membaca dan menulis ilmu pengetahuan.
Hasrat, ghirah, semangat mereka begitu menggebu-gebu. Dalam menjelaskan biografi Muhammad bin Jarir ath-Thabari, ustadz Muhammad Kurdi Ali mengatakan, “Ia sama sekali tidak mau kehilangan waktunya barang satu detik pun untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya.”
Jadi tidak heran bila karya-karya Imam ath-Thabari terdiri dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Tak hanya itu, karya-karya Imam ath-Thabari juga dikenal dengan serbaprima dari segi ketajaman, kesungguhan, metode, sistematika, keluasan, kedalaman serta kematangannya.
Diantara karya-karya yang begitu banyak, tafsir ath-Thabari adalah karya Imam Thobari yang cukup terkenal. Ada sedikit cerita perihal karya tersebut. Abdurrahman al-Khattihb al-Baghdadi bercerita bahwa suatu hari Abu Ja’far ath-Thabari bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah kalian ingin mengulas tafsir al-Qur’an karyaku?”
“Ada berapa lembar?” tanya mereka.
“tiga puluh ribu lembar,” jawabnya.
Seketika mereka terkesima dan berkata, “seumur hidupku kamu tidak akan sangup melakukannya.”
Akhirnya ath-Thabari meringkasnya menjadi tiga ribu lembar saja. Kemudian ath-Thabari juga bertanya pada mereka, “apakah kalian juga ingin mengulas kitab sejarah dunia dari nabi Adam hingga sekarang ini?”
“ada berapa lembar?” jawab mereka balik bertanya.
“sama seperti kitab tafsirku tadi,” jawabnya.
Lagi-lagi mereka terkesima dan berkata, “seumur hidup kami tidak akan sanggup melakukannya.”
Mendengar itu ia berkata, “Inna lillahi. Matilah cita-cita!”. Selanjutnya ia hanya mendiktekan tiga ribu lembar saja.
Begitulah, bila kita amati dan renungi kembali, sebenarnya bukan sekolah formal dan tempat dimana para ulama itu belajar. Akan tetapi bagaimana kesungguhan dan proses para ulama itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena sebagaimana kata Syekh Abdul Qodir al-Jailani, “ilmu itu lautan tidak bertepi.” Semakin kita berenang dan mendalami ilmu pengetahuan, ilmu itu tidak akan ada habis-habisnya. (MMSM)