Alifatul Lusiana Uswatun Chasanah Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Kiai Achmad Machsun dari Bojonegoro: Mendirikan Pesantren Rehabilitasi untuk Anak-anak Marginal

2 min read

Kiai Machsun—demikian sapaan akrabnya—adalah kiai sekaligus pengasuh pondok pesantren salafiyah Manba’ul Ulum Bulu, Sugihwaras, Bojonegoro. Ia figur karismatis di tengah masyarakatnya. Nama lengkapnya adalah Kiai Achmad Machsun, di dilahirkan pada 17 Mei 1971 di desa Bulu Kabupaten Bojonegoro. Kiai Machsun lahir di tengah keluarga berwawasan keagamaan yang kuat, pendidikan keagamaannya diperoleh secara langsung melalui didikan ayah, paman dan kakeknya.

Perjalanan pendidikannya dimulai dengan menempuh Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ulum Bulu, Bojonegoro. Selulusnya dari sana Kiai Machsun remaja melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Sugihwaras, Bojonegoro. Barulah seusai itu beliau mendalami pendidikan keagamaan berbasis kitab di Madrasah Diniyah Darul Huda 2. Di sinilah Kiai Machsun dididik secara langsung oleh ayahnya (Kiai Ahmad Maschun), pamannya (Kiai Muhammad Syukri) dan kakeknya (Kiai Muhammad Sholeh).

Pada tahun 1987 Kiai Machsun melanjutkan pendidikannya ke Pare-Kediri dan hanya bertahan beberapa bulan. Sekembalinya dari sana beliau menempuh pendidikan pesantren di Raudlatut Thalibin, Tanggir. Hingga pada tahun 1997 beliau didaulat menjadi delegasi santri dalam pengembangan kajian kitab kuning selama tiga tahun di Jambi, Sumatra. Pada tahun 2000 berakhir-lah masa pendelegasiannya dan beliau kembali ke kampung halamanya untuk berdakwah.

Pesantren Kitab dan Pesantren Rahabilitasi

Perjalanan dakwah Kiai Machsun adalah dengan melanjutkan perjalanan dakwah yang telah dirintis pendahulunya. Embrio pondok pesantren Manba’ul ‘Ulum sendiri sudah dirintis terlebih dahulu oleh Kiai Muhammad Sholeh (kakek Kiai Machsun) dengan sistem bandongan (menyantri tanpa bermukim). Sepulang Kiai Machsun dari Jambi, tiga santrinya saat di Jambi mengikutinya ke tanah kelahirnnya, dan tiga santri inilah awal sejarah pesantren Manba’ul ‘Ulum hingga saat ini.

Dari tiga santri Jambi tersebut beberapa bulan kemudian bertambah tiga orang santri lagi yang datang dari wilayah Bojonegoro sendiri. Dalam perjalanan dakwahnya Kiai Machsun yang sangat tekun menghadiri rutinitas ngaji di Jakarta memunculkan beberapa santri dari Ciledug yang mengikuti sang Kiai pulang ke Bojonegoro untuk menyantri di pondok pesantrennya.

Baca Juga  Karamah Kiai Romly Tamim Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah

Tak hanya menerima santri yang ingin belajar keagamaan, Kiai Machsun juga menerima santri dari masyarakat termarginal, seperti Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) karena psikotropika, narkoba, anak jalanan, anak punk, dan ABH (Anak Berhadapan Hukum). Dalam hal ini, penanganan yang dilakukan oleh pesantren adalah dengan merehabilitasi mereka terlebih dahulu dengan metodologi yang tidak sembarangan.

Dalam 10 tahun pertama perkembangannya, kegiatan-kegiatan keseharian pesantren belum banyak terekspos di masyarakat luas, lebih berfokus pada pendidikan kitab kuning dan keagamaannya. Hingga pada tahun 2010 pesantren mulai dilirik oleh Kemenag untuk bekerja sama dalam melaksanakan program Dipterapan (Pendidikan Terpadu Anak Harapan), semenjak itu pula Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga mengadakan kerja sama untuk menangani anak pelanggar pasal Tata Ruang Kota.

Dalam prosesnya setiap tiga bulan sekali diadakan evaluasi dari pihak pesantren dengan pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Dinas Sosial dan Kepolisian Resor Bojonegoro. Seluruh proses ini mengundang lirikan masyarakat pada pesantren Kiai Machsun hingga banyak orang tua yang menitipkan anaknya secara pribadi untuk dididik di pesantren.

Proses Rehabilitasi yang Unik dan Pendidikan Ala Milenial

Tentu tidak mudah menangani santri dari anak-anak marginal. Metodologi dalam proses rehabilitasi pun bermacam dan bertingkat sesuai kadar diperlukannya dari yang keras hingga yang lembut. Proses rehabilitasi dilakukan dengan menyadarkan, mengubah kebiasaan buruk hingga menanamkan pemahaman akan adanya sunnatullah dalam hidup kepada anak-anak termarginal.

Kepada para santri, Kiai Machsun secara langsung memposisikan diri sebagai bapak, teman, panutan, dan kiai. Dengan pendekatan tersebut terbukti dapat menyentuh ke dalam emosi individu secara langsung. “Melihat mereka dari yang awalnya seperti itu, kemudian kami berhasil hingga bisa melihat mereka mengaji, menghafal juz ‘Amma, lalaran itu nikmat yang tiada tara, mbrebes mili melihatnya saking terharunya” ucap Kiai pada salah satu wawancaranya.

Baca Juga  Gus Baha, Ulama-cum-Cendekia yang Anti Mainstream

Terdapat dua pendidikan di Pesantren Manbaul ‘Ulum; ialah mereka yang dari awal mondok dengan niat memperdalam keilmuan keagaman dan mereka yang mondok karena keinginan merehabilitasi dirinya sembari belajar ilmu agama. Kendatipun demikian jumlah para santri yang mondok melalui rehabilitasi lebih banyak dibandingkan dengan para santri yang mondok dengan niat memperdalam keilmuan keagaman. Hal ini tak lain adalah karena adanya jumlah kenakalan remaja yang besar.

Dalam proses pembelajaran, Kiai Machsun secara langsung membaurkan diri dengan pola pikir para santri, termasuk dengan melakukan pendekatan pola pikir remaja generasi milenial masa kini. Kiai Machsun mendidik mereka dengan tidak mengesampingkan pola pikir remaja mulai dari kenakalannya, sosial budayanya hingga cara-cara penggalian potensinya dilakukan ala milenial kepesantrenan.

Dalam mendalami kehidupan remaja, Kiai Machsun juga sering berbincang dengan para aktivis kepemudaan sampai aktivis kemahasiswaan. Beberapa kali justru para pemuda inilah yang datang kepada Kiai Machsun untuk menerima nasihat dalam mengatasi problem mahasiswa. Kepada mereka, Kiai Machsun selalu menyampaikan prinsip kesederhanaan, sebagaimana agama Islam yang juga dibangun diatas kemudahan. Saat ini, selain menjadi pengasuh pesantren, Kiai Machsun juga aktif sebagai Ketua Tanfidziyah MWC NU Bojonegoro dan sebagai anggota Lembaga Dakwah NU di bidang organisasi.

Keseriusan Kiai Machsun dalam menangani anak-anak marginal di antaranya juga untuk mengamalkan dawuh Kanjeng Nabi “Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu”. Sejalan dengan keadaan anak-anak marginal yang selalu diabaikan potensinya, cara bertahan hidupnya dan kemandiriannya oleh orang lain. Kiai Machsun selalu melihat anak-anak termarginal ini dari sisi positifnya dan meng-cover mereka agar pulih dan menjadi manusia seutuhnya. [MZ]

Alifatul Lusiana Uswatun Chasanah Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *