Ali Mudlofir Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Mengembalikan Fungsi Keluarga sebagai (P)akar Pembelajaran: Refleksi Hari Pendidikan

2 min read

Foto: http://pusakaindonesia.or.id

Setiap tanggal 2 Mei, kita sebagai anak bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peringatan ini dinisbahkan pada hari lahirnya Bapak Pendidikan Nasional sekaligus menteri pendidikan pertama, Ki Hajar Dewantara, yang lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Peringatan Hardiknas tahun ini cukup istimewa. Karena kita berada dalam naungan keberkahan Ramadan, namun juga sekaligus berhadapan dengan suasana pandemi Covid-19. Dalam konteks inilah saya ingin menuangkan beberapa gagasan melalui tulisan singkat ini.

Sekadar mengingat kembali, hakikat pendidikan pada dasarnya adalah bimbingan yang diberikan kepada manusia untuk mencapai kedewasan. The ultimate goal dari pendidikan, kata langevel, adalah “kedewasaan”. Dalam istilah Abu Hamid al-Ghazali disebut “al-kamālah”, yang berarti kesempurnaan. Untuk mencapai kedewasaan atau kesempurnaan, manusia tidak mungkin hanya didesain dan dilatih dalam ruang yang sempurna dan ideal. Karena nantinya dia tidak akan hidup dalam ruang dan waktu yang serba ideal dan sempurna. Seperti saat ini, yang menunjukkan betapa warga dunia sedang menghadapi tata kehidupan yang tidak ideal. Bekerja, belajar, silaturrahmi, hingga suasana Ramadan yang jauh dari kesempurnaan.

Sungguh ini menyadarkan kita bahwa pendidikan yang kita berikan kepada anak didik kita seyogianya tidak hanya sesuatu yang bersifat normal dan standar. Maka tepat istilah yang dipakai oleh John Dewey dalam teori pendidikan, learning by doing. Juga pandangannya tentang experience and nature, di mana arti pengalaman dalam hidup nyata sangat penting untuk diberikan pada anak didik dalam setiap aktivitas pembelajaran. Pikiran Dewey ini tampaknya juga sejalan dengan pikiran tokoh pendidikan Islam, Ibnu Khaldun, tentang pentingnya al-malakah (kecakapan, keterampilan) dalam menghadapi persoalan kehidupan untuk diberikan kepada anak didik sejak kecil.

Baca Juga  Efek Kepak Sayap Kupu-Kupu

Proses pembelajaran diri untuk mencapai kedewasaan dan kesempurnaan itu dalam pandangan pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat (lifelong education, lifelong learning). Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi saat ini dituntut untuk membekali perserta didiknya dengan life skills. Life skill ini harus tampak dalam desain kurikulumnya, baik formal curriculum maupun hidden curriculum. Fenomena saat ini semakin kuat menunjukkan bahwa lulusan sekolah dan perguruan tinggi dituntut untuk mampu membaca peluang dan tantangan, serta keterampilan mengisi peluang dan tantangan tersebut dengan aktivitas dan tindakan nyata. Tingginya angka pencari kerja dan banyaknya PHK pada perusahaan-perusahaan semakin memperkuat pentingnya life skills untuk dilatihkan pada anak-anak negeri ini.

Urgensi prinsip life skills ini terasa menguat saat kita semua menghadapi Covid-19, di mana para guru, dosen, mahasiswa, pelajar, karyawan, bahkan wali murid dituntut untuk bisa menyelesaikan tugas masing-masing meski dalam suasana darurat pandemik. Saat inilah tampak bahwa tugas utama mendidik anak-anak kita bukan berada di pundak para guru, namun ada di pundak orang tua. Umumnya para orang tua baru menyadari betapa beratnya tugas mendidik dan mengajar ketika mendampingi anak-anak mereka belajar secara daring. Sebab selama ini mereka berada dalam zona nyaman, suasana normal, asal anak sudah masuk sekolah, tuntas sudah tugas mendidik karena sudah beralih ke pundak para guru di sekolah. Akibatnya, proses pembimbingan anak, pemberian contoh, dan pengawasan anak menjadi lemah bahkan bisa hilang sama sekali dari orang tua.

Sudah dimaklumi bersama bahwa pembelajaran dan pendidikan sekolah lebih banyak bersifat kognitif dan teoretis. Lalu, di mana anak akan mendapat pengalaman langsung dari teori-teori tersebut? Tentu jawabnya ada pada keluarga. Aplikasi teori pengetahuan, utamanya pematangan moral emosional dan keterampilan, dalam mengahadapi kehidupan nyata harus dilakukan oleh para orang tua dan keluarga. Inilah tantangan pendidikan kita yang lebih banyak memberikan penguatan logika-teoretis di sekolah, namun masih kurang dalam memberikan penanaman nilai dan pembiasaan pada keluarga.

Baca Juga  Membaca Teori Dramaturgi mengenai Fakultas Populer versus Fakultas Islami di UINSA

Ki Hajar Dewantara telah memberikan panduan belajar: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di depan memberi contoh, di tengah membangkitkan semangat, di belakang memberi dorongan). Seharusnya, ini menjadi ruh dan prinsip pendidikan nasional kita, di manapun dan kapanpun, tanpa terkecuali. Karena hakikat pendidikan yang sebenarnya ada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Maka, anak didik kita harus dilatih menghadapi kehidupan. Para guru, dosen, orang tua, tokoh masyarakat, politisi, penegak hukum, dan para pemimpin, mereka semua adalah “Pendidik Masyarakat”. Sudah seharusnya mereka menjalankan fungsi mereka masing-masing dengan sistem Among Ki Hajar Dewantara. Agar anak bangsa ini semakin cerdas mendapat pendidikan yang membelajarkan. Tidak hanya di sekolah, tetapi dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Bulan Ramadan merupakan momen yang tepat untuk mengasah tiga kecerdasan kita; intelektual, emosional, dan spiritual. Dengan mensinergikan ketiga potensi tersebut, semoga bisa lahir insan-insan muttaqīn. Sebagaimana digambarkan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 4 bahwa orang muttaqīn adalah mereka yang memiliki integritas diri dengan Iman dan Islam, serta memiliki kesalehan dan kepekaan sosial. Itulah tujuan pendidikan Islam yang tertinggi menurut al-Ghazali dengan istilah al-Kamālah al-Insāniyyah atau insan kamil. Di sini pula letak strategis peran keluarga-keluarga Islam dalam memanfaatkan momen Ramadan ini untuk memberi penguatan, penyadaran dan pembiasaan bagi anak-anak bangsa terhadap kebijakan WFH: Stay at home, learning from home, Ramadan at home, Tarawih at home, Tadarus at home. Semoga kita bisa menghantarkan anak-anak negeri, masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Muslim untuk bisa mencapai derajat insan muttaqīn dan insan kāmil. Amin. [FYI, MZ]

Ali Mudlofir Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *