Ahmad Maula Asyhar Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Bermusik menurut Cak Nun

2 min read

Berbicara tentang musik, kita mengategorikannya sebagai salah satu bentuk kesenian, dan seni berkenaan dengan keindahan. Sudah menjadi fitrahnya manusia menyukai keindahan. Seseorang lebih memilih rumah yang indah dan pakaian yang bersih daripada yang jelek dan berantakan.

Manusia menyukai seni sebagai representasi dari fitrahnya dalam mencintai keindahan, dan tidak bisa dipisahkan lagi antara kesenian dengan kehidupan manusia. Akhir-akhir ini, banyak yang mempertanyakan hukum bermusik dalam perspektif Islam. Bagaimana dengan ulama yang menggunakan alat musik, KiaiKanjeng misalnya, sebagai alat dalam berdakwah? Apakah itu halal atau haram?

Ditinjau dari segi asas umum ajaran agama bahwa seni suara termasuk kategori mu’amalat dunyawiyyah yang asasnya adalah hukum asal muamalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamanya. Manusia diberi mata, lidah, dan bibir yang digunakan untuk segala kepentingan melihat, berbicara, dan menyanyi, sehingga hal itu diperbolehkan selama tidak melanggar ketentuan syariat.

Syekh Abdullah bin Husayn bin Tohir Ba Alawi al-Hadhrami al-Shafi‘i berkata dalam kitabnya Sullam at-Taufiq dalam bab maksiat telinga, “Di antara maksiat telinga adalah mendengarkan perkataan seseorang padahal itu disembunyikan atau bersifat rahasia; mendengarkan seruling, biola, dan suara-suara yang diharamkan.”

Beliau juga berkata dalam bab maksiatnya tangan, “Di antara maksiat tangan adalah permainan yang menggunakan alat musik yang diharamkan seperti biola, rebab, gitar atau jenis alat musik yang terbuat dari senar dan seruling.”

Di sebuah daerah di Pragaan, Sumenep, pernah berkembang suatu kesenian musik bernama saronen yang digunakan sebagai sarana dakwah. Saronen dikreasikan oleh Kiai Khatib Sendang, cicitnya Sunan Kudus. Kiai Khatib menggunakan pendekatan simbolik dalam kesenianya.

Cara dakwah Kiai Khatib ini sama dengan yang digunakan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan pendekatan budaya. Saronen menggunakan keleneng, yang berarti zikir. Ada juga kenong telok (“telok” artinya “tiga”), yang melambangkan islām, imān, dan isān. Ada juga gong biasa disebut gung dimaknai sebagai lambang Allah Yang Maha Agung.

Baca Juga  Mengubah Cara Berpikir tentang Toleransi

Seiring berjalanya waktu, saronen semakin punah. Filosofi seninya dituduh musyrik, dianggap menyekutukan Allah—seperti gong yang disamakan dengan Allah. Ada semacam indoktrinasi bahwa alat musik yang digunakan dalam saronen itu haram, karena ia warisan Hindu-Buddha, walaupun nyatanya seni musiknya adalah warisan ulama.

Pengetahuan Cak Nun tentang ilmu fikih didapatkan melalui Kiai Muzamil dari Madura tentang pendapat ulama mengenai alat musik. Ada ulama yang berpendapat jika alat musik termasuk malahi, atau sesuatu yang bisa membuat lupa kepada Allah. Musik seperti inilah yang dihukumi haram.

Akan tetapi, ada juga ulama yang berpendapat jika alat musik belum tentu malahi, belum tentu membuat orang lupa kepada Allah, bahkan bisa dijadikan alat untuk mengingat Allah. Jenis musik seperti ini tidak dihukumi haram. Ada ikhtilaf atau perbedaan pendapat soal alat musik.

Tentang pendapat ulama pertama yang menyatakan bahwa bermusik itu menjadi haram jikalau itu membuat lupa kepada Allah, mari kita telaah secara universal. Kita belajar menentukan letak substansi dan nonsubstansinya. Sebenarnya yang menjadi substansi itu musiknya atau kelalaiannya?

Kesalahannya tentu terletak pada kelalaiannya bukan alat musiknya, sebab kelalaian itulah yang haram. Dengan logika ini, berarti musik itu tidak apa-apa, asal tidak membuat kita lalai, begitulah terang Cak Nun.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal lain yang membuat manusia lalai kepada Allah. Misalnya, media sosial yang membuat Anda membuang banyak waktu hingga lupa kepada Allah, jelas itu haram. Tinggalkan lho.

Organisasi yang dikelola sembarangan, untuk provokasi yang menimbulkan kekacauan dan kekeributan, sehingga membuat lupa kepada Allah, jelas itu haram. Tinggalkan dong. Begitu kalau menurut penalaran terhadap alat musik yang menyebabkan lalai tadi. Yang perlu dipahami di mana letak haram dalam bermusik itu. Sekali lagi, pada kelalaiannya atau alat musiknya?

Baca Juga  Membela Gus Dur: Dari Toleransi Hingga Kontroversi

Syirik adalah perbuatan yang menyamakan sesuatu selain Allah atau menuhankan selain Allah. Pada zaman jahiliah, masyarakatnya menyembah berhala Hubal dan Manah. Yang menyembah dan menuhankan selain Allah jelas syirik. Tapi, dari perbuatan itu, Hubal dan Manah salah atau tidak? Apakah Hubal dan Manah langsung masuk neraka?

Bukan begitu, kan? Patung-patung itu tidak bersalah. Letak syirik itu terletak di alat musik, berhala, atau sebetulnya di hati serta pikiran orangnya? Syirik itu tidak kelihatan, karena ia merupakan soal batin. Menuhankan adalah peristiwa nilai, bukan peristiwa benda. Begitu pula tentang kehusyukan salat, Kekhusyukan salat juga tidak kelihatan. Yang kelihatan hanyalah gerakan-gerakan salat. Kekhusyukannya sendiri tidak kelihatan.

Bukan berarti seseorang tidak boleh berpendapat. Tentu boleh saja. Seseorang di medsos mengharamkan musik, tetapi kita tidak punya kewajiban untuk taat kepadanya, melainkan harus tahu ilmunya, dan tidak usah dipikirkan terlalu pusing. Setiap orang boleh berijtihad tanpa boleh membatalkan ijtihad orang lain. Biarlah Allah yang menentukan mana yang benar dan tidak. Lakukan saja apa yang kita yakini.

Sabbaa lillāhi mā fī al-samāwāti wa al-ar—apa saja di alam semesta ini bertasbih kepada Allah. Tidak hanya mulut kita sebagai manusia yang bertasbih, tetapi semua benda termasuk alat musik kita bawa dan kita ajak untuk bertasbih.

Pohon kelapa bisa kita jadikan alat untuk bersyukur. Alat musik gong bisa kita jadikan sebagai alat untuk mengingat Allah. Mari menemukan Allah di semua yang kita lihat, di semua yang kita dengarkan, dan di semua yang kita alami. Itulah hidup, dan itulah Islam. Begitulah ijtihad Cak Nun tentang musik yang disampaikan dalam bukunya Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang. [AR]

Ahmad Maula Asyhar Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya