Abdullah Faiz Mahasiswa UIN Walisongo Semarang; Alumnus PP Apik Kaliwungu dan PP MUS Sarang

Mantan Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah Bicara Soal Khilafah

3 min read

Zaman sekarang adalah zaman yang berkelimpahan. Namun, pada situasi yang sama inilah zaman kegalauan. Menjadi Muslim di negara yang mayoritas beragama Islam merupakan keberuntungan yang luar biasa, walupun tak jarang kita sering meributkan perihal sepele. Perdebatan kelompok pengagum khilafah kembali menjadi topik populer belakangan ini.

Para pemuja khilafah selalu ngotot untuk mendirikan khilafah di negara yang mayoritas Muslim. Sedikit saya sarikan kajian tentang problematika khilafah menurut Prof. Dr. Ali Jum’ah—salah satu ulama senior al-Azhar Mesir dan mantan Mufti Besar Mesir periode 2003-2013.

Dalam satu kesempatan beliau bersedia berbagi ilmu di salah satu stasiun televisi Mesir. Beliau menyampaikan bahwa khilafah adalah sesuatu yang benar terjadi. Fenomena ini menjadi sejarah besar umat Islam dunia semenjak Rasulullah Saw wafat. Sepeninggal NabiMuhammad segala urusan umat dipasrahkan terhadap sahabat seniornya Abu Bakar melalui baiat di balai Bani Saidah. Naiknya Abu Bakar menjadi pengayom umat merupakan khalifah (pengganti) Rasulullah Saw.

Dalam sebuah keterangan tidak ada jenis khilafah yang jelas. Namun Rasulullah selalu mengingatkan “Jika seseorang dijadikan pemimpin atas kalian, maka dengar dan taatilah. Pergantian (khilafah) Abu Bakar menjadi ikon kepemimpinan Rasulullah dalam segala urusan, baik pemahaman tentang pemegang kewajiban, pengatur perlindungan atas wilayah-wilayah, harta, hingga nyawa. Oleh karenanya, beliau disebut sebagai khilafah (pengganti) Rasulullah, sebab dulu beliau adalah pemimpin pasukan, pengajar yang mulia, hakim yang agung, mufti, dan pemimpin negara.

Kategori khalifah/khilafah seperti ini tidak ditentukan oleh Rasulullah Saw. Hanya saja dulu pasca-Rasulullah Saw wafat terjadi kekosongan pemimpin untuk mengayomi umat. Akhirnya para sahabat senior bermusyawarah untuk membaiat Abu Bakar menjadi khalifah. Setelah Abu Bakar wafat digantikan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Afan, dan sampai pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Keempat pengganti ini disebut sebagai al-Khulafā’ al-Rāsyidūn.

Baca Juga  Menolak Pemakaman Jenazah Covid-19

Pasca-al-Khulafā’ al-Rāsyidūn, muncul dinasti-dinasti untuk memperluas wilayah dan mensyiarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, di mana pemilihan pemimpin tidak lagi melalui musyawarah melainkan dengan sistem keturunan/monarki, adanya khilafah ini menjadikan Islam berkembang pesat dan mampu menyatukan suara secara langsung.

Pasca-kekhilafahan Umayyah berpindah ke Andalusia yang berakhir tahun 132 Hijriyyah, terjadi dualisme kepemimpinan umat Islam, yaitu Abbasiyah yang di Timur dan Umayyah di Barat. Selain itu ada kelompok Dinasti Safawiyah berideologi Syiah yang memisahkan diri dari kedua dinasti besar tersebut.

Setelah Umayyah di Andalusia runtuh kemudian muncul Dinasti Abbasiyah periode kedua dan sampai runtuhnya dinasti Utsmaniyah di Turki pada tahun 1924 Masehi. Semua itu adalah rangkaian sejarah panjang tentang kekhilafahan dalam Islam.

Deklarasi Mustafa Kemal Attaturk dari Turki Usmani ke negara Turki menghilangkan undang-undang imperium besar Islam. Fase itu merupakan akhir sejarah panjang kekhilafahan dalam Islam. Pasca-runtuhnya dinasti Utsmaniyah, umat Islam membutuhkan persatuan hingga akhirnya Raja Fuad di Mesir berpikir untuk menjadi khilafah ketika terjadi kekosongan kepemimpinan.

Pada akhirnya, Raja Fuad membuat forum perkumpulan konferensi khilafah pada tahun 1925 M. Namun, beberapa kelompok dan delegasi menggagalkan pertemuan ini. Kemudian Raja Fuad mencoba peruntungan kedua kalinya lagi di India pada tahun 1926 M, namun konferensi tersebut digagalkan oleh Inggris.

Ini sepintas dengan sejarah panjang tentang khilafah. Masalah yang terjadi di zaman sekarang bukan soal kejayaan dan keberlangsungan khilafah, melainkan tentang bagaimana posisi khilafah dalam agama dan apa manfaatnya dihidupkan kembali khilafah, dimana kita juga tahu bahwa khilafah pasti ada akhirnya.

Syeikh Ali Jum’ah mengatakan bahwa kita harus lebih “merapat” kepada ulama-ulama kita agar mendapatkan pemahaman tentang khilafah yang sebenarnya. Di akhir zaman seperti ini banyak kelompok sesat dan ekstremis yang mengatasnamakan khilafah Islamiyah sebagai kedok politisasi agama.

Baca Juga  Kembali kepada Keyakinan Lama: Catatan untuk Pengungsi Syiah Sampang di Sidoarjo

Dalam sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda “Jika di bumi ada khilafah, tetaplah bersama khilafah meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Jika tidak ada khalifah di bumi, maka larilah, larilah.”

Ini akan memberikan banyak faedah kepada kita dalam memahami bagaimana para teroris memahami agama dan bagaimana ulama memahami agama. Jika ada khalifah, ada pemimpin sebab dalam kesempatan lain beliau bersabda “tetaplah bersama pemimpin, meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu”. Adapun maksud dari “larilah, larilah” adalah mengajak kita untuk kembali merapat kepada ulama agar mendapatkan ilmu yang jelas.

Tugas kita di zaman kacau ini untuk kembali merapat kepada ulama-ulama moderat yang mumpuni keilmuannya agar generasi kita menjadi generasi terpelajar dan terhormat, tidak mudah diadu domba oleh orang lain.

Pemahaman agama yang suci hanya bisa diterima oleh orang yang hatinya suci pula. Para ekstremis yang abai dengan konsep kemanusiaan namun lekat dengan simbol agama, mereka tidak bisa menerima ilmu suci dari hatinya.

Beliau lanjut menceritakan sebuah hadis bahwa Nabi Muhammad Saw pernah mengabarkan kepada umatnya tentang berdirinya khilafah, namun selain itu Nabi juga mengabarkan masa terputusnya khilafah dan kondisi ketika tidak ada khalifah, maka kita jangan menampakkan lagi setelahnya.

Karena kondisi kita sekarang dalam keadaan tercerai-berai dan lemah serta tidak memungkinkan untuk mengembalikan khilafah lagi sebagaimana yang dimotori oleh Al-Qaeda, Hizbut Tahrir, al-Ikhwān al-Muslimūn (IM), ISIS dan sejenisnya. Yang akan terjadi pada kita, bahwa kita akan dipermainkan oleh pihak lain, yaitu musuh-musuh agama yang merasa kecawa dengan Islam.

Perlu kita ketahui siapa yang memberi senjata dan membiayai kaum jihadis ISIS dan sejenisnya? Siapa yang menjadi dalang berdirinya Al-Qaeda? Siapa yang mengatur misi al-Ikhwān al-Muslimūn semenjak mereka muncul?

Baca Juga  Tawassuth fi al-Din: Bersikap Sewajarnya dalam Beragama

Permasalahannya adalah mereka memperlakukan kita sebagai mainan pihak lain. Ini merupakan kerugian yang sangat besar. Kita harus tegaskan kembali bahwa Rasulullah Saw tidak memerintahkan kita untuk mengupayakan khilafah dan tidak ada perintah untuk mendirikannya lagi. Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk menarik tangan dan menghadap kepada Allah swt dengan rendah diri. [MZ]

Sumber: Youtube.com

Abdullah Faiz Mahasiswa UIN Walisongo Semarang; Alumnus PP Apik Kaliwungu dan PP MUS Sarang