A. Muhaimin DS Lahir di Nganjuk. Seorang penikmat cerita dan penyuka perjalanan. Menulis cerpen, puisi dan catatan ringan tentang kesejukan hidup.

[Cerpen] Monolog Lukisan Rimba di Sebuah Ruang Kerja

5 min read

Aku selalu saja heran dengan apa yang dibicarakan orang-orang dengan seragam rapi itu. Seragam dengan warna gelap serta lambang rimba yang harus mereka jaga.

Mereka sering bilang, rimba raya adalah bagian penting dari kehidupan yang harus selalu dijaga juga dilestarikan, dan itu pula yang katanya menjadi alasan mereka semua berada di ruang kerja itu.

Sebagai lukisan rimba yang sudah berada di dalam ruang kerja itu semenjak pertama kali dibangun, aku mulai ragu dengan perkataannya itu. Setelah apa yang selalu kudengar dari pembicaraan mereka. Bahkan meskipun ganti orang setiap tahunnya pun yang mereka bicarakan selalu hampir sama.

Anehnya yang kudengar di ruang kerja itu justru suatu yang bertolak belakang dari apa yang selalu dikatakannya di tempat umum atau di podium. Sebagai lukisan rimba, aku sendiri merasakan betul-betul makna yang tersirat dari sang pelukis dalam menciptaku, yang belakangan aku mendengar kabarnya telah meninggalkan dunia yang fana ini. Yang semuanya sangat bertolak belakang dari apa yang dilakukan oleh orang-orang berseragam itu, semua pembicaraannya selalu meliputi tawar menawar dengan seorang yang menyebut dirinya pengusaha.

“Apa yang bisa saya bantu Bos?”

“Seperti biasanya, mohon kerjasamanya agar usaha yang saya tangani ini lancar. Tak perlu berbelit, apapun yang kamu inginkan akan saya penuhi.”

“Jangan terburu-buru begitu. Kita harus membicarakannya secara masa-masak.”

“Tentu, agar semuanya lancar dan tentunya aman.”

“Tak lupa juga saling menguntungkan. Hehe.”

Berapa kali aku mendengar percakapan seperti itu. Siapa pun yang menjadi pemimpin di ruang kerja itu, hanya satu atau dua hari saja berlagak disiplin dan berpenampilan jujur. Setelah mengetahui cara kerja yang biasa dilakukan di ruang kerja itu ia akan hanyut lalu menunjukkan dirinya yang sebenarnya yang tak jauh beda dengan pemimpin-pemimpin lainnya.

***

Seperti hari itu, orang-orang berseragam gelap itu datang lebih pagi dari biasanya. Sebab mereka akan kedatangan orang nomor satu di perusahaan sawit dan juga sebagai pejabat pemerintah yang untuk pertama kalinya datang dan akan berbincang di ruang kerja itu. simpang siur suara yang muncul dari orang-orang berseragam itu adalah tentang akan dibukanya perkebunan sawit baru oleh sang pejabat atau pengusaha. Aku tak tahu persis kedatangannya mengatasnamakan pejabat pemerintah atau pengusaha.

Aku tiba-tiba merasa cemas mendengar suara-suara yang belum tentu benarnya itu. Tapi selama ini, meskipun berita itu simpang siur, jika sudah menyangkut ruang kerja itu bisa dipastikan sesuatu yang menjadi simpang siur akan benar-benar terjadi.

Baca Juga  Lontara Latoa: Transformasi Politik Islam di Tanah Bugis (Bag. 2)

Sungguh aku mengkhawatirkan masa depan rimba raya yang menjadi inspirasi seorang seniman yang melukisku dulu. Tampaknya aku akan benar-benar menjadi kenangan dan selalu saja menjadi saksi orang-orang berseragam yang selalu saja tampak dengan ketamakannya.

“Sepertinya semuanya sudah jelas. Bagian yang akan kalian terima semuanya sudah sama rata dan adil.”

“Terima kasih Bos.” Ucap seorang pemimpin itu pada pengusaha sawit yang tampak puas dengan hasil perbincangan pagi itu.

“Siapa pun yang menyalahi kesepakatan ini akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang ia perbuat.”

“Tenang saja Bos. Semuanya aman, kami semua satu suara dengan Pak Bos.”

“Bagus, tenang saja, posisi kalian akan selalu aman. Saya sudah bekerja sama dengan berbagai pihak terkait.”

Andaikan aku bisa berbuat banyak pagi itu, tentu aku akan masuk dan menyalahkan semua orang yang ada di ruang kerja itu. Tapi apalah daya aku hanya bisa bersuara dalam hati dan seolah berbicara pada diriku sendiri. Jika sudah mendengar kesepakatan demi kesepakatan itu aku selalu berdoa semoga kelak ada salah seorang pemimpin dalam ruang kerja itu yang benar-benar tulus mengabdikan diri untuk rimba raya. Tentunya yang kuharapkan adalah orang dengan nyala hati seperti seniman yang melukisku dulu. Sebab aku sangat merasakan kedalaman hatinya dalam mencintai rimba raya sampai saat ini.

***

“Selamat pagi!”

“Selamat pagi.” Jawab seisi ruangan yang tampak berbinar dengan wajah cerah tak seperti biasanya. Pagi itu telah datang kabar gembira tentang kesepakatan yang tempo hari mereka lakukan. Proyek pembukaan perkebunan sawit hari itu telah dimulai dan dari semua yang ada di ruang kerja itu akan mendapatkan uang muka dari apa yang telah mereka kerjakan.

Aku yang sedari pertemuan tempo hari belum bisa tidur dengan tenang. Pagi itu benar-benar terganggu dengan perbincangan orang-orang berseragam itu. kekhawatiranku tentang rimba raya yang merupakan wujud nyata dari diriku akan benar-benar hilang dan berganti kebun sawit.

Aku akan menjadi sebuah kenangan indah sekaligus pahit bagi anak cucu bangsa ini. Mereka hanya akan melihat keindahan rimba raya dari sebuah lukisan tua seperti diriku. Meskipun aku tahu, aku akan lebih banyak diperhatikan nantinya. Tapi tetap saja, keseimbangan alam adalah hal utama untuk hidup di muka bumi ini.

Untuk pertama kalinya memang tentang proyek perkebunan sawit itu diperbincangkan di ruang kerja itu. Sebelumnya, perbincangan lebih banyak membahas tentang industri pariwisata alam. Intinya agar mereka yang di dalam ruang kerja itu bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar dengan menggalakkan pariwisata alam yang sedang naik daun.

Baca Juga  [Review Buku] NU dan Muhammadiyah Pionir Moderatisme Islam di Indonesia

Beberapa bagiku memang tampak bermanfaat bagi masyarakat sekitar tempat wisata alam. Beberapa lainnya justru menyalahi aturan, sebab yang seharusnya hanya diperbolehkan untuk aktvitas edukasi alam atau penelitian ternyata mereka biarkan pula untuk berwisata.

Lebih menyedihkan lagi, mereka yang ada di ruang kerja itu juga tak memperhatikan kelestarian alam yang diutamakan. Mereka hanya membicarakan seputar untung rugi saja. Sehingga ketika sebuah sektor sumber daya alam itu tampak sangat menguntungkan, mereka akan mengusahakan banyak hal termasuk mengubah kondisi aslinya untuk menarik wisatawan. Seperti membangun bangunan beton di atas gunung. Tentu itu akan mengganggu habitat satwa yang hidup di sana. Namun mereka tak pernah melihat itu. lagi-lagi mereka hanya melihat potensi uang yang bisa mereka hasilkan.

“Kita harus membungkam orang rimba itu.” Ucap pemimpin dalam ruang kerja itu pada seisi ruangan.

“Betul, niat kita sudah benar membangun fasilitas untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.” Timpal salah seorang dalam ruangan yang juga membenarkan pemimpinnya.

“Orang rimba itu hanya mengganggu saja. Mencoba protes dengan kebijakan yang kita buat.”

Percakapan itu sangat lekat diingatanku. Itu terjadi ketika masyarakat lokal di lereng Gunung Api Biru menolak membangun fasilitas berbahan beton di atas gunung. Bahkan masyarakat lokal yang disebutnya Orang Rimba itu terancam mendapatkan tuduhan yang bukan-bukan. Termasuk tuduhan telah menghasut banyak orang untuk melakukan protes pada pemerintah.

Orang-orang dalam ruang kerja itu memang sering menggunakan dalih demi memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi nyatanya yang kulihat sebagai lukisan tua adalah perbincangan tentang tawar menawar soal untung rugi saja.

***

Perbincangan terakhir tentang dicopotnya pemimpin dalam ruang kerja itu sudah kudengar. Orang-orang yang biasa melayani pemimpin itu mulai saling berbisik dan saling berbicara lirih. Sebagian dari mereka khawatir jika pemimpin baru yang ditunjuk akan jauh berbeda watak dengan pemimpin sebelumnya. Tapi, sebagian lagi justru sangat yakin, kalau pemimpin berikutnya juga akan sama.

“Di dunia ini uang adalah segalanya. Jadi kalian tenang saja, pemimpin kita yang baru kalau sudah tahu caranya cari uang di sini pasti juga akan mengikuti cara kerja kita.”

“Kalau tidak, kita akan terancam menemani pemimpin kita yang dulu di dalam kurungan.” Timpal salah seorang yang mulai khawatir dengan perbuatannya.

Baca Juga  Siapakah “Anak Jalanan” dalam Q.S. al-Tawbah [9]: 60?

“Sudahlah kamu jangan terlalu takut begitu. Jika kamu tampak mencolok pasti akan menimbulkan kecurigaan. Kita hanya perlu satu atau dua hari saja untuk menjerat pemimpin baru kita untuk masuk dalam sistem kerja kita yang banyak mengalirkan uang pada kantong kita.”

Lagi-lagi percakapan yang menyebalkan memang selalu saja hadir di ruang kerja itu. Kuharap itu adalah yang terakhir. Semoga doaku tentang pemimpin baru yang jujur, adil dan mencintai rimba raya ini terkabul. Aku sering berandai jika pemimpin itu salah seorang dengan jiwa tulus seperti seniman yang telah melukisku. Pasti rimba raya itu tak tinggal kenangan yang hanya dapat dilihat dalam tubuhku.

***

Seorang yang belum pernah kulihat , datang sangat pagi di ruang kerja itu. Jika dulu sering ada pertemun yang sangat pagi oleh orang-orang gila uang itu hanya jika sedang ada tawar menawar sebuah proyek. Kali ini orang itu datang sendiri. Yang lebih aneh lagi dia menghampiriku.

“Lukisan yang indah.”

Degup jantungku seperti berhenti karena terlalu kaget dengan kata-kata itu. Selama ini orang-orang yang ada di ruang kerja itu tak pernah sekali pun mengarahkan perhatiannya padaku. Orang ini sepertinya sangat berbeda.

Sampai akhirnya aku melihat orang itu memperkenalkan diri sebagai pemimpin baru dalam ruang kerja itu.

“Selamat pagi. Perkenalkan nama saya Jan Estu, pemimpin baru di sini. Saya mohon kerja samanya semua untuk membantu saya menjaga rimba raya agar tetap lestari.”

“Selamat pagi.” Jawab seisi ruangan serempak dan diikuti kekhawatiran yang tiba-tiba muncul di benak mereka.

“Semoga kita semua bisa melaksanakan tugas dan menjaga alam ini. Kejadian tentang pembukaan perkebunan sawit itu tidak terjadi lagi. Sehingga kondisi rimba raya kita akan tetap lestari seperti lukisan yang ada di dinding itu. lihatlah, itu sangat indah kan?”

Kali ini aku sedikit tercekat, di tengah perhatianku dengan kata-katanya, ia mengarahkan telunjukknya padaku. Mengajak seisi ruangan untuk menyaksikan lukisan tua yang katanya sangat indah. Mulai hari itu aku bisa sedikit tidur lebih tenang dan perbincangan yang baru pun selalu membuatku bahagia.

Orang-orang yang tidak sevisi dengannya mulai hilang dari ruangan itu. ruangan itu akhirnya dipenuhi dengan orang-orang yang sangat mencintai rimba raya. Yang paling membahagiankan lagi adalah saat aku mengetahui riwayat pemimpin baru itu. Ternyata ia adalah putra bungsu dari seniman yang telah melukisku. [MZ]

A. Muhaimin DS Lahir di Nganjuk. Seorang penikmat cerita dan penyuka perjalanan. Menulis cerpen, puisi dan catatan ringan tentang kesejukan hidup.