Sering ada pertanyaan, bagaimana mengkaji naskah kuno di Indonesia bagi yang tidak berlatar belakang filologi atau sejarah? Kira-kira itulah pertanyaan awal beberapa mahasiswa S-2/S-3 yang pernah ikut kuliahku. Bahkan, ada juga yang berlatar sejarah tetapi berkomentar begini, setelah mengikuti penjelasan Bapak tadi, saya kok menggunakan naskah kuno tetapi naskah yang belum sempat dicek oleh pakarnya, apakah naskah itu sudah dibuat edisi kritiknya atau belum, bagaimana dong pak?
Komentar lainnya, yang tidak kalah menarik adalah kalau katalog naskah kuno itu penting untuk telusur awal eksplorasi naskah kuno, mengapa katalognya hanya dimiliki oleh para filolog atau perpustakaan yang menyimpan naskah saja, tetapi di perpustakaan PTKI tidak ada informasi katalog naskah kuno?
Persis pada awal penulis menjadi kepala pusat perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2015/2016 itulah kegelisahan sebagai pemerhati naskah kuno. Jangankan eksplorasi naskah kuno, katalaognya saja tidak ada. Atas kegelisahan itu penulis membuat refleksi sederhana, setelah dipresentasikan dalam Seminar Nasional tentang perpustakaan, artikel itu lalu diterbitkan oleh jurnal Pustaloka IAIN Ponorogo.
Untuk kepentingan pemustaka dan pemerhati naskah kuno, penulis mewakafkan beberapa katalog naskah kuno untuk perpustakaan IAIN Cirebon pada Cirebonese Corner. Itu merupakan sebagai bentuk keprihatian dan komitmen bidang pernaskahan di Nusantara, semoga hingga kini masih ada dan bermanfaat. Bahkan, untuk koleksi naskah kunonya, sudah ada beberapa naskah menjadi display sehingga dapat dinikmati pemustaka.
Adapun untuk merespon pertanyaan para mahasiswa S2/S3 di atas. Ada beberapa solusi singkat, pertama mulailah mencari katalog naskah, baik secara online maupun dalam bentuk buku cetak yang sudah ada. Sementara untuk kajian naskah kuno dengan kerangka filologis memang perlu perangkat khusus, terkadang jika belum pernah belajar khusus terkait teori dan teknik riset berbasis fiologi, dugaanku akan amat sulit menerapkannya.
Kedua, setelah membaca katalog naskah dan menemukan yang dicari, galilah konten naskahnya dan kontekstulisasikan dengan topik kajiannya. Dengan dua tahap ini, sekalipun bukan filolog, sebagai peneliti dapat menelusuri lebih jauh melalui naskah kuno untuk dibaca kembali konteks saat ini.
Oleh karena itu pertanyaan di awal catatan tersebut menjadi penting dan relevan. Apa itu? Bagi siapapun yang akan menggunakan naskah kuno untuk risetnya, sebaiknya selain berbasis pada naskah hasil kajian filolog sebelumnya, juga mulailah dari katalog. Sebab, katalog naskah kuno itu ibaratnya sebagai jendela kehidupan pernaskahan.
Setiap katalog mempunyai kekhasan masing-masing. Katalog Naskah Perpustakaan Nasional berada di koleksi perpustakaan nasional Jl, Merdeka Selatan Jakarta, Katalog Naskah Museum Sonobudoyo berada di sebelah alun-alun utara Kraton Yogyakarta dan Katalog Naskah Pura Pakualaman, berada di dalam lingkungan Kraton Pakualaman, dekat dengan Makam Pahlawan Kota Yogyakarta. Apa yang tercantum dalam ketiga katalog tersebut, sejauh yang saya tahu naskahnya dapat dipinjam atau diakses secara digital.
Berdasarkan pengalaman penulis, dari sekian puluh katalog naskah kuno itu belum tentu wujud fisik naskahnya sesuai dalam buku itu keberadaannya, apalagi jika naskah tersebut kategori koleksi masyarakat, dimana keberadaannya tidak selalu menetap. Alias dinamikanya luar biasa cepatnya; hari ini ada di rumah A, besok atau lusa bisa saja ke rumah B, begitu seterusnya. Meskipun demikian, dengan membaca katalog naskah kuno terlebih dahulu, kita menjadi tahu nama dan jenis naskah kuno sesuai dengan topik yang dicari, baik isinya atau yang lainnya dalam katalog itu.
Insya Allah dengan adanya katalog naskah kuno, pekerjaan/penelitian berkaitan dengan naskah kuno akan lebih menjadi lebih mudah. Bagi penulis, mendalami naskah kuno adalah hal yang sangat menarik dan sejauh ini ada beberapa hal menarik yang peneliti temukan.
Misalnya, ada judul naskah “Catatan Perjalanan ke Gunung Tangkuban Perahu” dalam naskah Palembang. Aksaranya Jawi, bahasanya Melayu. Dilihat dari tinjauan sosiologis, catatan itu menarik, kok bisa, cerita Gunung Tangkuban Perahu ditulis dalam aksara Jawi dan Bahasa Melayu, ada apa sebenarnya? Jika penasaran tentu saja harus baca naskahnya. Siapa yang membuat catatan itu, atau apa hubungannya dengan naskah di palembang ini?
Dengan demikian, sesorang yang ingin mempelajari naskah kuno Nusantara, tidak harus mempunyai latar belakang studi filologi secara mutlak, tetapi pengetahuan tentang naskah memang harus diutamakan supaya lebih mudah untuk mengungkap isi dan konteksnya.
Bahasa yang ada dalam naskah kuno tentu harus dikuasai, hal itu untuk memudahkan kontekstualisasi atas topik yang dikaji. Naskah kuno ini tidak akan lekang oleh waktu dari sisi konten dan konteksnya, sebab teks dalam naskah kuno menjadi bukti adanya sebuah kehidupan manusia atau peradaban suatu bangsa. Aksara, Bahasa dan Budaya merupakan sesuatu yang tidak mungkin lepas dari isi naskah kuno. Disitulah pentingnya menggunakan naskah kuno dalam perspektif keilmuan apapun. Pintu masuknya tentu saja dari katalog naskah, kecuali koleksi naskah yang berada di tengah masyarakat. Wallahu a’lam. (AA)