Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Dalam Kehidupan Bernegara, Siapakah yang Lebih Berhak Menyerukan Jihad?

3 min read

Di awal minggu ke dua bulan ini (Senin, 7/12), kita dikejutkan dengan pemberitaan tentang aksi penembakan oleh aparat penegak hukum terhadadp 6 orang pengikut Muhammad Rizieq Shihab (MRS). Menurut keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, bahwa aksi penembakan tersebut terjadi sebagai upaya pembelaan diri aparat yang diserang dengan senjata api dan tajam.

Lebih lanjut, Imran menghimbau agar MRS menaati panggilan polisi untuk dimintai keterangan seputar dugaan pelanggaran protokol kesehatan pada kerumunan acara di Petamburan, Mega Mendung dan resepsi pernikahan putrinya.

Kejadian yang merenggut nyawa ini tentu sebuah tragedi besar yang menimpa kita semua. Tidak ada pihak yang menghendaki jatuhnya korban jiwa dalam kasus apa pun. Hal ini karena pada dasarnya nyawa manusia adalah sesuatu yang mahal dan tidak ternilai. Terkait hal ini, disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi, “Hilangnya dunia lebih mudah bagi Allah azza wa jalla dari tumpahnya darah muslim tanpa haq”.

Agama apa pun dan peradaban manapun berpandangan sama terkait tingginya nilai nyawa manusia, sehingga ia masuk ke dalam prioritas untuk untuk dijaga baik oleh hukum agama maupun hukum konvensional. Martabat manusia (human dignity) yang tinggi ini menjadikan manusia tanpa terkecuali, berhak atas perlakuan yang layak dan penghargaan diri. Hak ini  melekat selamanya melebihi materi yang tidak semua orang memilikinya.

Jika kehormatan manusia adalah hak yang harus diberikan, maka nyawa adalah yang menjadikan itu semua ada. Karenanya, segala yang mengakibatkan hilangnya nyawa adalah petaka yang besar dan harus dihindari. Jangan biarkan masalah memanas hingga mengorbankan nyawa manusia.

Masalahnya, kadang persepsi seseorang atas sebuah kematian tidaklah sama. Ada yang menganggapnya sebagai pengorbanan yang mulia demi jihad di jalan Allah. Sementara yang lain menganggapnya sebagai akibat pelanggaran hukum. Di sinilah sebuah persepsi amatlah menentukan dalam penilaian atas sesuatu. Plato bahkan beranggapan bahwa kebenaran hanyalah persepsi bukan sesuatu yang sebenarnya. Ia hanyalah siluet atau bayangan dari sebuah obyek bukan obyek itu sendiri.

Baca Juga  Kyai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20 (3)

Lantas pertanyaannya adalah, apakah benar peristiwa yang telah terjadi tersebut merupakan sebuah jihad?

Jihad dalam arti  perang di jalan Allah adalah perkara besar yang memiliki banyak syarat dan prosedur. Dengannya, membunuh manusia (musuh) menjadi halal setelah ia sebelumnya, membunuh, adalah dosa terbesar. Karena besarnya risiko, keputusan perang  harus keluar dari imam atau kepala negara berdasarkan   fatwa ulama, pandangan wakil rakyat dan pertimbangan lainnya.

Seperti saat perang 10 November 1945 resolusi jihad yang dikeluarkan Hadratus Syekh Kyai Haji Hasyim Asy ’ari, ia  berpengaruh besar terhadap lahirnya keputusan perang melawan tentara Sekutu. Hal serupa, fatwa perang oleh ulama, juga muncul di Sumatera Barat di mana pada Agresi Belanda (1945-1950 M.) Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukit Tinggi mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Terkait keputusan perang di tangan seorang pemimpin, misalnya imam, raja, sultan, amir atau presiden, adalah lantaran bahwa imamlah yang faham betul kekuatan umat, musuh dan  alasan perang. Ibn Qudamah seperti dikutip Sa’id b. Ali al-Qahtani dalam al-Jihad fi Sabilillah Ta’ala berkata: “Perkara jihad dipasrahkan kepada ijtihad imam (kepala negara). Rakyat wajib menaatinya”.

Permasalahan muncul ketika kepala negara dianggap tidak legitimate secara syar’i. Di sini, yang digunakan adalah yang dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau oleh wakil rakyat atau para petinggi negara dan tentara. Atau, pemimpin yang  secara de facto telah dan sedang memerintah wilayah tertentu. Tidak harus penguasa umat Islam sedunia (seperti khalifah atau al-imam al-a’dham) sebab hal itu sudah sulit dicapai (ma’dzur) baik secara kuantitatif mau pun kualitatif.

Dalam hal ini, seorang kepala negara berhak mengeluarkan keputusan perang (Sa’id bin Wahf Al-Qahtani, al-Jihad fi Sabilillah ta’ala mengutip dari al-sharh al-muqni’ ‘ala zad al-mustaqni’), termasuk membentuk pasukan militer yang bertugas menjaga negara dari ancaman musuh.

Baca Juga  Omnibus Agamawan Perlu Untuk Omnibus Law

Pasukan inilah yang mengemban tugas jihad yang mana dengan keberadaan mereka, gugurlah kewajiban perang bagi warga negara. Hal ini dilandasi karena hukum awal jihad adalah fardu kifayah bukan fardu ‘ain. Namun, hukum ini bisa bergeser ke yang kedua dan menjadi kewajiban individu manakala keadaan darurat dan atas perintah seorang pemimpin negara. Tidak semua boleh ikut perang.

Dalam sebuah hadis disebutkan penolakan Nabi terhadap sahabat untuk ikut perang. Nabi memandang baginya jihad yang tepat adalah menjaga ibu bukan perang. Ada banyak bentuk jihad selain perang dan umat Islam bisa memilih mana yang paling bisa dia lakukan untuk membela umat, bangsa dan negara.

Posisi presiden Indonesia sebagai kepala negara yang sah secara syariat telah ditetapkan dalam konferensi Alim Ulama se-Indonesia di Cipanas 1954 M. Pada saat itu, presiden Indonesia dikukuhkan sebagai waliyul amri ad-dharuri bis-syaukah (pemegang kekuasaan negara darurat).

Saat itu, KH. Abdul Wahab Chasbullah menjelaskan bahwa dengan tidak adanya al-imam al-a’dham yang sah yang berkuasa atas seluruh umat Islam sedunia dengan kriteria mujtahid mutlak, maka sebagai alternatif tiap negara mengangkat imam dharuri. Ir. Soekarno atau Bung Karno, yang saat itu menjabat sebagai presiden Indonesia, yang dipilih oleh para pemuka warga negara untuk selanjutnya adalah pemimpin yang sah secara syariat sebagai waliyul amri Indonesia.

Sebagai waliyul amri, penanggung jawab urusan negara tertinggi, keputusan  perang atau jihad ada di tangan presiden Republik  Indonesia bukan selainnya termasuk ulama. Adanya pemimpin kelompok yang mengeluarkan ajakan jihad dengan sendirinya tertolak karena keluar dari orang yang tidak berwenang. Selain itu, perang butuh keahlian dan pelatihan sehingga menjadi domain Tentara Nasional  Indonesia. Warga sipil berjihad lewat jalan lain demi kemaslahatan umat dan kemajuan bangsa dan negara. [AA]

Achmad Murtafi Haris Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya