Saya tegaskan bahwa jejak khilafah dalam kitab kuning pasti lebih mutawātir ketimbang jejak khilafah secara historis lalu dibuat film. Sebenarnya hampir seluruh pewaris kitab kuning alias santri juga tahu itu dan tidak mengingkarinya.
Saya kutipkan bagaimana Abū al-Hasan al-Māwardī dalam kitab al-Ahkām al-Sultānīyah menulis kata “khilafah” sebanyak 35 kali, kata “khalifah” 25 kali, kata “imamah” sebanyak 94 kali dan kata “imam” sebanyak 13 kali. Pun demikian kitab Fath al-Wahhāb, Asnā al-Mathālib dan Minhājal-Thullāb karya Syaikh Zakarīyā al-Anshārī atau kitab Rawdhat al-Thālibīn wa ‘Umdat al-Muttaqīn dan Minhajut Thalibin karya al-Nawawi, Tuhfat Muhtāj karya Ibnu Hajar al-Haytamī, Mughnī al-Muhtāj karya Ahmad al-Khathib al-Syarbinī, Nihāyat al-Muhtāj karya al-Ramlī dan lain-lain.
Alangkah naif bila eks-HTI menyebarkan poster Prof. Ahmad Zahro dengan melakukan framing (pembingkaaian) seakan Prof. Zahro setuju dengan khilafah ala HTI. Tentu ini efeknya bisa mengadu sesama tokoh NU, atau berharap agar umat tertipu sehingga pro dengan khilafah ala HTI. Saya memastikan bahwa Prof. A. Zahro tidak mau mengganti NKRI dengan khilafah seperti yang digemborkan oleh eks HTI.
Terlepas poster itu statemen Prof. Zahro atau bukan, rasanya seperti yang saya jelaskan di atas bahwa para akademisi studi Islam dan para santri sudah tahu tentang wacana khilafah dalam kitab klasik (turāts) muslim. Apalagi bila kuliah di Prodi Pemikiran Politik Islam seperti di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSA yang kebetulan saya juga mengajar di situ. Beragam sejarah politik dan sistem politik umat Islam dijelaskan dengan ratusan referensi yang lebih kaya.
Keislaman Kita Karena Khilafah?
Kalau kita jujur, klaim berupa keislaman kita karena adanya khilafah adalah klaim sepihak dan tidak adil. Karena memang masuknya Islam di Indonesia ada beragam penjelasan.
Buku Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto menjelaskan hal itu. Atau buku Peran Dakwah Habaib/Alawiyin di Nusantara yang di antara kontributornya adalah Habib Luthfi Yahya, Azyumardi Azra, Engseng Ho, Frode F. Jacobsen dan lain-lain, di mana dalam buku tersebut dipaparkan ada lebih 20 penelitian tentang sejarah diaspora “Habaib Hadramaut” di nusantara seperti karya Aboebakar Atjeh, Edward Alpers, A Gwyn Campbell and Michael Salman, Kazuhiro Arai, Naquib Al Attas, Azyumardi Azra, Van Den Berg, Michael Feener, Ulrike Freitag, Michael Gilsenan, Alwi jin Thahir Al Haddad, Engseng Ho, dan lain-lain.
Choirul Anam dalam buku “KH. Abdul Wahab Chasbullah Hidup dan Perjuangannya” mengatakan,
“Untuk mengetahui sejak kapan Islam masuk dan menguasai nusantara Indonesia? Jawabannya hingga kini masih beberapa versi. Para sejarawan merasa resah jika ditanya: Kapan Islam masuk ke Nusantara Indonesia? Siapa yang membawa, wirausahawan (pedagang) atau guru-guru sufi. Dari mana asal mereka, dan daerah mana yang pertama kali menerima ajaran Islam? Problem kapan masuknya Islam ke Indonesia sangat sulit dipastikan oleh karena Indonesia sangat luas, dan letak geografis Nusantara berada di persimpangan jalan laut niaga antara Arab, India dam Cina. Karena itu para sejarawan sendiri masih berselisih pendapat, ada yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia abad ke 11 atau ke 13 M dan dibawa oleh guru-guru tasawuf dari Gujarat. Tapi ada pula yang berpendirian pada abad ke 7 M dan dibawa langsung oleh pedagang-pedagang Arab. Ada lagi yang berpendapat bahwa Islam masuk Indonesia dari Persi dan bermazhab Syiah. Masih banyak Iagi teori tentang masuknya Islam ke Nusantara Indonesia.”
Anam juga mengutip hasil seminar di Sumatera Utara tahun 1963, mengutip pendapat Van Den Berg, juga pandangan L. Van Rick Vorsel, juga Habib Alwi bin Thahir Al Haddad. Habib Alwi bin Thahir Al Haddad menielaskan Islam masuk ke Jawa zaman Khalifah Usman bin Affan.
Intinya, Islam masuk Nusantara memang beragam pendapat baik tahun, lokasi pulau yang dimasuki juga profesi pembawa dan asal negara pembawa. Lebih jelas lagi adalah penjelasan Prof. A. Hasimy “Syiah dan Ahlussunnah” mengatakan, “Dari catatan sejarah masuknya Islam ke Aceh dan berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam di sana, dapatlah kita mengetahui bahwa sejak semula Partai Syiah dan Partai Ahlus Sunnah telah saling rebut pengaruh dan kekuasaan.” Tentu pendapat Prof A. Hasimy ini memastikan bahwa kalau Syiah pernah berkuasa di Aceh pastinya bukan hanya khilafah yang membawanya tapi ada beragam pembawa Islam ke Nusantara.
Kiai Wahab dan Jejak Khilafah di Kitab Kuning
Kembali ke “kitab kuning” dan jejak khilafah. Para kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks kitab kuning tentang imāmah atau al-imam al-a’zham jika tidak melewati konstruksi pemahaman ala KH. A. Wahab Hasbullah, maka akan mudah tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala eks-HTI.
Perlu diketahui, Kiai Wahab dalam pidatonya di parlemen pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah “Gema Muslimin” dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah” mengatakan:
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu hanja satu. Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam jang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada dari semendjak 700 tahun sampai sekarang…. Kemudian dalam keterangan dalam bab jang kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri.”
Pidato Kiai Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga pemahaman:
Pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut Kiai Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai sekarang.
Kalau pidato Kiai Wahab itu pada tahun 1954, maka bila dikurangi 700 tahun hasilnya sekitar 1250-an Masehi, masa itu memang masa keruntuhan dinasti Abbasiyyah atau masa kemundurun Islam. Tahun 1250 adalah masa akhir periode klasik sejarah perkembangan peradaban Islam. Setelah masa itu dalam perspektif Kiai Wahab sudah tidak ada lagi orang berkaliber mujtahid yang merupan syarat untuk menjadi imam a’dzam.
Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam.
Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Kiai Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite khilafah, karena terbukti Kiai Wahab menjelaskan bahwa sudah 700 tahun tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai Imam atau khalifah. Lantas, apa logika Kiai Wahab dengan mengajukan argumen bahwa khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700 tahun.
Kalau kita membuka lembaran “kitab kuning”, semisal al-Ahkām al-Sulthānīyah, di situ dijelaskan bahwa ahl al-imāmah (orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat adil, berilmu yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindra dan fisik dari kekurangan, wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan nasab Quraisy.
Poin tentang berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah tampaknya yang dijadikan pijakan Kiai Wahab. Kalau ingin lebih jelas lagi dalam kitab Fath al-Wahhāb langsung tertulis salah satu syarat menjadi al-imam al-a’dzam, di antara adalah muslim, mukalaf, merdeka, adil, dan seorang Mujtahid.
Menarikanya lagi, dalam pidato tersebut, Kiai Wahab menjelaskan lebih lanjut bahwa karena syarat menjadi imam a’dzam (seperti dalam al-Māwardī) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah menjadi pemimpin RI dengan gelar walīy al-amr al-dharūrī bi al-syaukah. Artinya, syarat pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal realistis. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang presiden tidak sama dengan imam a’dzam sehingga syarat ideal seperti dalam al-Māwardī tidak diperlukan.
Ahmadiyah dan Syiah lebih “Gentle”
Lebih jauh, jejak khilafah atau imamah di kitab kuning maupun di catatan historis tidak bisa langsung sebagai pembenar atas judul film jejak khilafah yang dibuat dan didukung oleh eks-HTI. Karena Memang beda pemahaman khilafah dalam kitab kuning dengan apa yang dipahami eks-HTI. Kalau HT bisa mengklaim gegara ada kajian khilafah atau imamah dalam kitab kuning, maka Ahmadiyah dan Syiah juga bisa mengklaim. Namun tampaknya Ahmadiyah dan Syiah lebih “gentle” daripada eks-HTI. Mereka membuat formulasi sendiri tanpa harus mencari pembenar di kitab kuning atau sejarah Walisongo sekedar sebagai legalitas palsu dan menipu umat awam lalu harapannya bisa menjadikan warga NU menjadi anggota mereka.