Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang

KH. Mansur: Kiai Pendekar dan Guru KH Hasyim Asy’ari [Bagian 1]

2 min read

Ndalem Kiai Mansur di depannya ada dua pohon sawo. Foto oleh Penulis

KH. Mansur adalah putra Aryo Redjo (makamnya ada di Sekaru Gudo Jombang). Kalau diurut ke atas, silsilah KH. M Mansur bin Arya Reja bin Arya Kromo bin Arya Penangsang bin Pangeran Sekar Seda Lepen bin Raden Patah.

Nampak ada sambungan yang terputus dari dari Aryo Kromo ke Aryo Penangsang. Dan ini diakui oleh keluarga besar Kiai Mansur karena memang tidak mungkin Aryo Kromo bersambung langsung (anak-ayah). Tapi yang jelas—sebagaimana disampaikan Anis Bachtiar—saat pertemuan keluarga besar, Kiai Khozin bin Mansur pernah berkata bahwa kita adalah keturunan Aryo Penangsang, tapi tidak usah ditelusuri akar sejarahnya, khawatir menimbulkan problematika sejarah kelam.

KH. Mansur yang juga bernama samaran Linet pada masa mudanya pernah menjadi santri KH. Khozin, pengasuh Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Selanjutnya mondok di Pesantren Wonokoyo di bawah pengasuh KH. Abdul Hamid.

Beliau adalah pengasuh generasi ketiga di Pondok Pesantren Midanut Ta’lim Mayangan yang berdiri sekitar tahun 1830 M. Pendirinya adalah Kiai Hafidz yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Kampil. Sepeninggal Mbah Kampil, pengasuhnya adalah KH. Nur Syam yang mengasuh sekitar tahun 1860 hingga tahun 1902. Setelah wafatnya KH. Nur Syam, kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh menantunya yaitu KH. Manshur mulai tahun 1902 hingga tahun 1936.

Beliau mempunyai dua istri. Pernikahan dengan Hj Maimunah (istri pertama) melahirkan 1. Hj Masyirotun, 2 Hj Masamah 3. KH Ma’shum 4. KH. Kasmuni 5 KH Minhadj 6. KH Nursalim 7. Hj Muminah 8. KH. Khudlori 9. KH Khozin Mansur. Sedangkan pernikahan dengan Hj Shobihah (istri kedua) melahirkan 1. Hj Ruqoiyah 2. KH Yasin Mansur 3. Hj Shofiyah 4. KH. Abdul Hadi.

Baca Juga  Kartini dan Pemaksaan Perkawinan

Dalam kisah yang beredar seperti di buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan karya Zuhairi Misrawi, atau di situs tirto.id, republika.co.id dan termasuk buku masterpiece tentang NU yang ditulis oleh cucu Kiai Mansur sendiri, yakni Drs. H. Choirul Anam dalam karyanya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (tentu buku Cak Anam ini tetap terbaik dalam
penggalian data serta banyak dirujuk penulis luar) dijelaskan bahwa Kiai Hasyim pernah mondok di Wonokoyo Probolinggo.

Penyebutan Wonokoyo Probolingo ini yang dominan menyebar ke publik dan di buku buku yang ditulis tentang KH. Hasyim Asy’ari.
Kalau ditelusuri, rujukannya adalah buku karya Akarhanaf (KH. Abdul Karim Hasyim Nafiqoh) yang berjudul Kiai Hasjim Asj’ari, Bapak Ummat Islam Indonesia.

Buku yang ditulis pada tahun 1949 atau dua tahun setelah Kiai Hasyim wafat ini nampaknya yang disalahpahami terkait dengan Wonokoyo dan Probolinggo. Padahal redaksi buku tersebut di halaman 22 adalah, “Mula-mula ditjobanja pergi ke Pondok Pesanteren Wonokojo, Probolinggo, Pelangitan, Terenggilis, Madura dan lain-lainnja.”

Tanda koma setelah Wonokojo dianggap sebagai penjelas kabupaten dimana Wonokojo berada. Padahal tanda koma dalam tulisan di atas menjelaskan nama-nama pondok atau daerah dimana pondok itu berada. Jadi kalau diuraikan dari redaksi buku di atas: KH. Hasyim pernah mondok di pesantren Wonokoyo, pesantren Probolinggo, pesantren Pelangitan (Langitan), pesantren Trenggilis, pesantren Madura, dan lain-lainnya. Hal ini diperkuat dalam buku yang sama di halaman 35 saat menyebut pesantren yang ada di Jombang antara lain adalah Wonokoyo.

Terlebih lagi nama pesantren atau nama desa Wonokoyo di Probolinggo itu tidak diketemukan. Justeru yang ada nama Wonokoyo di Pasuruan, tapi di Pasuruan tidak ada situs atau informasi masyarakat yang menjelaskan bahwa dahulu terdapat pesantren yang mengisahkan tentang Kiai Hasyim Asy’ari.

Baca Juga  Merawat Semangat Keindonesiaan dan Keislaman: Dakwah Nusantara Tuan Guru Bajang

Hal ini berbeda dengan Wonokoyo di Mayangan, selain ada situs musala, makam, dan masyarakat pun masih tahu bahwa dahulu di situ terdapat pondok.

Penjelasan tersebut didukung dari informasi yang saya peroleh bahwa Kiai Hasyim Asy’ari berjalan kaki kalau mau mengaji ke Wonokoyo.

Nalar yang mudah dipahami kalau jalan kaki berarti jaraknya tidak terlalu jauh. Bisa jadi jalan kaki dari Pondok Keras (Kiai Asy’ari) ke Wonokoyo (ada sumber yang menyampaikan demikian), atau jalan kaki dari Wonokoyo ke Mayangan (sumber lain mengatakan demikian.

Dalam riwayat ini dijelaskan bahwa Kiai Hasyim gotakan pondoknya ada di Wonokoyo yang hingga sekarang mushollanya masih ada. Beliau kalau mau mengaji ke Kiai Mansur jalan kaki menuju Mayangan yang jarak antara Wonokoyo dan Mayangan hanya ratusan meter).

Memposisikan Wonokoyo ini menjadi penting untuk menyambung mata rantai pesantren Midanut Ta’lim dengan jejak pengembaraan keilmuan KH. Hasyim Asy’ari. Dalam riwayat, Hadratus Syaikh pernah berkata sebagaimana diceritakan oleh KH. Khozin kepada H. Aflah dan M. Solehuddin pada hari minggu 25 November 2007, “Saya dulu pernah mondok di Wonokoyo, malahan yang mengajar adalah abahmu (Kiai Mansur) dan saya mengaji Ibnu ‘Aqīl. Pada saat itu jarang sekali orang yang mengaji kitab Ibnu ‘Aqīl, yang mengajar adalah abahmu”.

Kisah KH. Hasyim mengaji kitab Ibnu ‘Aqīl ini selaras dengan tuturan sumber lain bahwa fan atau keahlian KH. Mansur adalah fiqih dan nahwu.

Selain alim, Kiai Mansur adalah pribadi yang tawadlu. Hal tersebut dapat ditelusuri dari kisah di bawah ini.

Kiai Munib dapat kisah dari Kiai Amar Lamongan (santri Kiai Mansur yang wafat pada usia 125), dan Gus Karim mendapatkan kisah dari KH. Muhammad Khozin bin Mansur (pengasuh pesantren Mambaul Hikam Putat Tanggulangin Sidoarjo).

Baca Juga  Syeikh Ali Jum’ah: Ulama Moderat Berpengaruh di Dunia

[Bersambung]–Klik di Sini

Editor: MZ

Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang