Kartini dan Pemaksaan Perkawinan

Saya tengah membaca Kartini: Sebuah Biografi karya Siti Soemandari Soeroto yang dinilai sebagai biografi yang otoritatif tentang pejuang emansipasi perempuan ini. Saya mencoba membangun narasi keterhubungan peringatan Hari Kartini 2021 dengan sebuah kegiatan yang akan kami laksanakan pada 21 April 2021. Tibalah pada cuplikan pemikirannya tentang perkawinan. Tulisnya,

“…sewaktu-waktu Ayah dapat saja mengawinkan aku dengan siapa saja yang tak kukenal sebelumnya atau kucintai. Cinta? Apakah yang kami ketahui tentang cinta? Bagaimanakah perempuan dan laki-laki dapat saling mencintai, jika tidak boleh saling mengenal sebelumnya? Aku mau merdeka supaya tidak terpaksa untuk kawin!..Tetapi kami diharuskan kawin…HARUS! Sebab tidak kawin itu noda,…noda terbesar bagi keluarga”.

Penolakan Kartini terhadap adat istiadat yang membelenggu perempuan di antaranya terhadap pemaksaan perkawinan, poligami dan subordinasi perempuan. Sebagaimana kita ketahui kemudian Kartini dalam pingitannya menemukan jawaban kondisi ketertindasan perempuan.

Melalui proses membaca, mengalami dan mencatat pengalaman-pengalaman perempuan Jawa, Kartini memusatkan pada dua pertanyaan yaitu: Pertama, Apa sebab perempuan sampai dapat dijadikan obyek kesenangan kaum laki-laki, seakan-akan mereka tidak mempunyai fikiran dan pendapat atau perasaan sendiri?.

Kedua, dan sebaliknya, apa sebab kaum laki-laki sampai menganggap perempuan sebagai sebuah ‘golek’, sebuah boneka, barang mati yang boleh diperlakukan semaunya, seolah-olah perempuan itu bukan sesama manusia?. Jawabannya, adalah “Laki-laki itu egoistis dan perempuan itu bodoh” (Siti Soemandari,1977,57), yang disebabkan oleh sistem masyarakat feodal saat itu. Yang dalam analisa sekarang adalah kontruksi masyarakat patriarkis.

Kemudian Kartini merumuskan cara mengatasi ketertindasan itu yaitu melalui pendidikan dan pemberdayaan perempuan. Perempuan harus mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki, agar kemudian dapat bekerja sendiri dan tidak tergantung pada laki-laki, karenanya bisa memilih menikah dengan lelaki yang dicintainya.

Untuk mewujudkannya, Kartini bertekad menjadi guru -walaupun kemudian keberangkatannya ke Belanda gagal-, mendirikan sekolah perempuan, dan perkumpulan “Oost en West” untuk menghidupkan kerajinan tangan dan ukir Jepara. Jika Kartini menolak pemaksaan perkawinan atas nama adat, setelah lebih dari seabad kematiaannya, apakah pemaksaan perkawinan masih ada di Indonesia?

Mengenal Pemaksaan Perkawinan

Pemaksaan perkawinan didefinisikan sebagai praktek perkawinan dimana salah satu pihak mengalami paksaan, biasanya terjadi kepada perempuan, sebagai pihak yang dianggap melakukan pelanggaran adat atau alasan tertentu lainnya terkait dengan hukum adat yang berlaku, di komunitas tempat pasangan tersebut tinggal (Komnas Perempuan,2016).

Pemaksaan perkawinan lebih menyasar perempuan dan berakar dari diskriminasi terhadap perempuan, sehingga kemudian dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender (KBG). Hal ini tidak berbeda jauh dengan jawaban yang didapatkan Kartini yakni karena posisi perempuan dalam masyarakat yang dipandang rendah atau subordinat.

Perempuan tidak memiliki bebasan dalam menentukan dengan siapa ia akan kawin dan kapan melangsungkan perkawinan. Yang tak kalah penting, pemaksaan perkawinan berkaitan erat dengan bentuk KBG lainnya yaitu praktek yang berfokus kepada keperawanan, honour killing, kekerasan atas nama mahar (dowry violence), kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya perempuan akan terkurangi penikmatan hak asasinya, juga dengan sendirinya tujuan perkawinan tidak akan tercapai.

Kajian Komnas Perempuan tentang Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Budaya menemukan masih terjadinya pemaksaan perkawinan dalam praktik tradisi. Di antaranya kawin sambung, kawin lari, kawin cina buta, kawin grebeg/kawin tangkap/mudemu dan kawin lily. Yang berkaitan dengan menjaga harta kekayaan, kepemilikan perempuan, dan penghukuman atas norma adat istiadat.

Pemaksaan perkawinan juga dilakukan sebagai penutup malu karena kehamilan di luar perkawinan sekalipun akibat perkosaan. Dalam sebagian besar aturan adat, korban perkosaan harus menikah dengan pemerkosanya. Perkawinan itu dilakukan untuk menyelamatkan desa dari cemar dan menghindarkan sanksi adat terhadap anak yang dilahirkan sebagai anak haram.

Tentu saja hal itu tanpa melalui pertimbangan kepentingan korban. Implikasinya adalah korban mengalami trauma yang berkepanjangan karena membiarkan korban mengingat kembali peristiwa perkosaan, hidup bersama dengan pemerkosanya dan mengalami perkosaan yang berulang.

Selain atas nama praktek budaya, kita jumpai dalam kasus-kasus ekploitasi seksual atau perdagangan orang. Seperti pemaksaan perkawinan yang dialami seorang anak perempuan (15 tahun) yang dipaksa ibunya untuk menikah dengan laki-laki berusia 37 tahun, pemilik lapak judi sebagai pelunasan hutang (detiknews,26/04/2016).

Terdapat relasi kuasa berlapis dalam perkawinan anak, selain karena perempuan, usia dan juga relasi emosi orang tua dan anak. Pemaksaan dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan ancaman kekerasan atau ancaman terkait relasi anak dan orangt tua, seperti tidak diakui anak, dikeluarkan dari sisilah keluarga, tidak diberi harta warisan, hingga bujuk rayu, dan tipu daya.

Khusus untuk perkawinan usia anak yang menjadi agenda gerakan perempuan sejak Kongres Perempuan I pada 1926, baru berbuah pada 2019. Perubahan UU Perkawinan meningkatkan usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun untuk perempuan. Dibutuhkan 93 tahun secara hukum untuk mencegah perkawinan anak ini. Bandingkan dengan usia perkawinan Kartini yang 24 tahun.

Akibat beragam bentuk pemaksaan perkawinan, perempuan akan semakin sulit berada dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Berdasarkan pengalaman pemaksaan perempuan dalam memasuki lembaga perkawinan, maka menjadi hal wajar jika kemudian gerakan perempuan menuntut pengaturan pemaksaan perkawinan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Semata-mata untuk mengekpresikan pendapat dan perasaannya, juga menuntut hak memasuki perkawinan berdasarkan keputusan yang sadar dan setara dengan laki-laki.

Saya sadar untuk menghapus pemaksaan perkawinan tidaklah mudah. Tidak cukup dalam aturan hukum saja, melainkan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Namun, harus dimulai.

Seperti Kartini yang menjadi pembuka jalan bagi perempuan, maka perempuan-perempuan saat inipun berkewajiban membuka jalan bagi perempuan berikutnya untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Saat menanti kelahiran anak pertamanya, Kartini menuliskan harapan dan janjinya jika anak itu perempuan, yaitu kebebasan memilih. Tulisnya:

“Jikalau anak yang saya kandung ini perempuan…Ia tidak akan dipaksa untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perasaannya yang sedalam-dalamnya. Apa yang diperbuatnya, akan dilakukannya dengan kehendaknya sendiri yang bebas. Ia akan mempunyai Ibu yang akan menjaga kesejahteraan jiwanya, dan ayah yang tidak akan memaksa dia untuk melakukan sesuatu. Bagi ayahnya tidak akan menjadi soal jika puterinya seumur hidup tetap tidak mau kawin”. (MMSM)

 

0

Feminis dan Komisioner Komnas Perempuan

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.