Imam Ghazali hidup di masa kemunduran dinasti Abbasiyah dengan uraian seperti diungkap Munawir Sjadzali dalam karya Islam and Governmental System maupun penjelasan Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution dalam buku Pemikiran Politik Islam.
Gambaran kemundurannya, pada masa itu tentara Seljuq berupaya menguasai arus politik di ibukota dinasti Abbasiyah. Kebobrokan moral merajalela, korupsi di kalangan ulama dan ahli hukum meluas, dan intrik pembunuhan sesama saudara untuk meraih kekuasaan terjadi. Kekuasaan Bani Abbas melemah bahkan kekuasaan khalifahnya hanya sekitar istana. Mereka hanya boneka dari para wazir non-Arab baik dari Turki maupun Persia.
Semula Imam Ghazali berharap bisa memperbaiki kebobrokan yang terjadi. Tapi karena skala, dimensi, dan kompleksitas kebobrokannya akut, yang itu ternyata jauh dari dari kemampuannya.
Menariknya, seperti disinggung di atas, pada waktu itu masih ada khalifah di Baghdad, tapi ternyata khalifah tidak memberi solusi malah menjadi boneka. Selanjutnya Imam Ghazali melakukan uzlah yang akhirnya dapat melahirkan puncak karya intelektual-spiritual di antaranya mahakarya Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn dan lainnya. Lebih dari itu, pasca-uzlah beliau berhasil “melahirkan” suatu negara di Afrika Utara, yakni dinasti Muwahhidun. Dinasti Muwahhidun hadir berdasar petunjuk dan pengarahan dari Imam Ghazali.
Seperti telah disinggung, Imam Ghazali pernah hidup di kota yang ada khalifahnya yakni di Baghdad, setidaknya di era Khalifah al-Muqtadi, al-Mustazhir, al-Mustarshid, al-Rashid, dan al-Muqtadi (berdasar tabel Bosworth dalam The Islamic Dynasties).
Saat masih ada para khalifah di Baghdad itu juga muncul dinasti-dinasti lain seperti Seljuq dengan daerah kekuasaannya di Iraq, Suriah, Kirman dan Persia. Sultannya yang semasa dengan Imam Ghazali adalah Alp Arsalan, Malik Shah I, Mahmud I, Barkiyaruq, Malik Shah II dan Muhammad I (memakai tabel Bosworth). Saat itu perdana menteri terkenalnya adalah Nizam al-Muluk dan Fakhr al-Muluk yang dekat dengan Imam Ghazali.
Imam Ghazali pernah mengajar di Nizamiah Baghdad dan Nizamiah Nisabur. Beliau juga menulis buku nasehat untuk penguasa yang berjudul al-Tibr al-Masbūk fī Nasīhat al-Mulūk (التبرالمسبوك في نصيحة الملوك)
Judul buku tersebut menarik, karena ada kata muluk bukan kata khalīfah ataupun khulafā’. Entah kenapa, yang jelas buku itu untuk menasehati salah seorang raja, yakni Sultan Muhammad bin Malik Shah al-Seljuqi. Banyak halaman di buku ini dimulai dari “i’lam yā Sultān” semisal di awal halaman buku itu ada redaksi: إعلم يا سلطان العالم, ملك الشرق والغرب.. (Ketahuilah, Wahai Sultan Dunia, Raja Timur dan Barat).
Jangan bertanya kenapa Imam Ghazali, pertama, memanggil sultan sang penguasa dunia padahal itu dalam perspektif Hizbut Tahrir adalah hak Khalifah sebagai penguasa dunia. Kedua, kenapa juga tidak menulis buku untuk para khalifah agar Khalifah kuat dan bisa memberi solusi atas kebobrokan yang terjadi.
Kembali ke judul di atas, di sini saya ingin mengutip buku al-Iqtishād fī al-I’tiqād karya Imam Ghazali dan buku otoritatif bagi anggota Hizbut Tahrir karya Atha Abu Rashta, yakni kitab Ajhizat Dawlat al-Khilāfah. Tentu saya bukan bermaksud membandingkan dua pribadi, karena memang jauh dari setara baik dalam pengalaman intelektual dan spiritual serta kuantitas dan kualitas para pengikutnya. Tapi saya hanya ingin menampilkan narasi nalar tentang politiknya saja.
Imam Ghazali menjelaskan konstruksi imamahnya yang walaupun ditegaskan wajibnya berdasar syar’i bukan aqli, tapi narasinya berangkat dari premis-premis logika. Contohnya berikut ini saat membuktikan penjelasan wajibnya pengangkatan imam:
إن نظام أمر الدين مقصود لصاحب الشرع، محمد صلم
لا يحصل نظام الدين إلا بامام مطاع
صاحب الشرع هو الامام المطاع
Pun demikian saat Imam Ghazali membuktikan tentang ketertiban pelaksanaan ajaran agama tidak bisa tercapai kecuali dengan imam yang ditaati.
نظام الدين لا يحصل الا بنظام الدنيا
نظام الدنيا لا يحصل الا بامام مطاع
نظام الدين لا يحصل الا بامام مطاع
Imam Ghazali masih meyediakan jawaban logis saat ada yang menyanggah, semisal dengan perkataan bahwa kesuksesan menjalankan aturan agama hanya akan tercapai bila meninggalkan urusan dunia. Karena dunia dan agama berlawanan, sibuk dengan yang satu akan menghancurkan atau harus mengabaikan yang lain.
Statemen di atas ditentang oleh Imam Ghazali dengan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “dunia” adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia sebelum wafat, dan ini tidak bertentangan dengan agama. Selanjutnya Imam Ghazali membuat premis logika berikut:
إن نظام الدين -بالمعرفة والعبادة- لا يتوصل إليه الا بصحةالابدان والامن
إن صحةالابدان والامن -بما فيها المال والحياة- لا تتحقق الا بسلطان مط
نظام الدين لا يتحقق الا بسلطان مطاع
Lalu Imam Ghazali memungkasi, dengan demikian, ketertiban kehidupan di dunia (nizām al-dunyā) adalah syarat untuk bisa tertibnya menjalankan agama (nizām al-dīn). Eksistensi sultan adalah perkara urgen dalam nizām al-dunyā. Bisa terlaksananya nizām al-dīn adalah perkara pasti agar beruntung berupa kebahagiaan di akhirat yang ini adalah maksud dari hadirnya para Nabi ke dunia. Dengan demikian, wajibnya nasb al-imām (diangkatnya seorang imam) adalah sesuatu yang urgen dalam syara’ yang tidak bisa ditinggalkan.
Cara menyusun argumen sebagai alur berpikir Imam Ghazali adalah logis dan tidak melompat. Juga bisa kita pahami maksud dari kata imam tersebut adalah pemimpin politik bisa sultan atau malik atau yang lain.
Bandingkan dengan apa yang dikonstruksi oleh pimpinan Hizbut Tahrir saat ini, Atha Abu Rashta sebagai nalar melompat/irasional dalam menyimpulkan, alias jumping to conclusions.
Saya contohkan, Atha Abu Rashta menyajikan ayat:
فاحكم بينهم بما انزل الله
Atha membangun argumen bahwa seruan ayat di atas juga seruan kepada umat Islam agar mewujudkan seorang hakim setelah Nabi wafat agar hakim itu menghukumi umat dengan hukum Allah. Seruan ini menurut Atha adalah jazm (wajib).
Atha lalu melanjutkan bahwa hakim yang menghukumi kaum muslimin dengan hukum Allah adalah khalifah. Kesimpulannya, dari ayat di atas adalah khalifah wajib diangkat di tengah manusia.
Itulah premis dan kesimpulan yang tidak urut atau melompat dari hakim langsung ke khalifah (lebih jauh baca di buku saya Mematahkan Argumen Hizbut Tahrir terbitan Wahid Foundation 2019). Melompatnya ini bisa jadi karena mereka menolak ilmu mantiq sehingga enggan mempelajarinya.
Sebagai catatan, tokoh-tokoh Hizbut Tahrir selain mengkritik ilmu logika juga mengkritik ilmu filsafat serta ilmu kalam (baca buku berjudul Islam, Politik, dan Spiritual karya mantan pimpinan eks HTI, yakni Hafidz Abdurrahman. Lebih jauh kritikan mereka terhadap ilmu logika juga bisa dibaca di buku al-Tafkīr karya Taqiyuddin an Nabhani dengan menyebutnya bahwa logika bukan metode berpikir.
Atha Abu Rashtah juga langsung menyebut khalifah sebagai nomenklatur tiada ganti padahal dalam pemimpin ada raja, ada presiden dan lain lain. Terlebih khalifah dalam sejarah banyak yang menyimpang, selain banyak yang baik.
Terakhir, membahas khilafah atau imamah tidak usah ndakik-ndakik karena bisa menjerumuskan kita dalam kefanatikan. Begitulah poin inti kata Imam Ghazali:
إن البحث فى الامامة ليس من فن المعقولات، ولا من المهمات، بل إنها مثار للتعصبات، والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض ولو اصاب، فكيف إذا أخطأ؟
Maka saya menjadi teringat kenapa dalam kitab kuning yang berjilid jilid tapi pembahasan masalah imam atau khalifah hanya sedikit lembar. Semisal Imam Romly dalam kitab Nihāyat al-Muhtāj ilā Sharh al-Minhāj sebanyak 6 jilid, tapi kajian imam atau khalifah hanya 1.5 lembar saja.
Pula kitab Asnā al-Mathālib karya Syaikh Zakariya al-Ansarī yang tebalnya 9 jilid tapi hanya membahas imam dalam Bāb al-imāmat al-udzmā sebanyak 4.5 lembar. Sedangkan Hizbut Tahrir yang kitab otoritatifnya hanya 18 kitab saja mengkaji tentang khilafah ada di kitab Ajhizat Dawlat al-Khilāfah, ada di kitab al-Dawlah al-Islamīyah, ada di kitab Nizām al-Hukm fī al-Islām dan ada di kitab al-Syakhsīyah al-Islamīyah jilid 2.
Tentu masukan akan saya terima dengan senang hati karena hidup adalah upaya memperbaiki yang kurang atau salah.
Editor: MZ