
Di antara gemuruh bintang dan senyapnya ruang hampa, hukum-hukum fisika terhampar bagai titah yang tak pernah salah. Gaya dan percepatan gravitasi menundukkan langit, membelokkan cahaya dalam setiap waktunya, dan elektron menari dalam kepastian takdirnya.
Semuanya berjalan dalam keteraturan dan keseimbangan yang tak pernah ingkar. Benda-benda langit dan bumi memang tak berbicara, tapi setiap gerak mereka adalah dzikir kepada Sang Hyang Maha Agung.
Kita hidup dalam jagat raya yang tak sekadar luas, tapi juga penuh makna. Alam ini bukan hanya “ada”, tetapi “dihadirkan”. Keteraturan gerak planet, kesetiaan bulan mengelilingi bumi, hingga lintasan cahaya yang selalu konsisten. Semuanya menunjukkan bahwa semesta bukan sekadar kebetulan, tapi bagian dari kehendak agung.
Hukum-hukum fisika bekerja seperti simfoni orchestra secara akurat yang memainkan lagu yang sama sejak awal penciptaan. Tidak satu pun dari hukum itu meleset, karena semuanya ditulis dengan pena yang tak pernah keliru: kehendak Tuhan.
Di sisi lain, Al-Qur’an terbuka dengan ayat-ayat yang menggetarkan hati.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran [3]: 191-191)
Ayat itu bukan sekadar puisi ataupun prosa. Ia adalah undangan yang lembut sekaligus kuat bagi setiap jiwa yang berakal: untuk merenung, memikirkan, dan menyelami makna dari setiap gerak semesta.
Ia memanggil siapa pun yang berilmu agar tidak berhenti pada fakta, tetapi menembusnya hingga menemukan hikmah. Karena ayat-ayat Al-Qur’an bukan sekadar untuk dibaca, tapi untuk direnungkan dan dijalani.
Mengapa segala sesuatu begitu teratur? Mengapa alam tunduk pada rumus dan hukum, seolah ia paham apa yang diinginkan oleh Penciptanya? Keteraturan alam terbayangkan bak sebuah mesin kompleks yang bekerja sesuai algoritma agung yang ditanamkan dalam strukturnya.
Hukum Fisika menjelaskan bagaimana alam bekerja. Al-Qur’an mengajak kita memahami mengapa ia diciptakan. Keduanya tidak bertentangan, karena berasal dari sumber yang sama: Tuhan yang Maha Mengetahui. Yang menulis hukum semesta dalam materi, dan yang menurunkannya sebagai wahyu dalam kitab.
Newton menyaksikan apel jatuh dan mengukir hukum gravitasi, kemudian merumuskan dalam Hukum Newton III “∑F_aksi = – ∑F_reaksi,” yang menyatakan bahwa setiap aksi memiliki reaksi yang sama besar dan berlawanan arah.
Konsep ini tidak hanya berlaku di dunia fisika, tetapi juga memberikan pelajaran filosofis bahwa semua tindakan melahirkan konsekuensi. Ini mencerminkan keadilan Tuhan dalam menetapkan hukum sebab-akibat.
Einstein kemudian melangkah lebih jauh, berbicara tentang kelengkungan ruang dan waktu dalam relativitas umum. Ia menyadari bahwa gravitasi bukan sekadar gaya, tetapi bentuk dari geometri ruang itu sendiri. Sebuah pemahaman yang membawa manusia melihat bahwa realitas fisik jauh lebih dalam dari yang tampak di permukaan.
Namun, jauh sebelum Newton dan Einstein, Al-Qur’an telah berkata:
“Dialah yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat. Kemudian, Dia berkuasa atas ‘Arasy serta menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang telah ditentukan (kiamat)…” (Q.S. Ar-Ra’d [43]: 2)
Kebenaran bukan monopoli sains, bukan pula milik satu kitab. Ia berserakan di langit dan bumi, di laboratorium dan mushaf. Ketika sains mengungkap rumus dan fakta, Al-Qur’an mengungkap arah dan tujuan. Keduanya berjalan seiring, bukan saling meniadakan.
Adakah yang lebih indah dari keteraturan yang tak buta? Adakah yang lebih agung dari logika yang lahir dari cinta-Nya kepada ciptaan?
Di situlah keduanya bertemu, sains dan wahyu. Fisika mengurai ciptaan, Al-Qur’an mengantar pada Pencipta. Maka barang siapa membaca ayat-ayat semesta dengan hati yang tunduk, ia akan menemukan bahwa setiap gerak partikel pun bertasbih, dan setiap orbit bintang dan planet adalah sujud dalam diam. Atom, galaksi, waktu, dan energi. Semuanya tunduk dan taat.
Kita sebagai manusia hanya perlu membuka mata dan dada, agar bisa melihat bahwa kebenaran itu satu: tertulis di langit dalam hukum, dan tertulis di kitab dalam ayat. Karena semua yang terhampar di semesta adalah ilmu. Ilmu tanpa papan.
Kita hanya perlu menjadi pembelajar sejati, agar jejak cahaya itu menuntun kita, dari langit yang luas menuju Sang Pemilik Cahaya itu sendiri.
Wallahu a’lam bishawab
Dosen Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya; Departemen Media Moderate Muslim Institute