Akhmad Siddiq Dosen Studi Agama-agama, bergiat di Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya

Jemaah Tarawih dan Pentingnya Membangun Kesadaran Bersama di Tengah Pandemi

2 min read

Foto: Merdeka.com

Usai membaca tulisan Hasan Mahfudh, “Viral Video Nekat Tarawih di Masjid: Mestinya Kita Malu” (28/4/2020), saya segera melacak keberadaan video itu di Youtube. Saya mendapatkan versi berita dari video itu dan melihat adegan yang menurut Mahfudh mengingatkannya pada “aksi para suporter bola yang memaksa masuk stadion tanpa tiket.”

Yang terlupa dari tulisan Mahfudh, menurut saya, adalah menjelaskan latar belakang dari peristiwa itu secara jelas. Mengapa orang-orang itu melakukan aksi tersebut? Apakah mereka lompat pagar karena menghindari pemeriksaan bodythermol? Karena tidak menggunakan masker? Atau karena pintu masjid itu benar-benar ditutup? Karena faktanya, masjid tersebut tetap mengadakan salat tarawih dengan memperhatikan prosedur penanganan covid-19: memeriksa suhu badan jemaah, mewajibkan jemaah menggunakan masker, cuci tangan, dan menjaga jarak.

Merespons tulisan Mahfudh, saya ingin memberikan gambaran lain tentang fenomena salat tarawih berjemaah di masa pandemi saat ini.

Jauh dari Jakarta dan Surabaya, sebagai kota yang officially melakukan PSBB untuk membatasi kerumunan dan menggalakkan physical distancing, fenomena salat tarawih di beberapa daerah sebenarnya tidak banyak berubah. Di masjid-masjid desa, jemaah tarawih tetap saja berdatangan, berduyun-duyun, tanpa masker, tanpa perlengkapan cuci tangan di depan masjid, tanpa pengecekan suhu badan, dan tanpa jaga jarak. Mereka datang dengan keyakinan bahwa salat tarawih adalah media mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan berjemaah di masjid; bahwa salat tarawih adalah ajaran agama; bahwa tarawih adalah kebaikan. Dan tak ada yang mampu menghalangi mereka untuk melakukan kebaikan. Koronavirus sekalipun.

Tentu saja, keyakinan seperti ini akan dilihat sebelah mata oleh mereka yang secara ketat mematuhi prosedur penanganan covid-19, akan diceramahi dengan dalil-dalil agama tentang sunnah Nabi dalam menghadapi pandemi, atau tentang kaidah agama dar’ al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-masālih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan).

Baca Juga  Melihat Relasi Ulama dan Umara dalam Proses Islamisasi Nusantara

Sebelum menilai peristiwa aksi loncat pagar masjid tersebut, kita perlu melihat juga bagaimana pada kenyataannya himbauan physical distancing ini dilakukan, disosialisasikan, dan diterapkan. Apakah jejaring komunikasi-informasi sudah dilakukan dengan baik? Apakah setiap masjid sudah memiliki perangkat yang mendukung himbauan tersebut? Apakah fungsi penyuluhan penangan koronavirus sudah dilakukan pemerintah hingga ke tingkat yang paling bawah?

Seorang guru ngaji di desa yang jauh dari kota menceritakan kegelisahannya kepada saya, antara mematuhi prosedur covid-19 dengan kondisi jemaah tarawihnya. “Bagaimana saya bilang ke mereka soal penanganan covid-19 ini. Bagaimana saya mengatakan kepada mereka untuk memakai masker? Agar tidak saling berjabat tangan? Agar menjaga jarak? Masjid ini dipenuhi jemaah, tak mungkin melakukan physical distancing. Menyuruh mereka salat di rumah? Itu sangat tidak mungkin.”

Ada dilema antara berlaku ketat terhadap penanganan covid-19 dan menjaga praktik kesalehan sosial di ruang-ruang masjid. Dilema ini juga tergambar, misalnya, ketika dalam suatu kesempatan takziyah ada seseorang terlihat menggunakan masker. Teman saya mengatakan, “Saya sebenarnya ingin menggunakan masker juga. Tapi nggak enak, nanti menjadi perhatian. Seolah-olah…”

Menurut saya, ada beberapa hal mengapa orang-orang terkesan tidak peduli dengan penanganan wabah koronavirus.

Pertama, soal edukasi yang tidak sampai. Saya tidak bicara informasi (karena setiap orang sudah pasti mengetahui informasi tentang wabah ini dari berbagai media), tapi memberikan edukasi terkait hal-hal mendasar penanganan koronavirus kepada lapisan masyarakat di bawah itu penting. Di ranah ini, kritik seringkali terlontar: kenapa tidak memanfaatkan peran tokoh agama, semisal kiai langgar, dalam penanganan wabah? Apakah penyuluhan tenaga medis dilakukan hingga ke lapisan bawah masyarakat? Bahwa sudah ada banner Posko Penanganan Covid-19 di balai-balai desa itu nyata, tapi kinerja penyuluhan-lah yang dipertanyakan banyak orang.

Baca Juga  Demokrasi dalam Praktik Pluralisme di Indonesia

“Nggak ada penyuluhan. Tulisan Posko saja yang ada!” Begitu kritik yang biasa terdengar.

Edukasi penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, berbeda dengan informasi yang terkadang justru membuat mereka semakin tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Kedua, kesan penerapan kebijakan yang timpang. Sebagian orang melihat kebijakan physical distancing lebih dipaksa agar diberlakukan di ranah kegiatan ibadah atau sosial-keagamaan, sementara di sektor umum seperti pasar dan jalanan, hal tersebut terkesan diabaikan. Pasar ramai dibiarkan, tapi masjid mau dilengangkan. Begitu percakapan-percakapan umum yang sering terdengar.

Kesan ini tentu tidak sepenuhnya benar, sebab pemerintah, saya pikir, sudah berusaha menerapkan kebijakan jaga-jarak dan meniadakan kerumunan itu di segala lini. Pertanyaannya: kenapa kesan tersebut bisa muncul? Selain karena minimnya edukasi, ada juga faktor teori konspirasi di balik merebaknya covid-19. Sebagian masyarakat meyakini bahwa ada sekelompok orang yang berupaya menjauhkan kaum Muslimin dari ajaran agamanya. Dan mereka berada di balik kebijakan penanganan covid-19.

Ketiga, kelengkapan yang terbatas. Kita tahu bahwa tidak semua (takmir) masjid memiliki alat pendeteksi suhu badan, tempat cuci tangan, hand sanitizer, dan ruangan yang cukup untuk menampung jemaah yang jaga-jarak. Faktor ketiga ini sebenarnya mudah diatasi, jika faktor pertama—edukasi—mampu diberikan dengan baik.

Jika guru ngaji yang menjadi imam tarawih saja merasa gamang dan tidak tahu bagaimana menjelaskan penanganan covid-19 kepada jemaah tarawihnya, lalu bagaimana kesadaran masyarakat bisa dibangun?

Kita perlu menumbuhkan kesadaran bersama (social consciousness) untuk menghadapi pandemi ini dan melaksanakan panduan penanganan covid-19 dengan baik. Hal ini, misalnya, bisa dilakukan dengan membentuk beberapa pondasi: menjelaskan isu-isu yang berkembang dengan benar (exploring the real issues), memperbanyak keikutsertaan masyarakat (opportunities for social contributions), dan meningkatkan kemampuan masyarakat (basic social skill). [MZ]

Akhmad Siddiq Dosen Studi Agama-agama, bergiat di Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *