Seorang lelaki datang menemui sahabat Nabi, Imran bin Hashin, lalu berkata: “Wahai Abu Najid, Anda telah berbicara dan menyampaikan banyak hal kepada kami, tapi kami tidak menemukan hal itu di dalam Alquran!”
Mendengar perkataan lelaki itu, Imran bin Hashin marah. Beliau berkata, “Apakah kamu mendapatkan di dalam Alquran pembahasan tentang perhitungan zakat bahwa di dalam setiap 40 dirham kamu harus mengeluarkan zakat sebanyak 1 dirham? Bahwa dari setiap ini dan itu (zakatnya) adalah seekor kambing? Bahwa dari ini dan itu (zakatnya) adalah seekor unta? Apakah kamu dapatkan (penjelasan rinci) seperti ini dalam Alquran?”
“Tidak, wahai Imran,” jawab lelaki itu.
“Lalu dari mana kamu tahu hal itu? Kalian tahu semua itu dari kami, dan kami tahu dari Nabi Muhammad saw,” kata Imran.
Cerita ini bisa ditemukan dalam kitab Sunan Abī Dāwud.
Kisah ini memberi satu pelajaran: sanad dan mata rantai pengetahuan itu penting. Lebih dari itu, ia mengingatkan bahwa ada sesuatu di balik teks, sesuatu yang harus diperhatikan. Ma wara’a al-nash. Dalam ilmu hadis, hal ini mungkin bisa disebut asbabul wurud dan dalam tradisi ilmu Alquran bisa dianggap sebagai asbabun nuzul.
Sebuah teks memang bisa hadir ke hadapan kita kapan saja, tapi ia tidak menjelaskan semua hal. Ia masih membutuhkan sesuatu yang relevan, yang mungkin bisa kita sebut sebagai orality—mengingat Walter J. Ong.
Riwayat-riwayat hadis, sebelum ia dituliskan, bersumber dari cerita dan ingatan para sahabat. Kitab-kitab suci, sebelum ia dikodifikasikan, juga tumbuh dan berputar di antara lisan dan lisan para penghafalnya. Teks-teks itu tidak berdiri sendiri, tapi bertautan dengan ingatan dan penafsiran para peminat dan pengikatnya. Lalu ingatan dan penafsiran itu tumbuh menjadi teks-teks lain yang saling melengkapi.
Jadi, mempelajari agama hanya dari satu teks saja rasanya seperti memasangkan kacamata kuda di kepala kelinci. Bukan hanya kurang pas, tapi juga menampakkan kebodohan diri sendiri. []