Ahmad Sarif Hidayatullah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Sufi yang Galau

2 min read

Pada abad ke 4 dan 5 H dalam era perkembangan tasawuf, muncul beberapa tokoh sufi yang dianggap menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Salah satunya adalah ajaran tasawuf Al Suhrawardi, pendiri madzhab isyraqiyah yang mengakui dirinya sebagai Nabi yang mendapatkan limpahan nur ilahi. Dan pada akhirnya para ulama berfatwa bahwa dia adalah kafir yang halal darahnya sehingga dia digantung di Aleppo pada tahun 587 H.

Begitu pula dengan Ibn Sa’bin yang membunuh dirinya sendiri sebagai pelarian sebelum dihukum gantung juga karena ajaran tasawufnya diserang dan dikritik oleh ulama. Bahkan beberapa sufi yang lain tak hanya ajaran teoritisnya, tetapi apa yang disampaikan dengan amalannya mengalami kontradiksi. Dalam konsep zuhud misalnya, banyak sufi yang berpakaian lusuh dan sederhana padahal secara syariat keindahan dan kebersihan adalah keutamaan dan merupakan sebagian dari iman.

Sehingga dari banyaknya penyimpangan ajaran tasawuf yang melenceng dari Al-Quran dan Hadist pada zaman itu menyebabkan perkembangan tasawuf mengalami kemunduran. Kemudian muncul-lah salah satu sufi yang galau terhadap keadaan tersebut. Dalam kegalauan-nya ia berharap ingin mengembalikan ajaran tasawuf agar kembali sejalan dengan syariat islam. Kemudian ia meriliskan salah satu magnum opusnya yang sangat monumental yakni Risalah Al Qusyairi sebagai obat penawarnya.

Dia-lah imam Al-Qusyairi seorang tokoh sufisme abad ke-5 Hijriyah di Naisabur. Nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi. Beliau lahir di Istiwa pada tahun 376 Hijriyah. Dalam mempelajari paham sufisme beliau belajar dari majelis yang diadakan oleh Abu ‘Ali al-Daqqaq. Al Qusyairi tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan batin manusia tapi juga yang berhubungan dengan zahir manusia.

Sebelum mempelajari sufisme, ia belajar ilmu fikih kepada Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakr al-Tusi. Al-Qusyairi juga belajar kepada Abu Bakar bin Faurak tentang ilmu kalam dan ushul fikih. Pemikiran sufisme Al-Qusyairi berlandaskan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari apa yang telah beliau pelajari membawanya untuk menyatukan dua kutub besar dalam Islam yaitu antara syariat dengan hakikat. Sehingga Al-Qusyairi termasuk salah satu tokoh sufi yang menerima pemikiran syariat Islam dalam hakikat. Ia wafat pada tahun 465 Hijriyah.

Baca Juga  Memorial 100 Hari Wafatnya KH. Agus Sunyoto (3)

Dalam biografi singkatnya tersebut kita tidak akan meragukan terhadap kesufian dan ajaran tasawufnya karena beliau sebelum mempelajari ilmu tasawuf, ia telah mempelajari ilmu fiqih, ilmu kalam, dan ushul fiqih kepada ahlinya sehingga pengetahuannya telah matang terutama dalam bidang tasawuf.

Dalam Risalah al-Qusyairiyah-Nya yang monumental di bidang tasawuf dan sering digunakan sebagai salah satu referensi utama tasawuf yang bercorak sunni, Al Qusyairi lebih menekankan penyucian doktrin tasawuf agar kembali pada doktrin Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Hal ini disebabkan karena Imam Al Qusyairi telah menelaah karya-karya Baqillani.

Sehingga dari sinilah ia menguasai dan membenarkan doktrin Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang dikembangkan Abu Hasan Al-Asy’ari (935 M). Hal ini sebagaimana pernyataannya yang ada dalam kitab Risalatul Qusyairih fi Ilmit Tasawuf. Beliau mengatakan; “Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan”.

Karena banyaknya doktrin yang menyimpang serta amalan amalan tasawuf yang dipraktikkan secara berlebihan, membuat Al Qusyairi merasa sedih dan galau terhadap hal yang telah menimpa jalan tasawuf pada abad  ke 5 H tersebut. Beliau sangat mengecam terhadap para sufi yang mengamalkan zuhud secara berlebihan, karena hal tersebut malah akan menyebabkan mereka keluar dalam arti zuhud yang sebenarnya dan terjebak pada anti dunia semata.

Sebagaimana menurut mereka, bahwa dalam mengamalkan zuhud yakni dengan meninggalkan secara total segala hal yang berbau duniawi karena hal hal tersebut akan menjadi penghambat jalan mereka untuk menuju Tuhan. Seperti dalam berpuasa mereka melakukannya secara terus menerus tanpa berbuka karena menganggap bahwa makan merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi.

Baca Juga  Alissa Wahid: Fokus dengan Dunia Pendidikan dan Kebudayaan

Juga dalam memakai pakaian menggunakan jubah yang kotor dan lusuh selayaknya orang miskin padahal rasulullah mengajarkan kita untuk menjaga dan memperhatikan kebersihan serta kesucian pakaian kita. Sehingga pada akhirnya tindakan mereka bertentangan terhadap pakaian yang mereka kenakan, karena hal hal tersebut akan membawa pada riya’.

Dalam beberapa aspek tersebut Al Qusyairi merasa prihatin dan mengkritik para sufi yang mengamalkan tasawuf akan tetapi tidak dibarengi aspek aspek diluar tasawuf, seperti fiqih dan lain sebagainya. Ia lebih menekankan kesehatan batin dengan berpegang pada Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW. Hal ini lebih disukainya dari pada penampilan yang memberi kesan zuhud tetapi bertentangan dengan hatinya.

Dari sini dapat dimengerti dan dipahami bahwa Al-Qusyairi sebenarnya tidak mengharamkan kesenangan duniawi selama itu tidak membuat manusia tersebut berpaling dari mengingat Allah SWT. Kita boleh saja memakan makanan yang enak selama hal tersebut tidak membuat kita menomor duakan kewajiban kita kepada Tuhan. Al-Qusyairi juga tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang bahkan dalam Al-Quran atapun Hadist Rasul tidak mengharamkannya.

Karena itulah, Sebenarnya Imam Al-Qusyairi menyatakan bahwa dalam penulisan karya monumentalnya yakni Risalatul Qusyairiah termotivasi atas kegalauan dirinya melihat persoalan yang menimpa dunia tasawuf. Akan tetapi dia tidak bermaksud untuk menjelek jelekkan seorang pun di antara para sufi dizaman itu. Karena Penulisan Risalahnya tak lain hanya sekedar obat atas kegalauannya terhadap persoalan yang menimpa dunia tasawuh saat itu.

Ahmad Sarif Hidayatullah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya