Buku : Hamka, Sebuah Novel Biografi
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Imania
Tebal : 464 halaman
ISBN : 978-602-7926-28-8
Belakangan ini ramai postingan seseorang yang mengaku ustad dan namanya terkenal di media. Ustad ini memiliki banyak jamaah. Karena dakwahnya yang ngetop, banyak orang semakin bersemangat belajar kepadanya.
Salah satu yang membuat orang tertarik kepadanya adalah, karena dalam setiap kesempatan dakwah ia selalu menisbahkan dirinya telah belajar langsung kepada Rasulullah dan para sahabat. Secara normatif hal ini adalah kebanggaan tersendiri. Orang-orang yang pernah berguru langsung kepada Rasulullah dan para sahabat bisa menjadi rujukan. Pertanyaannya: bagaimana dengan ustad media sosial, ustad kilat, yang tiba-tiba muncul di layar kaca lalu mengklaim telah berguru langsung kepada Rasulullah dan para sahabatnya?
Buku ini, merangkum kehidupan seorang cendekiawan Muslim yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Kecerdasan dan kepekaannya telah diakui oleh semua orang. Bukan saja oleh orang Indonesia, melainkan juga seluruh umat di berbagai negara. Dia adalah Hamka. Meskipun secara spesifik buku ini tidak bercerita seputar etika belajar, tetapi buku ini bisa kita jadikan cerminan bahwa pendidikan tanpa peran dan kehadiran seorang guru adalah tidak ada artinya.
Hamka adalah salah satu ulama yang sangat disegani. Pesan-pesannya teduh dan sangat mendidik. Sehingga wajar dia diterima oleh semua kalangan. Buku ini menghidangkan sejarah kehidupan, pemikiran, dan perjuangan seorang Hamka secara sempurna, utuh dan apa adanya. Haidar Musyafa, penulis buku ini, sangat hati-hati dalam menguraikan pemikiran-pemikiran Hamka secara komperhensif.
Sebagaimana diceritakan Haidar dalam buku ini, Hamka termasuk di antara tokoh-tokoh agama yang multitalenta dan produktif. Tokoh kelahiran Tanah Sirah, salah satu kampung di Nagari Sungai Batang, Luhak Agam, Sumatera Barat, ini sangat mencintai dunia literasi dari sejak usia muda. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi dinding-dinding koran dan majalah, baik lokal maupun kenamaan. Selain menulis di koran dan majalah, dia juga menulis apapun yang ada di pikirannya, lalu menerbitkannya ke salah satu penerbit. Terkadang tulisannya seputar ilmu agama, dan tidak jarang pula ia sangat piawai dalam menuliskan gagasan dan visinya dalam bentuk fiksi maupun non-fiksi. Namun demikian, bukan berarti dia belajar otodidak tanpa hadirnya peran guru sebagaimana versi ustad gaul di atas.
Terkait peran guru, KH. Ma’ruf Khazin, Pakar Aswaja NU Jawa Timur, mengutip pendapat Imam As-Suyuthi dalam al-Itqan (1/346), yang menjelaskan pentingnya belajar Alquran kepada guru yang betul-betul membidangi dalam ilmu qiraat; yaitu para guru yang bacaannya (sanad) telah bersambung kepada Rasulullah. KH. Khazin mengatakan, Jika ada orang yang mengaku langsung belajar kepada Rasulullah dan para sahabat, sudah pasti sanadnya terputus.
Motivasi Hamka untuk terus gigih belajar tidak bisa lepas dari peran guru dan lingkungannya. Haji Rasul, ayah Hamka, sering mengajarinya kedisiplinan mencari ilmu mulai sejak Hamka masih kanak-kanak. Selain belajar kepada guru di daerahnya, Hamka juga merantau ke luar dari kota kelahirannya, seperti Yogyakarta, bahkan ke luar negeri semisal Saudi Arabia.
Di lingkungan keluarga Hamka ditanamkan kebiasaan untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu, sehingga membentuk seorang Hamka menjadi penulis dan menguasai dunia keilmuan. Para pembaca yang ingin belajar menulis atau menekuni dunia keilmuan sejatinya mengikuti cara ulama, dengan tetap menyambung sanad keilmuan, sebagaimana telah ditempuh oleh Hamka.
Bagi pembaca yang senang belajar ilmu agama dan menulis, buku ini penting untuk dibaca, karena selain sangat mendidik, buku ini juga mengenalkan Hamka secara lebih dekat dengan kita. Buku ini menginspirasi untuk paling tidak mengikuti kebiasaan baik yang menjadi kegemaran para salafus-salih, menurut versi aswaja bukan versi ustad yang di awal tadi. []