Ahmad Syafi’ullah Mu’ammar Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Empat Macam Bunuh Diri dalam Sosiologi Emile Durkheim

2 min read

Emile Dukheim merupakan tokoh sosiologi dan seorang filsuf yang hidup pada tahun 1858-1917. Salah satu teori sosiologinya yang terkenal dan sangat berpengaruh adalah teori bunuh diri.

Ketika menjelasakan mengenai bunuh diri, Emile Dukheim tidak mencari penyebab dari bunuh diri yang bersifat subjektif atau personal, melainkan dari fakta-fakta sosial yang ada di sekitar pelaku bunuh diri. Bagi Emile Durkheim, sosiologi merupakan fakta sosial yang bersifat objektif. Fakta sosial sendiri bisa berupa peran antarsosial, bisa pula sebagai struktur sosial.

Integrasi dan regulasi sosial memiliki kaitan dengan tinggi rendahnya tingkat bunuh diri. Tingkat intregasi yang dimaksud oleh Emile Durkheim menunjuk pada kuat tidaknya ikatan sosial di antara anggota kelompok atau masyarakat. Jika berbicara mengenai integrasi, itu berkaitan bagaimana cara masyarakat mengikatkan diri satu sama lain.

Contohnya, menerima tetangga dengan baik dan tetap baik dalam keadaaan apa pun itu artinya integrasi yang ada di masyarakat masih kuat. Sebaliknya, jika ada masyarakat yang tidak mendukung apa yang dicapai oleh orang lain artinya tingkat intregasi yang ada di masyarakat itu rendah.

Sedangkan regulasi menurut Emil Durkheim menunjuk pada kuat tidaknya aturan-aturan sosial untuk memaksa tindakan individu, baik itu aturan yang formal atau aturan yang resmi dikeluarkan oleh negara maupun aturan yang informal atau aturan yang tumbuh dan disetujui oleh masyarakat setempat.

Emile Durkheim membagi bunuh diri meenjadi empat, yakni bunuh diri egoistik, bunuh diri altruistik, bunuh diri anomik, dan bunuh diri fatalistik. Dari empat tersebut digolongkan menjadi dua golongan, yakni faktor integrasi (bunuh diri egoistik dan bunuh diri altruistik) dan faktor regulasi (bunuh diri anomik dan bunuh diri fatalistik).

Baca Juga  Pendidikan Ideologi Liberal: Antara Sekolah dan Masyarakat

Bunuh Diri Berdasarkan Tingkat Integrasi

Bunuh diri egoistik dapat terjadi karena longgarnya ikatan antarsosial atau intregasi sosialnya rendah, sehingga individu merasa bukan bagian dari masyarakat. Individu jadi merasa dikucilkan.

Di sini keegoisan dari setiap masyarakat juga dapat menjadi faktor, seperti tidak adanya kepedulian dari masyarakat sehingga beban yang dirasakan oleh individu makin lama makin menumpuk yang menimbulkan depresi sehingga dapat memicu terjadinya bunuh diri.

Bunuh diri altruistik dapat terjadi akibat terlampau kuatnya tingkat intregasi sosial sehingga individu dipandang tidak penting dibandingkan dengan masyarakat secara keseluruhan.

Kondisi seperti ini dapat berupa norma-norma kelompok yang menuntut pengorbanan dari individu. Bentuk lainnya adalah ketika norma-norma kelompok menuntut kesuksesan suatu pekerjaan yang terlampau berat sehingga ketika terjadi kegagalan individu merasa lebih baik bunuh diri daripada menanggung rasa malu.

Bunuh Diri Berdasarkan Tingkat Regulasi

Bunuh diri anomik dapat terjadi karena kekuatan regulasi masyarakat mengalami gangguan, sehingga individu berada di luar jangkauan kontrol sosial. Hal ini dapat terjadi dalam situasi yang dipicu oleh kondisi ekonomi yang memburuk atau juga meningkat tajam.

Singkatnya, ini terjadi karena perubahan yang sangat signifikan dari individu. Misalnya, ketika situasi ekonomi memburuk, maka orang akan menghiraukan aturan yang ada di masyarakat. Yang terpenting ekonominya terpenuhi.

Begitu pun sebaliknya. Norma lama akan dianggap tidak penting dan norma baru belum tercipta, sehingga masyarakat hidup tanpa ada kontrol sosial. Dalam situasi tersebutlah kerap terjadi bunuh diri yang disebut bunuh diri anomik.

Terakhir, bunuh diri fatalistik dapat terjadi ketika regulasi sosial terlalu mengengkang kebebasan individu. Hal seperti ini dapat terjadi pada orang-orang yang sama sekali tak memiliki kebebasan atau merasa tidak lagi memiliki masa depan akibat kuatnya kontrol dari external powers.

Contohnya seperti budak. Mereka selamanya akan menjadi budak selagi tidak ada yang memerdekakannya. Ketika berada dalam sistem sosial yang di mana perbudakan masih dibenarkan, seakan-akan seorang budak itu tidak memiliki harapan apa pun, yang bahkan berimbas kepada keturunannya yang akan dijadikan budak.

Baca Juga  Ekonomi Digital dan Eksploitasi: Pandangan Ali Syariati tentang Kapitalisme Teknologi

Situasi seperti ini dapat memicu terjadinya bunuh diri, karena seorang individu merasa tidak diberi kebebasan dan merasa tidak memiliki jalan keluar dari nasibnya, dan inilah yang disebut dengan bunuh diri fatalistik.

Faktor Tinggi Rendahnya Tingkat Bunuh Diri

Tingkat tinggi rendahnya angka bunuh diri itu amat terkait dengan tinggi rendahnya integrasi sosial serta kuat tidaknya regulasi sosial. Baik regulasi sosial yang terlalu longgar maupun regulasi sosial yang terlalu ketat, keduanya bisa memicu angka bunuh diri.

Semakin rendahnya regulasi maka angka bunuh diri meningkat dengan jenis bunuh diri anomik. Namun, makin ketat regulasi, maka angka bunuh diri juga bisa jadi meningkat, yang dapat disebut dengan bunuh diri fatalistik. Sedangkan situasi yang ideal adalah di mana regulasi tersebut tidak terlalu mengekang dan tidak terlalu longgar, yakni berada di tengah-tengah.

Tidak jauh berbeda situasi yang terkait dengan integrasi. Ketika integrasi terlalu kuat, itu memicu individu untuk melakukan bunuh diri altruistik, sedangkan integrasi yang terlalu lemah juga dapat memicu individu untuk melakukan bunuh diri egoistik.

Situasi yang ideal adalah ketika integrasi sosial itu kuat tetapi tetap memberikan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan dirinya. Jadi aspek individual dari individu tersebut tetap dihargai di samping kepedulian dari orang sekitar juga masih kuat. [AR]

Ahmad Syafi’ullah Mu’ammar Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya