Atun Wardatun Dosen Fakultas Syari’ah UIN Mataram; Direktur Yayasan LA RIMPU (Sekolah Rintisan Perempuan Untuk Perubahan)

Menuju Implementasi Integrasi Keilmuan di PTKI dengan Kerja Induktif (Bag.1)

3 min read

Topik integrasi keilmuan di PTKI sudah lama menjadi wacana tetapi belum terformulasi bentuk rupanya di dalam kerja-kerja keilmuan lembaga keislaman ini. Belum satu kata pada level pelaksanaan (Jahroni: 2020).  Integrasi ilmu masih berkutat pada argumen filosofis  atau ontologis dan belum terimplementasi dalam tri dharma perguruan tinggi (Muzakki: 2020). Oleh karenanya, menurut mereka, perlu segera diaplikasikan melalui huluisasi (epistimologi) dan hilirisasi  (aksiologi) konsep tersebut sehingga dirasakan distingsi dan keunggulan PTKI serta berdayaguna bagi stakeholders.

Menurut hemat penulis, salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan  untuk menyusun juklak juknis integrasi keilmuan ini adalah memulai kerja induktif yang bottom up. Yaitu dengan mengumpulkan contoh-contoh aplikatif yang telah dilakukan oleh dosen PTKI dari berbagai program studi dan background keilmuan di dalam melakukan kerja-kerja integrasi ini.

Percikan-percikan pengalaman baik yang sukses bahkan yang mungkin gagal di dalam eksperimentasi integrasi ini penting. Mereka akan menjadi basis data di dalam merumuskan langkah-langkah umum yang bisa memayungi kerja integrasi ini baik pada level dikjar, penelitian, maupun pengabdian masyarakat. Metode induktif seperti ini akan lebih mendekatkan praktik integrasi keilmuan pada pelaksanaan ketimbang metode deduktif,  yang top down, berkutat di konsep dan tataran filosofis yang telah sekian dasawarsa dilakukan.

Bukankah ushul Fiqh sebagai metode istinbath hukum Islam dirumuskan belakangan? Padahal proses menarik hukum dari dalil-dalil Islam sudah berlangsung sejak turunnya Islam itu sendiri. Kerja induktif seperti precedence sejarah tersebut bisa menjadi inspirasi.

Masing-masing program studi memiliki penekanan dan karakter sendiri-sendiri. Jika kategorisasi ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana disebutkan dalam SK Nomor 2498 Tahun 2019 Tentang Pedoman Implementasi Integrasi Ilmu Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam kita sepakati maka kedua ilmu ini tentu juga memiliki starting point yang berbeda di dalam melakukan kerja integrasi ini.

Baca Juga  Kepemimpinan Demokratis di Era Pandemi

Agar terhindar dari apa yang dinamakan sebagai sekedar “islamisasi” atau “ayatisasi” dari perpaduan ilmu  agama dan umum maka untuk kepentingan tulisan ini, penulis ingin merumuskan bahwa integrasi ilmu bagi kedua jenis ilmu ini adalah “memahami ilmu agama dengan menggunakan perangkat ilmu umum dan sebaliknya.” Perangkat yang dimaksud adalah bisa paradigma, teori, metodologi, maupun perspektif.

Dalam aplikasinya, ketentuan umum tersebut bisa diperluas dan dipersempit tergantung karakter cabang-cabang ilmu di bawah dua payung besar tersebut. Rumusan tersebut tentu masih perlu penajaman sana sini, tetapi untuk simplifikasi ke arah menemukan aturan praktis, perlu dilakukan untuk memperkaya diskusi.

Langkah pertama melakukan integrasi keilmuan adalah pemapanan basis keilmuan dasar masing-masing dosen. Ini akan menjadi disiplin ilmu  yang  kemudian bergerak ke sana-kemari meminjam perangkat ilmu lain untuk memahami disiplin dasar tersebut. Di dalam melakukan kerja kolektif dalam integrasi keilmuan ini, masing-masing individu tidak melangkah keluar dari keahlian dasar yang dimiliki masing-masing. Karena kalau tidak,  kerja integrasi ini akan rancu dan tidak memiliki basis epistimologi yang jelas.

Yang bisa dilakukan adalah masing-masing menghadirkan basis keilmuan di atas meja lalu kemudian mendiskusikan paradigma, teori, metodologi, dan perspektif yang dipakai berdasarkan keragaman disiplin keilmuan tadi untuk menghasilkan novelty baik pada proses maupun hasil.

Komunikasi akademis di dalam integrasi keilmuan ini dengan demikian memerlukan perumusan ilmu apa yang menjadi akar ilmu seseorang, lalu mana yang menjadi cabang dan ranting. Disiplin Ilmu yang menjadi dasar area of expertise seorang dosen biasanya  terlihat dari pendidikan sarjananya (s1) karena level pendidikan ini memang secara nature adalah bentukan awal keilmuannya.

Di dalam pengembangan ilmunya, seorang akademisi pasti menemukan aspek=aspek dalam kajian itu di mana ia tidak merasa puas atau tidak tepat memahami atau menjelaskan sebuah fenomena. Ini terjadi karena ilmu secara fitrah memang saling berkaitan. Menolak integrasi dan interkoneksi dengan demikian adalah menolak hakikat keilmuan itu sendiri. Terutama filosofi keilmuan PTKI yang meyakini bahwa semua ilmu bersumber dari yang Esa.

Baca Juga  KH Achmad Asrori al-Ishaqi, Anti-plagiasi, dan Pendidikan Literasi bagi Kita

Dewasa ini, sudah banyak sekali ditemukan dosen PTKI yang berbasis ilmu agama dan pendidikan level magisternya menyeberang ke ilmu umum atau mengambil double degree, di dalam maupun di luar negeri. Dosen Syariah yang kuliah di fakultas  Hukum, Sosiologi, maupun Antropologi di Perguruan Tinggi Umum. Dosen-dosen Tarbiyah yang melanjutkan studi level magister hingga doktor di Manajemen Pendidikan, Instruksi Pembelajaran dan yang lain di Universitas Negeri Umum.

Dosen Dakwah yang mengambil jurusan komunikasi, Public Relations, Psikologi dsb. Dosen Ushuluddin yang melanjutkan kuliah di Cultural Studies,  Filsafat dan lain-lain. Disadari atau tidak, kekayaan background keilmuan dosen PTKI ini menjadi resources yang sayang tidak dipergunakan. Disadari atau tidak, dalam melaksanakan tugas-tugas tri dharma perguruan tingginya mereka telah menerapkan integrasi keilmuan walaupun mungkin dalam level beragam.

Sayangnya, kecenderungan dosen PTKI yang berbasis ilmu agama menyeberang seperti di atas tidak diimbangi dengan dosen yang berbasis ilmu umum untuk mempelajari lebih mendalam tentang ilmu agama. Data yang jelas tentang seberapa banyak dosen-dosen PTKI berbasis ilmu umum yang serius mengambil studi agama sebagai tambahan pengembangan keilmuannya pada level magister maupun doktoral memang belum tersedia. Tetapi dalam pengamatan sehari-hari di kampus tempat penulis mengabdi (UIN Mataram) hampir tidak dapat ditemukan.

 Academic lag seperti ini terjadi mungkin karena keengganan personal tetapi lebih besar karena tidak adanya road map dan guidelines yang jelas tentang kerja integrasi keilmuan bagi kelompok dosen ini, paling tidak mereka tampaknya lebih gamang daripada dosen yang berbasis ilmu agama.  Hal ini bisa juga terjadi karena secara kelembagaan maupun keilmuan, PTKI belum siap untuk menerima mahasiswa seperti mereka. Menerima dosen berbasis keilmuan umum bisa menjadi “media” dan juga “hasil” dari integrasi keilmuan. Tergantung bagaimana pilihannya. Tetapi yang pasti hal itu adalah bagian dari proses yang juga harus direncanakan dengan seksama.

Baca Juga  Neksus Jurnalisme dan Ajaran Islam: Pencarian dan Pengungkap Kebenaran

Jika sumber daya dosen-dosen yang berangkat dari displin keilmuan yang berbeda berada pada level pemahaman yang sama dengan didukung oleh penguatan kelembagaan maka kerja induktif yang dimaksud akan sangat efektif untuk segera menemukan kata sepakat dan perspektif yang saling mengisi di dalam proyek besar integrasi keilmuan di PTKI. Upaya ini harus segera dimulai. Mengumpulkan data tentang perjalanan dan pengalaman keilmuan para dosen yang sudah tersedia adalah awal dari langkah besar kerja induktif ini. [AH]

Atun Wardatun Dosen Fakultas Syari’ah UIN Mataram; Direktur Yayasan LA RIMPU (Sekolah Rintisan Perempuan Untuk Perubahan)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *