Dari Mekkah ke Mimbar Lokal: Haji dalam Bayang-Bayang Status

Judul Buku      : Antropologi Haji: Haji dalam Tradisi Lokal di Indonesia

Penulis             : Moh Soehadha

Penerbit           : SUKA-Press

Terbitan           : Cetakan Pertama, 2024

Halaman          : xvi-224 hlm

ISBN               : 978-623-781-694-2

Dalam masyarakat modern, ibadah suci sekalipun tidak terlepas dari jaring-jaring makna sosial—dibentuk oleh simbol, disusupi kepentingan, dan ditafsirkan ulang melalui kacamata budaya. Buku Antropologi Haji karya Moh Soehadha membuka tabir bagaimana rukun Islam kelima, yang secara teologis dianggap sebagai puncak spiritualitas seorang Muslim, dalam praktiknya justru menjelma menjadi medan perayaan sosial, kontestasi makna, dan arena reproduksi identitas kultural. Soehadha menolak melihat haji sebagai ritual yang beku dalam ruang transendensi belaka. Sebaliknya, ia menempatkan haji sebagai ritus yang hidup, dinegosiasikan, dan bahkan diperebutkan di tengah dinamika sosial masyarakat Indonesia.

Buku Antropologi Haji menggunakan pendekatan etnografi yang tajam, melihat praktik pasca-haji di tiga komunitas Muslim: masyarakat Sasak di Lombok, komunitas Madura di Sampang dan Sumenep, serta kelompok Muslim Jawa modern di Klaten. Ketiganya mengungkap betapa ibadah haji mengalami proses difestivalisasi, penanda status sosial, dan dijadikan ajang afirmasi identitas kolektif. Setiap komunitas menghadirkan tafsir yang berbeda atas makna haji sehingga spiritualitas haji pun tidak steril dari pengaruh-pengaruh lokal.

Soehadha mampu menunjukkan bahwa haji di Indonesia adalah ritus yang tak hanya bersifat vertikal, melainkan juga horisontal. Haji adalah praktik keagamaan yang mencair ke dalam ruang-ruang sosial, menciptakan simbol-simbol kehormatan, dan—dalam banyak hal—kesalehan yang tidak netral. Dalam konteks ini, Antropologi Haji tidak hanya menawarkan deskripsi etnografis, tetapi juga kritik kultural yang menggugah nalar pembaca untuk merefleksikan kembali hubungan antara agama, budaya, dan kekuasaan dalam praktik kehidupan sehari-hari umat Islam.

Festivalisasi Haji: Dari Ibadah ke Panggung Sosial

Di sini, antropolog UIN Sunan Kalijaga, Moh Soehadha mengawali refleksinya dengan menegaskan bahwa pesona haji telah melahirkan sistem gagasan lokal yang menempatkan pelaku haji sebagai “manusia unggul” yang layak mendapat kemuliaan sosial dan spiritual. Dalam konteks ini, ritual haji tidak berhenti di Tanah Suci, melainkan berlanjut sebagai perayaan ketika jamaah pulang ke kampung halaman.

Begitu pula dengan masyarakat di Lombok, festivalisasi haji tampak pada intensitas simbolik yang menyertai para “Tuan Haji”. Penyebutan “Tuan” menggantikan “Pak” atau “Bapak” menjadi simbol bahwa identitas sosial mereka telah naik kelas (hal. 98). Peci putih, jubah, serta tata cara duduk dan berbicara ikut berubah. Selain itu, masyarakat Sasak mengadakan prosesi penyambutan yang megah, termasuk iring-iringan kendaraan hias, pengajian besar, dan ritual khusus di masjid dan rumah keluarga.

Festivalisasi di tanah Madura tampak lebih teaterikal dan megah. Dalam studi lapangan Soehadha di Sumenep, ritual keberangkatan dan kepulangan haji diwarnai dengan tradisi dhamar kambang, konvoi motor, hadrah dan marching band yang mengantar jemaah hingga pelabuhan. Bahkan, rumah-rumah calon haji biasanya dihias, juga ada tenda besar seperti pernikahan, dan ritual selamatan dilakukan selama tujuh hari penuh (hal. 208).

Sementara itu, masyarakat Klaten, Jawa Tengah menunjukkan bentuk festivalisasi yang lebih administratif dan terstruktur. Pelepasan dan penyambutan haji dilakukan oleh aparat desa, diselingi pidato-pidato formal dan manasik yang menyerupai upacara resmi. Tidak ada simbol visual yang mencolok seperti di Madura atau Lombok, namun tetap ada aspek penghormatan simbolik berupa penempatan haji sebagai narasumber utama dalam forum-forum keagamaan desa.

Makna Haji bagi Masyarakat Lokal

Masyarakat Lombok, Madura, dan Jawa memiliki pemaknaan berbeda terkait dengan ibadah haji. Masyarakat Lombok misalnya, haji dikaitkan dengan status spiritual dan legitimasi keagamaan. Soehadha, menyebut masyarakat Sasak memandang haji sebagai pembuktian moralitas dan kedalaman agama seseorang, bahkan menjadi jalan menuju posisi tokoh kunci dalam masyarakat.

Sebaliknya, bagi masyarakat Madura, haji lebih lekat sebagai modal sosial dan gengsi kultural. Banyak jemaah haji yang “berinvestasi” secara besar-besaran dalam ritual ibadah haji: dari ongkos haji yang besar, konsumsi oleh-oleh untuk sanak-keluarga dan masyarakat yang mengantar dan menjemput, sampai pada penyelenggaraan hajatan besar sebelum dan setelah kepulangan (hal. 39). Pada titik ini, haji tidak hanya dilihat sebagai ibadah, tetapi sebagai tanda keberhasilan ekonomi dan sosial.

Adapun di Klaten, haji lebih difungsikan sebagai simbol stabilitas sosial dan kepatuhan terhadap tatanan religius yang terorganisir. Perayaan dilakukan secara moderat dan terkontrol. Identitas “Pak Haji” muncul dalam kapasitasnya sebagai warga teladan, pengurus masjid, dan tokoh dalam kepanitiaan sosial. Tidak banyak selebrasi individual, tetapi pengakuan kolektif tetap terasa kuat (hal. 199).

Pertarungan Simbolisme Pasca-Haji

Menariknya, buku ini menyoroti bahwa pasca-haji, banyak individu mengalami perubahan posisi dalam struktur sosial. Mereka yang sebelumnya “biasa saja” kini diberi ruang untuk bicara, menegur, dan menjadi rujukan dalam hal keagamaan. Bahkan dalam beberapa kasus di Madura dan Lombok, status haji menjadi prasyarat tidak tertulis untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa (paling tidak aparat dan rujukan dalam ruang sosial-politik) atau menjadi tokoh adat.

Namun tidak berhenti di situ, Soehadha juga mengkritisi ambivalensi ini. Ia mencatat bahwa dalam konteks kontemporer, praktik haji tidak sepenuhnya lepas dari gengsi, pamer, dan pencitraan. Haji menjadi bagian dari gaya hidup keagamaan modern yang membaur antara kesalehan dan konsumsi simbolik.

Pada akhirnya, melalui pendekatan etnografi yang kaya dan reflektif, Soehadha menunjukkan bahwa haji adalah ruang negosiasi makna antara langit dan bumi—antara ibadah yang sakral dan simbol sosial yang duniawi. Buku ini layak dibaca oleh para peneliti, penggiat studi Islam, serta siapa saja yang ingin memahami wajah keberagamaan muslim Indonesia dalam keragaman budayanya.

Dengan menguraikan praktik haji di Lombok, Madura, dan Jawa dalam perbandingan yang tajam, Antropologi Haji bukan hanya menyajikan data, tetapi juga narasi kebudayaan yang hidup dan berdenyut di balik ritual-ritual besar umat Islam. Selamat membaca.

1

Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.