Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Merawat Toleransi dan Kebinekaan: Refleksi Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

2 min read

Sebagai pemimpin umat Katolik dunia, kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia tidak hanya menjadi simbol keagamaan, tetapi juga momen penting dalam memperkuat kebinekaan dan toleransi. Di tengah dinamika sosial-politik yang sering kali diwarnai oleh isu intoleransi, kunjungan ini dapat menjadi tonggak penting dalam merajut dialog antaragama serta memperdalam refleksi tentang keberagaman yang ada di Indonesia.

Indonesia yang cukup beragam, menghadapi keberagaman sebagai peluang sekaligus tantangan. Kunjungan Paus Fransiskus menjadi pengakuan penting terhadap kebinekaan negara ini dan dorongan untuk memelihara harmoni. Paus Fransiskus, yang mendukung dialog lintas agama, menekankan bahwa perbedaan adalah kekayaan, bukan konflik.

Kehadirannya di Indonesia menegaskan bahwa dialog antaragama esensial untuk kohesi sosial, memperkuat persatuan, dan menggarisbawahi pentingnya sikap saling menghargai di era digital hari ini. Toleransi antar umat beragama berakar pada pemahaman ajaran agama masing-masing. Untuk menjaga kerukunan, sikap toleransi perlu dikembangkan guna mencegah konflik, yang sering kali muncul dari klaim kebenaran yang mengabaikan pandangan orang lain (Abdussalim, 2003).

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia memiliki makna mendalam, seperti yang katakan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas karena kehadirannya menegaskan pesan bahwa kebersamaan dalam perbedaan adalah kunci untuk memperkuat kohesi sosial, dikutip dari Tempo (3/9/2024).

Kehadiran Paus Fransiskus ke Indonesia seperti menyampaikan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kesempatan untuk membangun persatuan yang lebih solid dan harmonis di tengah keberagaman.

Toleransi di Indonesia sudah lama menjadi fondasi kerukunan beragama sejak masa kemerdekaan, di mana sila pertama dalam Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tidak hanya mengakui keberadaan berbagai agama tetapi juga menegaskan komitmen negara untuk membiarkan semua keyakinan hidup berdampingan dengan damai.

Baca Juga  Mengenang Buya Syafii Maarif: Tokoh Muhammadiyah yang Moderat dan Pluralis (1)

Meskipun demikian, tantangan terhadap toleransi tetap ada, dengan berbagai kasus diskriminasi dan kekerasan berbasis agama yang terus menjadi isu serius. Kunjungan Paus Fransiskus memberikan kesempatan untuk mengevaluasi kembali nilai-nilai toleransi dan menegaskan bahwa toleransi seharusnya tidak hanya berarti “membiarkan” perbedaan, tetapi merayakan keberagaman sebagai bagian penting dari identitas nasional.

Pluralitas agama seharusnya dipahami sebagai aspek alami dalam kehidupan sosial, tanpa terpengaruh oleh ajaran-ajaran dari masing-masing agama (Kewuel, 2017). Setiap agama memiliki ajarannya sendiri yang menekankan nilai-nilai spiritual, moral, dan etis, namun ketika dogma dan interpretasi sempit mendominasi, pluralitas agama bisa menjadi sumber konflik. Fokus pada eksklusivitas sering kali mengabaikan hakikat keberagaman yang sebenarnya mencerminkan keluasan pengalaman spiritual manusia.

Sebagai tokoh yang secara konsisten mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi, Paus Fransiskus sering menyerukan pembangunan “budaya perjumpaan,” yang mengajak kita untuk membuka diri terhadap orang lain tanpa prasangka. Pesan ini relevan bagi Indonesia, terutama di tengah tantangan globalisasi dan radikalisasi yang semakin kompleks.

Dalam konteks ini, toleransi harus dipandang sebagai upaya aktif untuk menciptakan ruang dialog dan interaksi yang sehat di antara berbagai kelompok agama dan etnis, guna memperkuat kohesi sosial dan menjaga persatuan nasional.

Di tengah ketegangan sosial dan politik berbasis identitas yang meningkat, dialog antaragama menjadi sangat relevan. Kehadiran Paus Fransiskus membuka peluang bagi para pemimpin agama di Indonesia untuk lebih aktif dalam mempromosikan kolaborasi lintas agama, bukan hanya untuk mencari kesamaan teologis tetapi juga untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan kemanusiaan seperti kemiskinan, pendidikan, dan perubahan iklim.

Paus Fransiskus telah membuktikan bahwa dialog antaragama dapat menghasilkan perubahan signifikan secara global, berkat keterlibatannya dalam berbagai inisiatif dan pertemuan dengan pemimpin agama dari latar belakang yang beragam, termasuk Muslim, Yahudi, Hindu, dan Buddha.

“Kerukunan dicapai ketika kita berkomitmen tidak hanya demi kepentingan-kepentingan dan visi kita sendiri, tapi demi kebaikan bersama, dengan membangun jembatan, memperkokoh kesepakatan dan sinergi, menyatukan kekuatan untuk mengalahkan segala bentuk penderitaan moral, ekonomi, dan sosial, dan untuk memajukan perdamaian dan kerukunan.” Kutipan pidato Paus Fransiskus di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/9/2024).

Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kerjasama lintas agama memiliki potensi besar untuk mengatasi tantangan bersama. Jika Indonesia memperkuat upaya serupa, akan tercipta lebih banyak ruang kerjasama di antara komunitas agama, yang tidak hanya memperkuat kohesi sosial tetapi juga memfasilitasi pencapaian tujuan bersama yang lebih baik dan inklusif.

Baca Juga  Baghdad: Melihat Realitas Sekarang, Mengenang Kejayaan Silam

Dengan demikian, kunjungan Paus Fransiskus tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga sebagai dorongan bagi masyarakat Indonesia untuk terus merawat dan memperkuat toleransi serta kebinekaan sebagai bagian integral dari identitas bangsa.

 

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta