Memasuki awal bulan Ramadan bukan perkara yang gampang. Butuh persiapan matang, baik fisik maupun mental. Puasa Ramadan bukan hanya ritual mencegah umat Islam dari makan, minum dan aktivitas yang membatalkan puasa. Lebih dari itu, puasa “menahan” dari segala yang merugikan pihak-pihak lain, termasuk alam semesta. Untuk itu, tak cukup hanya saleh spiritual dan sosial, butuh kesalehan ekologis.
Momentum Ramadan pasca Covid-19 benar-benar berbeda. Masyarakat tidak lagi dibatasi jarak. Kegiatan keagamaan bulan suci Ramadan semarak. Di sisi lain, aktivitas konsumtif juga meningkat. Dan, secara tidak langsung akan menambah deretan sampah. Saya tidak melarang orang-orang untuk membeli barang-barang baru. Tidak sama sekali. Tetapi barang tersebut perlu digunakan secara bijak. Tidak disisakan. Apalagi dibuang sia-sia dan pamer seperti perilaku kaum elit akhir-akhir ini.
Beberapa bulan lalu, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul meliris data lapangan, ia menyebut rata-rata volume sampah yang masuk TPA Piyungan 734 ton setiap bulannya. Angka ini bukan sedikit mengingat lahan di TPA Piyungan yang semakin terbatas. Artinya, butuh solusi nyata dalam menekan volume sampah. Seperti yang dikatakan Kustini Sri Purnomo, Bupati Sleman pada momentum Hari Peduli Sampah Nasional, ia mendorong masyarakat Sleman mengelolah sampah secara mandiri (KR, 23/2/2023). Di saat bersamaan, pemerintah Kota Yogyakarta melakukan gerakan zero sampah anorganik sebagai upaya mengurangi volume sampah di TPA Piyungan.
Agama dalam Merespon Isu-isu Lingkungan
Pada dasarnya kerusakan lingkungan yang terjadi di laut, udara, hutan dan air dan tanah diakibatkan ulah manusia yang rakus dan tidak bertanggungjawab atas perbuatannya (Sonny Keraf, 2002). Islam punya pandangan tersendiri tentang pelestarian lingkungan. Seperti dalam QS. Al-Baqarah: 30, tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Juga dalam QS. Al-Baqarah: 11, Allah mengajak manusia untuk merawat bumi. Allah tidak suka pada orang-orang yang berbuat kerusakan.
Untuk itu, bulan suci Ramadan adalah waktu yang tepat untuk mengibarkan jihad ekologis. Agama tidak melulu dipahami sebagai hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan alam sekitar. Sebagai khalifah di bumi, manusia mengemban tugas mengolah dan melestarikan alam guna untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kendati ekosistem pincang, manusia akan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Alih-alih akan hidup sehat dan sejahtera, manusia juga terganggu ketika hendak beribadah kepada Tuhan.
Yusuf Qardawi dalam karya berjudul Islam Agama Ramah Lingkungan Hidup (2002), menyebut bahwa inti dari permasalahan lingkungan tidak luput dari aspek moral, keadilan, kebaikan-kebaikan, kasih dan sayang, keramahan dan sikap tidak sewenang-wenang. Di sini, Qardawi menawarkan etika riligius dalam pandangan fiqih lingkungan. Ia memberikan nafas segar terhadap aktivis dan pegiat lingkungan. Saya kira, agama perlu dipahami secara universal. Oleh karenanya, penting para tokoh agama menyuarakan isu-isu lingungan.
Dari Saleh Spiritual, Sosial sampai Ekologis
Kehidupan spiritual manusia modern menunjukkan survive dalam dunia global. Tampak ada keterasingan dan keterisolasian diri. Ritual-ritual memiliki kecenderungan pada wilayah simbolisasi dan festivalisasi dogma-dogma yang absen nilai. Kehidupan masyarakat di era serba cepat ini tidak sampai pada ranah spiritual yang mapan. Untuk itu, tidak cukup hanya berada di wilayah kesalehan ritual, sosial dan spiritual, butuh kesalehan ekologis.
Kesalehan ekologi ialah menjaga, merawat, melestarikan, memperbaiki dan mengelola lingkungan hidup untuk kesejahteraan hidup manusia, juga menjamin kenyamanan dalam melaksanakan ibadah kepada Tuhan. Inilah esensi dari jihat ekologis. Hubungan kesadaran ekologis dengan puasa cukup relevan. Puasa yang bermakna menahan perlu disegarkan lagi. Artinya, juga menahan terhadap perilaku konsumtif dan eksploitatif.
Aktivitas umat muslim semakin semarak di tengah bulan Ramadan. Dari kerja-kerja sosial, seperti sedekah, bagi-bagi takjil dan gotong royong untuk membantu sesama. Di samping itu, surau dan masjid ramai dengan kegiatan keagamaan. Dari sini, saya kira penting untuk dilanjut pada kegiatan yang mengarah pada kerja-kerja ekologis. Misalnya, pemilahan dan pengelolaan sampah setelah buka bersama. Tentu spirit Ramadan dengan kegiatan ibadah kepada Tuhan dan ibadah kemanusiaan terus ditingkatkan. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang melaksanakan.