Naufal Robbiqis Dwi Asta Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Pemikiran Teologi Hasan Hanafi

2 min read

Hassan Hanafi adalah seorang tokoh besar dari Kairo, Mesir yang banyak menyumbangkan pemikiran pada aspek Keislaman, terutama pada ilmu teologi. Hassan Hanafi juga banyak disebut sebagai otoritas Islam modern terkemuka. Salah satu gagasan pembaharuan Islam yang terkenal dari Hassan Hanafi adalah tentang pembaharuan dalam ranah teologi.

Hassan Hanafi memliki suatu proyek yang diberi istilah “Turats wa Tajdid” atau yang dapat diartikan sebagai washilah dan pembaharuan. Makna dari washilah dan pembaharuan sendiri bukan untuk menghapus washilah-washilah terdahulu dan menggantinya dengan yang baru, tetapi lebih tepatnya untuk menafsirkan ulang washilah yang ada dengan cara dan mengupayakan hasil untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Hassan Hanafi menilai bahwa Turats yang ada pada zaman sekarang telah digunakan oleh kaum feodalisme sebagai kepentingan-kepentingan mereka untuk melanggengkan kekuasaan. Turats yang seharusnya memuat energi kehidupan dan daya pendorong dalam kesadaran berpikir dan berperilaku disetiap zamannya, justru malah ternodai demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Maka dari itu, Hassan Hanafi membuat proyek yang tujuan utamanya adalah mengembalikan makna Turats pada keasliannya. Pada proyeknya Turats wa Tajdid, Hassan Hanafi menjelaskan agar umat Islam cerdas dalam menyikapi tiga hal yang meliputi sikap terhadap tradisi lama (Turats Qadim), sikap terhadap Barat (Turats Gharby), dan sikap terhadap realitas (Al-Waqi).

Dalam kajian tradisi lama (Turats Qadim), Hassan Hanafi menemukan suatu kejanggalan. Kejanggalan tersebut terletak pada tradisi yang awalnya dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai sumber inspirasi yang kuat dan nilai yang menjadi dasar kehidupan, justru pada masyarakat modern menganggap tradisi tidak lagi menjadi sumber nilai yang relevan.

Dalam hal tersebut, Hassan Hanafi mencoba untuk melakukan penafsiran ulang terhadap pengartian tradisi. Tradisi didefinisikan ulang oleh Hasan Hanafi sebagai basis atau nilai-nilai lama yang memungkinkan untuk dijadikan revolusi yang modern. Dengan definisi yang demikian, Hassan Hanafi berupaya agar tradisi dapat memberi jawaban, bukan dipaksa untuk dipakai pada era saat ini, juga tidak untuk ditinggalkan.

Baca Juga  Pembacaan Komparatif terhadap Estetika Islam dan Barat

Hal tersebut yang menjadikan Hassan Hanafi berbeda dengan tokoh agama sebelumnya. Misalnya saja pada aliran Islam yang bersifat puritan dan konservatif yang mencoba menarik kembali dengan keaslian budaya-budaya terdahulu lalu diterapkan secara brutal dan sesuai konteks literal pada masa modern ini.

Dari pendapat kaum Islam yang demikian, kemungkinan terbesar yang terjadi adalah para kaum Muslim akan memandang bahwa Islam adalah agama yang tidak akan menemukan jawaban atas eksistensi Tuhan terutamanya. Kita sebagai Muslim juga akan terus berdebat dengan pandangan-pandangan otoritas yang kita percayai tentang Tuhan, tanpa adanya jawaban untuk permasalahan kita sendiri.

Hassan Hanafi dalam pemahamannya tersebut mengkritik pemikiran para kaum puritan  dan konservatif. Hassan Hanafi mencoba untuk melakukan reformasi teologi dengan cara menggali warisan-warisan klasik dan berusaha mengkonstruk ulang dasar-dasar epistemologinya agar relevan dalam kehidupan di masa ini.

Arah dari pembahasan reformasi teologi bukan lagi Islam sebagai epistemologi untuk membela dan meneguhkan argumentasi tentang keberadaan Tuhan, tetapi bagaimana Islam menjadi dasar dan secara praksis dalam menghadapi tantangan serius seperti penjajahan, penindasan, kemiskinan, keterbelakangan dan berbagai permasalahan sosial dan kemanusiaan lainnya.

Asumsi dari ide pembaharuan teologinya diawali dari konsep hermeneutiknya yang berasumsi bahwa interpretasi harus memiliki sifat aplikatif dan harus mampu menjawab masalah yang ada di  dalam masyrakat.

Asumsi selanjutnya juga pandangannya yang khas terhadap Tuhan. Menurut Hassan Hanafi, Tuhan bukan tema pokok ilmu pengetahuan dan objek yang selalu diperdebatkan. Jika diperdebatkan dan menghasilkan kebenaran bagi manusia pun, Tuhan belum tentu seperti yang demikian.

Tuhan tidak pernah menjelaskan wujud-Nya sebagaimana yang diperdebatkan oleh para teolog klasik. Meskipun manusia memperdebatkan tentang wujud Tuhan, Tuhan sendiri hakikatnya akan tetap ada dan tidak dapat digambarkan dengan argumen-argumen spekulatif manusia. Lebih baiknya lagi, manusia yang seharusnya lebih mengenali dirinya sendiri dan mengimplementasikan sifat-sifat Ketuhanan dalam dirinya.

Baca Juga  Menjamurnya Ustaz Gadungan Penyebab Umat Mabuk Agama

Tuhan adalah kekuatan aktual pada diri manusia yang menjadi penggerak perbuatan dan pembangkit aktivitas, tujuan sebuah orientasi dan puncak dari segala pengejawantahan. Lebih singkatnya lagi, Tuhan adalah daya hidup yang mendorong manusia untuk terus berbuat dan melakukan kebaikan.

Ketika kita sebagai manusia membela Tuhan maka sama halnya saat kita membela diri kita sebagai manusia. Membela diri sebagai manusia ini hakikatnya adalah bagaimana menjadi manusia yang seharusnya. Maka dari itu, jika kita menarik pandangan tersebut pada konteks sosial, pembelaan nilai kemanusiaan perlu dijunjung tinggi dengan mengaplikasikan pembelaan hak, menegakkan keadilan dan kemerdekaan, serta menjunjung nilai-nilai kemanusiaan pada kehidupan sosial.

Naufal Robbiqis Dwi Asta Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya