Kitab Munyat al-Faqīr al-Mutajarrid wa Sirāt al-Murīd al-Mutafarrid merupakan ringkasan kajian nahwu sufi kitab al-Futūhāt al-Qudsīyah fī Syarh al-Ajurūmīyah karya Ibnu ‘Ujaibah. Penjelasan-penjelasan tasawuf melalui kitab nahwu menuntut para pengkaji untuk menelaah tidak hanya dari satu perspektif ilmu pengetahuan, ia membutuhkan pengetahuan yang mendalam seputar nahwu non-sufistik dan pra-wacana mengenai ilmu tasawuf.
Nahwu Sufi telah menempuh cara berpikir sufistik sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama sufi, yaitu penafsiran nahwu yang tidak seluruhnya disandarkan pada teks atau logika. Oleh karena itu, karakteristik Nahwu Sufi adalah al-Nahwu al-Isyārī. Artinya, nahwu dijelaskan melalui metode penafsiran yang berpegang pada metode simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja. Nahwu Sufi menjelaskan tentang istilah-istilah dalam nahwu yang berbeda dengan maknanya secara zahir berdasarkan isyarat atau petunjuk yang diterima oleh para ahli sufi.
Sumber pengetahuan sufi adalah mimpi dan intuisi (ru’yah dan mukāsyafah). Dalam beberapa kitab yang menjelaskan nahwu sufi, penulis menyimpulkan bahwa sumber nahwu sufi melalui intuisi, dan bukan mimpi. Hal tersebut dilihat dari konten penjelasan yang diungkapkan oleh Syaikh al-Kuhin, yang mana ia tidak hanya memuat dimensi penjelasan nahwu secara intuitif (al-nahwu al-isyārī) sebagai representasi dari tasawuf amali, tetapi juga nahwu sufi secara teoretis (ta’līmī nazarī). Muatan ajaran tasawuf falsafi dapat dilihat pada penjelasan nahwu sufi yang mengarah pada konsep fanā’ dan baqā’, al-ittihād dan hulūl. Selain itu, beberapa penafsiran akan nahwu juga menunjukkan adanya bias konsep wahdat al-wujūd Ibnu ‘Arabi.
Ulama Sufi mengklaim bahwa metode penafsiran dalam nahwu sufi merupakan metode interpretasi yang valid, yang dibangun atas dualitas makna zahir dan batin. Kebenaran pemikiran sufi hanyalah sufi itu sendiri. Nahwu Sufi dari mulai pengertian tentang kalam sampai majzumat, pada intinya menjelaskan tentang kondisi hati dan jiwa seorang hamba yang memulai perjalanan tasawufnya (sulūk), dimulai dari tingkatan dhawq, syurb, sahwu, hingga sampai pada tingkatan mukāsyafah dan ru’yah.
Bahasa Arab adalah bahasa yang spesial. Sebab, dari beribu-ribu bahasa yang ada, ia terpilih sebagai wadah dari wahyu Tuhan yang terakhir bernama al-Qur’an. Tingkat sastra yang sangat tinggi juga menjadikan bahasa Arab dalam al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar bagi Muhammad. Terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an awalnya memang hak preogratif Tuhan. Namun lebih dari itu, hikmah terpilihnya Arab sebagai bahasa mukjizat adalah karena ia memiliki kualitas yang lebih dibanding bahasa-bahasa lainnya. Baik secara kandungan makna dalam kata dan juga tata bahasanya. Sehingga, bisa dikatakan bahasa arab sangat kental dengan nuansa teologis.
Kandungan-kandungan istimewa dalam bahasa arab itu rupanya dipahami betul oleh Syaikh al-Kuhin, sehingga ia mencoba menyingkap bukan hanya “makna dekat”, tapi juga “makna jauh” yang terdapat dalam tata bahasa arab yang sudah terangkum dalam kitab al-Jurūmīyah. Simbol-simbol yang terdapat di dalamnya digunakan al-Kuhin untuk mengungkapkan realitas dan pengalaman spiritual. Ia melukiskan rahasia di balik eksplorasi pemakaian objek dan simbol yang diharapkan akan memiliki nilai-nilai pemaknaan yang dalam. Hingga kemudian muncul istilah nahwu lisan dan hati.
Semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang besar dan barokah kepada kita masyarakat muslim secara umum dan semoga menjadi amal yang baik dan penuh berkah. [MZ]