Baiq Camazy Mahasiswa Universitas Bahauddin Mudhari Madura. Saat ini Berproses Kreatif Bersama Masyarakat Santri Pesisiran (MSP) Sumenep dan Language Theatre Indonesia

[Puisi] Panen Air Mata

1 min read

Foto: http://radiounisia.com

Panen Air Mata

Memaknai senja

Pada keriput air mata

Yang membanjiri sawah sempit kita

Langit mendung katanya pertanda bahagia

Eppa’ dan embu’ mulai membajak cinta

Dengan nanggala tuanya

Padi, jagung, kacang, kedelai hingga tembakau

Berhambur menyuplai angan

Tapi ebbur yang disewanya kini terlalu kemahalan

Pupuk yang dibelinya tak banyak memberi harapan

Dan ini sudah musim padi yang kesekian

Dimana pemerintah tak mau tahu pada bawahan

Sementara anaknya di kejauhan

Terus meminta kiriman

Meminta jajan sepanjang jalan

Eppa’ dan embu’ menyemai derita

Pada seikat padi yang ke duapuluh dua

Mereka tersungkur kehilangan nyawa

Eppa’ dan embu’ telah tiada

Akhirnya kita semua memanen air mata.

–Sumenep, 2020–

Urbanisasi

Matahari telah membentang

Menyemangati para petani

Penyumbang devisa negeri

Yang banyak menanggung rugi

Ia mencangkul tetanah berbatu

Memupuk bibit-bibit layu

Menyirami kehausan waktu

Menyimpan sisa panen kelabu

Akhirnya ia memilih hijrah

Tak kuat lagi menanam pasrah

Tak percaya taninya membuat sejahterah

Bergegas ke kota besar

Berharap rejekinya mekar

Meski lahannya kini terkelapar.

–Sumenep, 2020–

Rindu

Tidak seperti kebanyakan manusia

Yang sedang dilanda cinta

Rindu ini perih

Membuatku ringkih tertatih

Aku seperti terbakar dalam kedinginan

Tenggelam diatas daratan

Tersesat dalam hatiku sendiri

Dan dalam keterasingan ini

Biarkan rindu meratap natap lekat di dadaku

Meski kutahu ini tak mungkin kusuarakan di depanmu

Biarkan rindu ini mengalir mencari jawaban

Pada tulusmu mengakui

Aku mencintai tanpa ikatan pasti

–Sumenep, 2020–

Langit Yang Tak Lagi Tersenyum

Setelah hari demi hari berlalu

Dengan tanpa suara, tanpa kata, tanpa makna

Tanpa tawa, tanpa cerita, tanpa isyarat satu pun jua

Seekor rajawali keluar dari sarangnya

Baca Juga  Kok Bisa Puasa Bukan Jihad Fisik, Berikut Penjelasannya

Mencari jejak rindu yang hilang di musim pancaroba

Menembus awan, membelah langit dengan sayapnya

Menziarahi arsyi yang gulita

Sejak cintanya tandas di ambang labium senja

Adalah pekik tangis yang terdengar

Seperti kilat petir menyambar

Menggelegar sepanjang shodar

Di tepian pantai itu aku lihat langit kembali murung

Seperti seorang laki-laki yang linglung.

–Sumenep, 2020–

Tangisan Hujan

Tetes per tetes hujan hari ini

Telah hilang dihirup kenangan

Berganti tangis yang pecah tanpa petir

Menyulam hati yang redup

Pada sebaris senyum terakhirmu

Di persimpangan jalan waktu itu

Langit semakin terlihat murung

Karena jejakmu tak jua kutemui

Langkahku terhenti

Coba rebahkan doa di paripurna pertemuan kita

“Sabdaku akan abadi dalam kisah tak tereja”

Kini tak dapat kubedakan lagi antara tetesan hujan dan air mata

Semua melebur, wajahku berkidung

Angin pun ikut tertunduk rapuh

Serapuh tubuhku yang lunglai di sepanjang jalan

Tangisanku berhenti

Kala kutemui kau tak lagi berwujud puisi.

–Sumenep, 2020–

Baiq Camazy Mahasiswa Universitas Bahauddin Mudhari Madura. Saat ini Berproses Kreatif Bersama Masyarakat Santri Pesisiran (MSP) Sumenep dan Language Theatre Indonesia

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *