Panen Air Mata
Memaknai senja
Pada keriput air mata
Yang membanjiri sawah sempit kita
Langit mendung katanya pertanda bahagia
Eppa’ dan embu’ mulai membajak cinta
Dengan nanggala tuanya
Padi, jagung, kacang, kedelai hingga tembakau
Berhambur menyuplai angan
Tapi ebbur yang disewanya kini terlalu kemahalan
Pupuk yang dibelinya tak banyak memberi harapan
Dan ini sudah musim padi yang kesekian
Dimana pemerintah tak mau tahu pada bawahan
Sementara anaknya di kejauhan
Terus meminta kiriman
Meminta jajan sepanjang jalan
Eppa’ dan embu’ menyemai derita
Pada seikat padi yang ke duapuluh dua
Mereka tersungkur kehilangan nyawa
Eppa’ dan embu’ telah tiada
Akhirnya kita semua memanen air mata.
–Sumenep, 2020–
Urbanisasi
Matahari telah membentang
Menyemangati para petani
Penyumbang devisa negeri
Yang banyak menanggung rugi
Ia mencangkul tetanah berbatu
Memupuk bibit-bibit layu
Menyirami kehausan waktu
Menyimpan sisa panen kelabu
Akhirnya ia memilih hijrah
Tak kuat lagi menanam pasrah
Tak percaya taninya membuat sejahterah
Bergegas ke kota besar
Berharap rejekinya mekar
Meski lahannya kini terkelapar.
–Sumenep, 2020–
Rindu
Tidak seperti kebanyakan manusia
Yang sedang dilanda cinta
Rindu ini perih
Membuatku ringkih tertatih
Aku seperti terbakar dalam kedinginan
Tenggelam diatas daratan
Tersesat dalam hatiku sendiri
Dan dalam keterasingan ini
Biarkan rindu meratap natap lekat di dadaku
Meski kutahu ini tak mungkin kusuarakan di depanmu
Biarkan rindu ini mengalir mencari jawaban
Pada tulusmu mengakui
Aku mencintai tanpa ikatan pasti
–Sumenep, 2020–
Langit Yang Tak Lagi Tersenyum
Setelah hari demi hari berlalu
Dengan tanpa suara, tanpa kata, tanpa makna
Tanpa tawa, tanpa cerita, tanpa isyarat satu pun jua
Seekor rajawali keluar dari sarangnya
Mencari jejak rindu yang hilang di musim pancaroba
Menembus awan, membelah langit dengan sayapnya
Menziarahi arsyi yang gulita
Sejak cintanya tandas di ambang labium senja
Adalah pekik tangis yang terdengar
Seperti kilat petir menyambar
Menggelegar sepanjang shodar
Di tepian pantai itu aku lihat langit kembali murung
Seperti seorang laki-laki yang linglung.
–Sumenep, 2020–
Tangisan Hujan
Tetes per tetes hujan hari ini
Telah hilang dihirup kenangan
Berganti tangis yang pecah tanpa petir
Menyulam hati yang redup
Pada sebaris senyum terakhirmu
Di persimpangan jalan waktu itu
Langit semakin terlihat murung
Karena jejakmu tak jua kutemui
Langkahku terhenti
Coba rebahkan doa di paripurna pertemuan kita
“Sabdaku akan abadi dalam kisah tak tereja”
Kini tak dapat kubedakan lagi antara tetesan hujan dan air mata
Semua melebur, wajahku berkidung
Angin pun ikut tertunduk rapuh
Serapuh tubuhku yang lunglai di sepanjang jalan
Tangisanku berhenti
Kala kutemui kau tak lagi berwujud puisi.
–Sumenep, 2020–