Budhy Munawar-Rachman Dosen pasca sarjana STF Driyarkara Jakarta

Ke Mana Arah Pembaharuan Islam Di Indonesia? (2)

3 min read

Sebelumnya: Ke Mana Arah Pembaharuan Islam… (1)

Permasalahan di atas secara umum menjadi diskursus utama dalam keempat buku yang disunting oleh Herdi Sahrasad ini, yaitu; “Pembaharuan Islam dan Sosial”, “Negara, Ideologi & Kebudayaan Refleksi Kaum Pergerakan”, “Populisme, Politik Identitas, Demokrasi & Kebebasan”, dan “Pribumisasi Islam, Kemanusiaan dan Masyarakat Multikultural”.

Keempat buku ini merefleksikan secara kritis permasalahan-permasalahan yang terus dihadapi masyarakat muslim hingga saat ini, tidak dalam kerangka contoh-contoh atau kasus per kasus, tetapi sebagai keseluruhan sistem. Esai‐esai atau tulisan‐tulisan para inteligensia dalam keempat buku ini setidaknya telah merefleksikan kegelisahan dan perspektif pemikiran dan jiwa atau batin mereka, sebagai sumbangsih sepercik pencerahan intelektual.

Hal ini mungkin penting, mungkin juga tidak signifikan, tapi jelas semangat pembaharuan itu ada sebagai kesadaran melanjutkan semangat dan cita‐cita Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan tokoh-tokoh pembaru Islam Indonesia lainnya untuk berpihak pada rakyat yang lemah, kaum minoritas dan kaum yang marginal, dalam semangat menjaga kemanusiaan, demokrasi, keadilan, kebebasan dan kesetaraan.

Zaman ini—sebagaimana diungkap oleh Herdi Sahrasad, dalam buku “Pembaharuan Islam dan Sosial”—adalah zaman besar dengan masalah dan tantangan besar (h. 341). Belakangan sering terjadi apa yang para ahli sebut sebagai “kembalinya koservativisme Islam,” bangkitnya “populisme Islam” yang semuanya berkonotasi negatif bagi kebinekaan dan keadaban politik kita (demokrasi).

Ada sikap, perilaku, aspirasi, gerakan dari umat Islam yang menghendaki agar perilaku orang Islam dan kebijakan‐kebijakan publik sesuai dengan norma‐norma Islam. Perilaku dan gerakan itu disebut “koservatif” karena bertumpu pada norma‐norma lama Islam yang pada dasarnya bukan bagian dari doktrin dasar Islam, atau setidaknya tidak ada konsensus di antara ahli Islam itu sendiri. Lebih banyak berkaitan dengan furu’ atau cabang, bukan dengan ushul atau dasar agama.

Baca Juga  Banser dan Infiltrasi HTI di Indonesia

Perilaku konservatif bertumpu pada norma Islam lama yang dinilai tak mencerminkan perubahan zaman. Disebut kebangkitan “populisme Islam” adalah kebangkitan sentimen, sikap, dan perilaku dari massa Islam untuk mendiskriminasi non‐Islam dan asing. Non‐Islam dan asing dinilai sebagai ancaman terhadap umat Islam. (h. 250)

Di mana Islamisasi itu terjadi? Islamisasi bisa terjadi di wilayah keluarga, di lingkungan sosial lebih luas, dan di wilayah publik yang membutuhkan keterlibatan atau keputusan negara atau pemerintah (kebijakan publik). Islamisasi di wilayah keluarga dan kehidupan sosial yang tidak menuntut enforcement negara, dilakukan secara sukarela, maka Islamisasi itu kalaupun terjadi tidak bisa dikatakan sebagai ancaman terhadap kebinekaan kita sebagai negara bangsa.

Yang jadi masalah bagi kebinekaan Indonesia adalah apabila Islamisasi itu merupakan produk kebijakan negara atau pemerintah meskipun hanya berlaku bagi yang beragama Islam. Bila itu yang terjadi, maka sesungguhnya Piagam Jakarta kembali hidup dalam demokrasi Indonesia sekarang: Sebuah kebijakan negara pusat atau daerah yang hanya berlaku bagi orang Islam, dan tak berlau bagi non‐Islam. Kebijakan negara yang demikian adalah kebijakan yang diskriminatif, mengingkari konstitusi kita yang inklusif terhadap kebinekaan agama.

Menurut sebuah studi, sejumlah kebijakan publik yang eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian), mendiskriminasi non‐Islam, telah dibuat di banyak daerah. Dalam kurun waktu 1999‐2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten/kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah.

Kepala daerah yang mengakomodasi kebijakan semacam itu mayoritas berlatar belakang atau mantan birokrat, TNI, dan Polri. Di banyak negara yang penduduknya mayoritas Muslim, upaya membuat kebijakan publik terkait dengan syariat Islam biasanya datang dari wakil rakyat dari partai berideologi Islam.

Bagi politisi yang pada umumnya pragmatis dan oportunis itu, cara apapun akan diambil demi kepentingan politiknya. Reaktualisasi Pemikiran Islam Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII.

Baca Juga  Pelibatan Pemuda dalam Kegiatan RAN PE

Bila populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu menguat maka kebinekaan yang menjadi fondasi negara‐bangsa kita menjadi terancam. Ancaman populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu harus menjadi perhatian sungguh‐sungguh bagi siapa pun yang peduli bagi keberlangsung negara‐bangsa ini.

Dalam pengamatan Azyumardi Azra, (h.. 60-67) kebangkitan konservatisme agama di Indonesia sebenarnya tidak menyangkut hanya Islam. Konservatisme dapat dikatakan melanda semua agama, khususnya enam agama yang disebut sebagai agama-agama yang diakui negara (state–recognized religions) atau kadang-kadang disebut agama-agama yang dilayani negara (state-served religions) yaitu: Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Gejala peningkatan konservatisme di kalangan penganut masing-masing agama bisa dicermati dalam contoh-contoh seperti ada kalangan agama tertentu yang sangat agresif dalam menyebarkan agamanya, merekrut penganut agama dan denominasi intra-agamanya.

Dengan peningkatan konservatisme yang melintasi batas-batas berbagai agama (across the board), pengamat Islam di Indonesia bnisa   menyaksikan adanya fenomena penganut agama yang merasa ‘lahir kembali’. Misalnya ada penganut agama yang merasa menjadi ‘born again Christian’. Gejala semacam itu juga ada di kalangan Muslim, sehingga memunculkan ‘born again Muslim’.

Para penganut agama yang merasa lahir kembali dalam agamanya masing-masing, lazim mengalami turning point (titik balik) dalam pengalaman keagamaan. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya titik balik itu, baik intraagama, maupun yang terkait dengan sosial-budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Sebelum melangkah lebih jauh, untuk memperjelas perlu diberikan pengertian tentang makna konservatisme agama.

Dalam wacana akademik, konservatisme agama sering disebut ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’ yang berarti pemahaman dan praktek agama konservatif yaitu berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, ortodoksi dan tradisi yang dianggap sebagai paling benar. Selain  istilah ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’, sering juga digunakan  istilah ‘neo-conservatism’.

Baca Juga  Rame Diskusi "Pemakzulan Kepala Negara", Begini Pandangan Imam Mawardi dan Imam Nawawi

Dalam kerangka istilah terakhir ini, neo-konservatisme mengacu pada sikap dan tindakan yang termasuk konservatif (lama), tetapi pada saat yang sama juga menampilkan nuansa baru yang tidak terlihat dalam konservatisme konvensional atau konservatisme lama.

Terlepas dari berbagai istilah tersebut dengan cakupan dan konotasi masing-masing, konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praktek agama berdasarkan perkembangan moderen tertentu. Konservatisme agama misalnya menolak gejala moderen seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.

Dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik sangat cepat dan berdampak luas yang membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya. Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praksis keagamaan konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.

Secara global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respon dan reaksi terhadap berbagai fenomena yang terus dihadapi masyarakat umumnya. Di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebangkitan konservatisme agama itu banyak terkait dengan kesulitan ekonomi dan krisis politik. Menghadapi keadaan yang terus sulit, kalangan masyarakat beserta politisi sayap kanan menempuh jalan konservatisme agama.

Gejala ini pada spektrum ekstrim sering juga muncul dalam bentuk ‘fundamentalisme agama’—yang dalam perkembangannya digunakan untuk mewujudkan agenda religio-politik tertentu.

Selanjutnya: Ke Mana Arah Pembaharuan Islam… (3)

Budhy Munawar-Rachman Dosen pasca sarjana STF Driyarkara Jakarta