Budiasih Meyta Maulidah Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Beginilah Hidup Di Era Milenial, Semua Serba Teknologi

3 min read

Bicara masalah milenial, pastinya sudah gak asing lagi kan?. Bener banget, milenial itu merupakan sebuah kemajuan zaman dimana semua sudah mulai mengenal serta menggunakan teknologi. Secara sempitnya, anak muda sekarang inilah salah satu contoh milenial yang ada di Indonesia. Permainan, diskusi, komunikasi serta kegiatan yang lain pun mampu dilakukan secara instan dengan adanya teknologi. Permainan layangan, petak umpet mungkin beberapa tahun mendatang akan hilang dengan sendirinya.

Perkataan ini saya ucapkan karena melihat fenomena saat ini saja. Angin tenang serta cuaca yang mendukung adalah cuaca yang paling disukai anak-anak, itu dahulu. Hujan, panas, badai sekarang tak menghalangi untuk bermain game. Senang diberi uang jajan, tapi malah digunakan untuk top up mobile legend. Heran sih, tapi itulah yang namanya anak milenial. Diskusi yang biasanya ribet menentukan waktu dan tempat, kini juga kian praktis dengan adanya aplikasi zoom maupun googe meet.

Pandemi covid adalah alasan tidak mau bertemu secara langsung, takut terpapar virus covid katanya. Bapak Jokowi saja sudah menggembor-gemborkan bahwa pemakain masker sudah tak se-intens dulu. Beribu alasan yang sudah disediakan untuk menutupi rasa mager. Dirumah saja, jaga jarak itu hanyalah selimut untuk mereka kaum mager untuk melanjutkan mimpinya. Tuduhan?, tentu bukan. Pengalaman sendiri yang mampu menyatakan. Milenial itu ternyata bukan hanya sisi positif, tapi adapula sisi negatifnya.

Pengendara yang sedikit karena males keluar dan work from home adalah salah satu skenario Tuhan untuk mengurangi kemacetan juga kerepotan polisi lalu lintas. Mau iri dengan polisi, tapi setiap manusia sudah punya bagian masing-masing. Keluh kesah yang sebenarnya patut itu dikatakan oleh para tenaga medis dan tukang gali kubur. Pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan secara online. Tak tau lagi jika tahun berikutnya teknologi mampu membuat mesin gali kubur dengan ukuran sesuai syariat.

Baca Juga  Gus Dur dalam Kenangan Masa Kecilku

Pemuda milenial mungkin yang akan menciptakan inovasi itu. Dipikir-pikir jika semuanya serba milenial, tenaga manusia ini akan musnah. Lalu pasti akan muncul banyak pertanyaan. Lalu kenapa manusia ini diciptakan jika hanya untuk menikmati dunia saja?, bukankah kita diciptakan untuk bersusah dan bersenang?. Pertanyaan itu mungin akan terlontar jika remaja milenial terlalu banyak inovasi baru.

Sempat berfikir juga jika seandainya teknologi ini tidak hadir. Manusia pasti akan lari terbirit-birit mengejar segala pekerjaan sampai lupa istirahat lalu jatuh sakit dan endingnya mati. Alhamdulillah teknologi ini hadir pada saat ini yang menjadikan Indonesia sebagai rakyat milenial. Dilihat secara garis beras memang milenial sih, tapi sebenarnya masih ada beberapa masyarakat yang belum mengenal teknologi. Pelosok, infrastruktur jelek, tidak ada signal merupakan salah satu ciri masyarkat yang kurang mengenal teknologi.

Baru akan memulai, tapi yang lainnya sudah berjalan menuju era baru lagi. Capek untuk menyetarakan malahan. Semua itu sebenarnya sudah digariskan oleh Tuhan. Maha adil, benar sekali. Desa yang masih asri, tenang, rukun tapi masih ketinggalan teknologi. Kota yang mampu mengejar segala bentuk teknologi, tapi disana lebih individual dan serba online. Anak muda sekarang mana ada yang main petak umpet dan bola kelereng. Permainan itu sudah terkesan norak.

Kalau kata anak zaman sekarang gak mobile legend, gak akan legend. Perlombaan bukan hanya melulu pada prestasi akademik, game pun sekarang juga sudah bisa dikompetisikan. Ratusan juta diraup jika mereka menang. Tapi pasti akan muncul pernyataan dari orang yang tidak terima “dia menang tapi tidak bisa sosialisasi, dia menang tapi matanya akan minus”. Iri jika sudah menyelimut pasti ada saja perkataan yang dilontarkan. Juara jika diraih oleh mereka yang iri, pasti sombong dikedepankan.

Baca Juga  Penyebaran Paham Ekstremisme Beragama di Sulawesi Selatan

Itulah garis takdir dari Tuhan. Milenial itu banyak yang instan. Warung makan sekarang sudah jarang dikerumuni pembeli, banyak yang pesan antar melalui gojek. Pemesanan tanpa menemui orangnya secara langsung juga bisa dilakukan dengan drive thru. Halo halo, saya ingin pesan 1 McD paket lengkap. Jangankan bertemu dengan orangnya saat pesan, kita saja tidak perlu turun dari kendaraan saat pesan. Mau bilang gak sopan, tapi inilah milenial. Pada tahun ini baru diterapkan dibeberapa restoran saja.

Kedepannya mungkin beli pecel bisa dengan drive thru. Dari segi itu saja bisa disimpulkan jika teknologi itu belum menyeluruh. Drive thru hanya dilakukan pada makanan yang milenial (KFC, McD, Richeese, A&W). Saya akan memunculkan pertanyaan pada penerapan sistem teresebut. “Apakah drive thru hanya untuk makanan milenial saja?. Apakah makanan tradisional seperti pecel, lopes, cenil, cendol dawet tidak boleh secara drive thru?”. Komedi memang, tapi menurut saya ini patut untuk ditanyakan.

Biaya yang dihabiskan akan banyak jika menggunakan sistem ini. Jadi pada intinya, masyarakat milenial sekarang ini tidak mempunyai pendirian. Mereka gampang sekali terbawa arus teknologi. Pakaian yang marak menyebar kini bukan tentang pakaian yang sopan dan menutup aurat. Rok pendek, baju crop top adalah gaya trend saat ini. Rasanya masyarakat saat ini lebih mementingkan gengsi daripada kepentingan akhirat kelak. Pemikiran hanya mengikuti trend, mengejar kesenangan dunia.

Kalau dipikir, untuk apasih trend itu sebenarnya?. Pada akhirnya yang dipakai adalah kain kafan putih suci. Atau jangan-jangan kedepannya dengan trend akan muncul bentuk baru dari kain kafan yang di modifikasi?. Kain kafan dibentuk crop top, dibentuk celana jens. Bukan hanya disebut warga milenial, tapi juga disebut mayat milenial. Prosesi pemakaman mulai dari awal sampai akhir di shoot untuk dijadikan film yang bernilai jual tinggi.

Baca Juga  Pendidikan dan Demokrasi Awal Abad XXI: Merumuskan Arah Pendidikan Indonesia

Ucapan innalillahi wa inna lillahi rajiun akan diucapkan untuk pantas-pantas saja, Setelah itu lanjut melakukan wawancara pada keluarga yang bersungkawa. Letak turut berduka cita itu dimana?. Bersedih, mencoba iklas malah di suguhkan ribuan pertanyaan yang menjadikan flashback dengan almarhum. Niatnya mengikhlaskan, malah jadinya menambah rasa sedih yang mendalam. Pikiran mereka karena ingin mengejar target berita, bukan tentang bela sungkawa yang sebenarnya. (mmsm)

Budiasih Meyta Maulidah Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya