‘Weg tot de wetenschap’ adalah nama sebuah jalan di Kota Utrecth, kota tempat saya tinggal selama empat tahun terakhir,yang tidak lazim dalam penamaan jalan di Belanda. Biasanya, nama jalan ditandai dengan straat (seperti Bazelstraat), weg (Amsterdamstraatweg), dreef (Arnodreef), pad (Munirpad), laan (Padualaan), dan sejenisnya. Bukan dengan frasa seperti ‘Weg to de wetenschap’ yang bermakna “jalan menuju pengetahuan”.
Jalan ini beraspal warna merah, yang merupakan tanda jalur sepeda, membentang di kawasan antara Stadion Galgenwaard, kandangnya klub sepakbola FC Utrecht, ke arah timur menuju Utrecht Science Park yang secara letterlijk bermakna Taman Ilmu Utrecht atau bisa juga Kota Ilmu Utrecht, untuk memaksa dipadankan dengan dawuh Kanjeng Nabi, madinatul ‘ilm.
Jadi tak heran jika jalan ini dinamai jalan menuju (kota) ilmu/pengetahuan. Apalagi di kawasan seluas 300-an hektar ini terdapat kampus UU, UMCU, dan HU, serta Kebun Raya Utrecht (Botanische Tuin) dan beberapa lembaga riset ataupun bisnis lainnya. Termasuk juga empat asrama mahasiswa yang “hanya” mampu menampung kurang dari 3000-an mahasiswa. Isu tentang keterbatasan jumlah asrama mahasiswa memang menjadi isu nasional di Belanda hingga saat ini.
Keberadaan jalan ini mengingatkan saya pada hadis Kanjeng Nabi yang berbunyi Ana madinatul ‘ilm wa Ali babuha, fa man aradal ‘ilm fal ya’ti min babihi. Aku adalah kota ilmu pengetahuan, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa menghendaki ilmu, maka datangilah (lewat) pintunya.
Analogi yang sangat bernas dari Kanjeng Nabi untuk mengapresiasi kecerdasan dan kecemerlangan sepupu yang juga menantunya itu. Dengan sabda tersebut, Rasulullah menunjukkan beberapa hal. Terutama penegasan otoritas keilmuan yang diwariskan kepada Ali dan hal dasar metodis untuk meraih sesuatu.
Otoritas keilmuan, sebagaimana jenis otoritas lainnya, rasanya tidak berbeda jauh dari apa yang ditawarkan oleh Weber (1961), Willer (1994), Skalnik (1999), hingga Alatas (2021). Ia dapat berwatak tradisional, karismatis, rasional, ataupun ideologis. Caranya diperoleh juga tidak tunggal.
Ia bisa diwariskan, atau merupakan hasil ikhtiyar, atau kombinasi keduanya. Yang pasti, otoritas apapun tidak akan menjadi otoritas jika tidak ada pengakuan atasnya, baik yang sifatnya suka rela (voluntary submission) maupun dikondisikan (coercive submission).
Dalam hal otoritas keilmuan sahabat Ali, penegasan dari Rasulullah maupun pengakuan umat tak terbantahkan adanya. Apalagi diperkuat pula oleh testimoni atas ekselensi Ali sebagaimana ada dalam Mawaidz Ushfuriyyah, dimana dikisahkan bahwa Ali dapat menuntaskan tantangan kaum Khawarij yang notabene dengki padanya.
Singkatnya, otoritas keilmuan Ali bukanlah otoritas yang rapuh (fragile). Ia bukan otoritas yang labil disematkan pada tokoh tertentu atas dasar sentimen ideologis tertentu.
Ia bukan otoritas “mana suka” sebagaimana dapat dengan mudah kita cermati dari fenomena mutakhir: si A disukai karena ia lulusan kampus A, si B disukai karena ia pengasuh lembaga B, si C disukai karena ia aktivis organisasi C, si D disukai karena ia tampan, atau si E yang disukai karena ia getol menolak isu tertentu, dan seterusnya.
Padahal Kanjeng Nabi juga sudah mengajarkan prosedur untuk mendapatkan ilmu. Jika ingin mendapatkan ilmu, maka datangilah pintunya. Meski hadis tersebut secara eksplisit menyebut Ali, tetapi ia tentu bersifat universal.
Mencari ilmu tidak elok pilih-pilih (cherry picking) karena sentimen ideologis tertentu. Ini tentu saja tidak mudah, karena bagaimanapun juga otoritas ideologis (Willer, 1994) akan terus berperan beriringan dengan kuasa simbolik maupun habitus (Bourdieu, 1989) dalam membentuk pertimbangan atas ragam pilihan.
Namun, sebagaimana weg tot de wetenschap yang secara material mengantarkan banyak orang menuju taman ilmu, secara moral harus ada upaya meneladani ajaran Nabi tentang prosedur mendapatkan ilmu ataupun ajaran-ajaran lainnya. Menutup diri dari kesempatan mendapat ilmu dari individu atau tokoh tertentu karena sentimen ideologis tentu bukan sikap yang bijak dari seorang pencari ilmu.
Imam Syafi’i berkata, “Terlalu keras dan menutup diri terhadap orang lain akan mendatangkan musuh, dan terlalu terbuka juga akan mendatangkan kawan yang tidak baik. Maka posisikan dirimu di antara keduanya.” Di atas segalanya, sikap moderat memang seyogyanya jadi pilihan terbaik di hampir segala situasi.
Saya teringat pula nasihat lainnya dari Imam Syafi’i, yang rasanya relevan dengan perjalanan saya mengayuh sepeda dari kamar kontrakan di “kecamatan” Overvecht sejauh 7 km menyusuri weg tot de wetenschap, jalan menuju pengetahuan. Nasihat yang rasanya terus menampar dan menyadarkan saya untuk tetap bertahan: “Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan.” Wallahu a’lam. [AA]