Bahaya Memberikan Fatwa Tanpa Ilmu Pengetahuan

2 min read

Bertakwalah kepada Allah dan mengertilah bahwasanya Allah sendirilah yang menguasai penciptaan dan urusan segalanya. Maka tiada sang Pencipta kecuali Allah, tiada sang Pengatur urusan makhluk kecuali Allah, dan tiada syariat untuk makhluk selain syariat Allah. Dia-lah yang menghalalkan sesuatu dan mengharamkannya. Dia-lah yang menganjurkan melakukan sesuatu dan menghalalkannya sungguh Allah membenci orang-orang yang menghalalkan dan mengharamkan dengan kemauan nafsu mereka sendiri.

Sesungguhnya kejahatan yang diancam hukum adalah ucapan seseorang yang mengatakan tentang sesuatu “ini halal,itu haram; yang ini wajib dan yang itu tidak wajib”. Padahal dia sama sekali tidak mengerti tentang hukum-hukum Allah. Apakah itu halal,apakah itu haram; apakah itu wajib atau tidak wajib.

Sungguh ini merupakan kejahatan dan tata krama yang buruk kepada Allah. Bagaimana bisa mengerti kalau itu adalah hukum Allah, kemudian diajukan dihadapan Allah, lalu berkomentar tentang agama dan syariat Allah dengan komentar yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan.

Ada sebagian orang awam tentang hukum Allah bahkan banyak yang mencoba memberikan fatwa kepada orang lain dengan hukum yang dia sendiri tidak mengerti darimana sumbernya. Tentu anda akan mendengar sebagaimana fatwanya; “Ini hukumnya halal atau haram, atau wajib atau tidak wajib” sedang dia sendiri tidak mengerti hukum semua itu.

Apakah orang ini tidak mengerti bahwa Allah SWT nanti pada hari kiamat akan menanyakan kepadanya tentang apa yang telah diucapkan. Apakah orang ini tidak mengerti bahwa ketika seseorang akan menyesatkan orang lain, maka ia akan menghalalkan apa yang diharamkan, atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah kepadanya. Tentu saja ia akan mengakui dan menanggung dosa akan perbuatannya itu serta dosa yang timbul akan fatwanya itu juga.

Baca Juga  Tragedi Asyura dan Upaya Membangun Toleransi

Ada lagi sebagian orang awam masalah hukum ketika dia melihat ada seseorang meminta fatwa kepada seorang alim ia berkata kepadanya: “Tidak ada perlunya kamu meminta fatwa, masalah ini sudah jelas hukumnya haram”. Sementara menurut kenyataan hukumnya halal. Maka berarti ia mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah. Atau ia berkata: “Masalah ini hukumnya nyata-nyata wajib”, maka berarti ia mewajibkan kepadanya apa yang tidak diwajibkam oleh Allah SWT

Atau berkata: “Masalah ini bukan berarti merupakan sesuatu yang wajib”, Maka berarti ia menggugurkan kewajiban melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah kepada seseoramg tersebut.

Atau ia berkata: “Masalah ini hukumnya halal”, sedang menurut kenyataan hukumnya haram, maka berarti ia menjebloskan seseorang masuk ke dalam kawasan yang diharamkan Allah kepadanya

Hal-hal seperti ini adalah kejahatan terhadap syariat Allah dan kejahatan terhadap sesama muslim, dimana adanya penipuan yang secara membabi buta.

Andaikata ada seseorang bertanya tentang jalan yang menuju ke suatu desa/kota, lalu anda menjawab: “Jalan inilah yang menuju ke desa/kota itu”, padahal anda sendiri tidak mengetahui jurusan ke desa/kota mana jalan itu. Maka orang-orang pun akan bilang bahwa tindakan anda itu merupakan bentuk-bentu kejahatan dan penipuan. Lalu bagaimana anda akan berbicara mengenai jalan menuju surga, dan ini adalah syari’at yang diturunkan Allah, sedang anda sendiri tidak mengetahui permasalahan surga itu barang sedikitpun.

Ada sebagian kaum pelajar yang terpengaruh ucapan dan tindakan orang-orang awam tersebut, sebab dalam kelancangannnya dalam menetapkan hukum syari’at tentang “menghalakan dan mengharamkan serta mewajibkan”. Lalu berbicara tentang sesuatu hukum yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Mengelompokkan dan memerinci syari’at, padahal dia adalah orang yang paling bodoh seluk beluk hukum-hukum Allah.

Baca Juga  Pesan Kekhalifahan Manusia Di Balik Syariat Puasa

Bila anda mendengar salah seorang diantara mereka sedang berkata, seakan wahyu turun kepadanya, sehingga ia berpikir tentang sesuatu hal kemudian menghukumi sesuatu tersebut. Ini lebih berbahaya bagi umat ketimbang orang-orang awam, karena masyarakat mungkin akan lebih mempercayai kata-katanya dan tertipu, atau mungkin masyarakat merasa puas menisbatkan urusan hukum itu kepdanya. Tidak hanya itu bahkan mereka menisbatkannya kepda islam. Lalu berkata: “Islam berkata ini, Islam memandang demikian”.

Ini semua tidak boleh terjadi, kecuali biarkata sendiri memang mahir tentang ilmu agama Islam, sedang jalan menuju kesana tiada lain hanya memahami kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, atau kesepakatan (ijma’) para ulama.

Ada sebagian orang, karena keberanian dan ketidak adanya rasa takut pada dirinya, berkomentar tentang sesuatu yang sudah jelas haramnya: “Saya kira ini tidak haram”, atau tentang sesuatu yang sudah jelas wajibnya, lalu berkomentar “Aku kira ini tidak wajib”. Komentar seperti ini adakalanya memang dia itu bodoh, atau keras kepala atau sombong atau karena ingin menimbulkan keraguan masyarakat akan hukum-hukum tersebut.

Termasuk akal yang sehat, iman dan takwa kepada Allah dan mengagungkan-Nya, ialah bila seseorang tidak mengerti sesuatu persoalan atau hukum, dia berkata: “Saya tidak mengerti. Atau saya tidak tahu bertanyalah kepada selain saya yang memang ahlinya”. Jawaban seperti itu merupakan kesempurnaan akal.

Maka ketika masyarakat mengerti kehati-hatiannya, mereka pun akan mempercayainya. Dan dengan jawaban seperti itu pula dia mengerti akan hakekat dirinya dan karena itu pula dia bisa menempatkan diri sehingga dengan demikian tampaklah kesempurnaan iman dan takwanya kepada Allah dimana dia tidak berani dan mengatakan sesuatu di hadapan Allah yang dia sendiri tidak mengerti. (mmsm)

Baca Juga  Generasi Millenial, Industri 4.0 dan Ilmu Hadis [2]: Menuju Intelektual yang Berpihak