Muhammad Fahmi Ichsan Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi UIN Sunan Ampel Surabaya

Abu Nuwas, Sang Sufi yang Akhirnya Bertobat

2 min read

Patung Abu Nuwas di Bangdad Irak. Gambar Diambil dari arabi21.com

Abu Nuwas (756-814), atau lebih populer dikenal sebagai Abu Nawas, bernama asli Abu Ali Al Hasan bin Hani al-Hakami. Dia mendapat gelar Nuwas yang artinya ikal, merijuk pada rambutnya yang ikal. Beliau sosok yang cerdik, bijaksana, sekaligus lucu. Lahir di Ahwaz, persia sekitar tahun 140 H/757 M.dari seorang ibu Persia. Ayahnya dari Damsyik, seorang prajurit Suriah.

Dalam sejarah ia dinilai sebagai seorang penyair besar pada zamannya, jenius tetapi sinis, serba tak acuh. Sikapnya tersebut disebabkannya karena Abu Nuwas kecewa terhadap lingkungannya yang kebanyakan masyarakatnya suka bersikap hipokrit.

Meskipun dikenal dengan para khalifah, namun dalam diri Abu Nuwas menyimpan sifat yang ambigu. Di sisi lain, Abu Nuwas juga tak segan-segan mengkritik penguasa. Melalui syair-syair khamiriyahnya. Melalui syair, secara jelas Abu Nuwas mengkritik perilaku orang-orang yang secara agama taat. Tetapi perilaku mereka tidak mencerminkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.

Abu Nuwas saat mudanya suka mendatangi kedai-kedai khamar. Khamar telah begitu menyatu ke dalam hidupnya. Kerekatannya dengan khamar tidak hanya saat stres, tetapi khamar bagi Abu Nuwas sudah menjadi teman dalam hidupnya.

Tidak hanya khamar yang menjadi temannya, Abu Nuwas juga suka dengan wanita. Dalam syair-syair khamriyyat-nya sering ia lancarkan dalam bentuk ghazāl (cinta yang bernuansa mesum) untuk merayu para wanita dan laki-laki. Hingga dia bertemu seorang wanita yang cantik bernama Jinnah. Dalam syairnya dia mengatakan:

Duhai mata yang mempesona, engkau redup selamanya, tatapanmu menguak rahasia yang tersimpan di dada. perhatikan diri kita: engkau menutupiku, meski engkau sendiri tanpa baju, seakan takdir menyembunyikanku. Engkau membunuhku tanpa harapan untuk balas dendam, seakan pembunuhan itu adalah persembahan kepada tuhan.

Dalam kajian filsafat oleh Dr. Fahruddin Faiz S.Ag., M.Ag. pada Rabu 30 Oktober 2019 di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, menyatakan bahwa Abu Nuwas adalah sosok penuh kontroversi. Lantaran dia disebut ulama-cum-sufi, tetapi punya kenakalan yang berkisar pada mabuk dan main perempuan. Ada yang menyebut dia mengalami akumulasi krisis diri. Ada pula yang bilang dia punya tingkat narsistik (cinta diri) yang berlebihan.

Baca Juga  Manusia, Tangan Tuhan, dan Kebebasan Diri: Akal, Cahaya, dan Hikmah [1]

Dia memang cerdas dan berwawasan luas, tapi dia punya ketakpuasan sehingga hidupnya terbilang agak berantakan. Tapi akhirnya hidupnya dia melakukan pertobatan.

Abu Nuwas sering masuk-keluar dari penjara karena kenakalannya. Dalam sebuah cerita, saat Abu Nuwas mendekam di penjara, itulah yang akhirnya menjadi titik balik kehidupannya menjadi lebih baik. Selama mendekam di balik jeruji penjara, syair-syair Abu Nuwas awalnya dari syair khamiriyah berubah menjadi syair-syair religius. Salah satunya adalah al-Itirāf (pengakuan).

إِلٰـهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً# وَلاَ أَقْوٰى عَلَى نَارِ الْجَحِيْم

Wahai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahīm

فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِي # فَإنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ

Maka berilah aku tobat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar

ذُنُوْبِي مِثْلُ أَعْدَادٍ الرِّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالْجَلاَلِ

Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku tobat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan

وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذَنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي

Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya

إِلٰـهِي عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاك

Wahai, Tuhanku! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada-Mu

فَإِنْ تَغْفِرْ فَأنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ # فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك

Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni,

Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?

Pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi dari jalan gelap itulah, Abu Nuwas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan dan menemukan jalan terang menjadi sufi.

Baca Juga  Kisah Cinta Sufi (7): Khusrau dan Syirin - Dihadapan Cinta, Akal Sama Sekali Tak Berdaya

Ada versi lain dalam pertobatannya. Pada suatu malam ganjil (malam Qadar di bulan Ramadan), di usia yang tidak lagi muda, Abu Nuwas seperti biasa minum-minuman keras. Dalam kondisi mabuk tersebut tiba-tiba ada seseorang yang tidak dikenali mendatanginya. Tanpa banyak bicara seseorang itu langsung bertanya kepada Abu Nuwas, “Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu”

Mendengar perkataan tersebut, Abu Nuwas terhentak dan tersadar akan segala tingkah lakunya selama ini. Dia merasa hidupnya kelam dan dalam kubangan hitam dosa. Bahkan Abu Nuwas langsung mengibaratkan dirinya jauh lebih rendah dan hina dari pada lalat. Kesadaran akan arti hidup yang tidak memberikan manfaat bagi orang lain itu menuntun Abu Nuwas untuk mengakhiri kebiasaan lamanya. [MZ]

Muhammad Fahmi Ichsan Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi UIN Sunan Ampel Surabaya