Manusia cenderung sulit mengendalikan perilakunya ketika ia dikuasai oleh emosi. Tak jarang perasaan-perasaan seperti marah, kesal, putus asa, benci, iri, dan lain-lain membuat manusia melontarkan kalimat yang tidak baik dari lisannya. Tidak hanya keluhan, namun terkadang sampai meminta hal-hal buruk agar menimpa dirinya, keluarganya, atau bahkan orang lain.
Seperti ketika seorang guru sedang marah karena muridnya tidak mendengarkan penjelasan di kelas, tiba-tiba terlontar kalimat buruk mendoakan murid tersebut. Atau seorang remaja yang depresi karena banyaknya masalah hidup, tanpa pikir panjang ia meminta kepada Allah agar dicabut nyawanya berharap tak menderita lagi dalam menjalani kehidupan. Mengapa bisa terjadi hal-hal tersebut? Allah membekali manusia dengan akal dan nafsu.
Pertarungan antara keduanya akan menentukan bagaimana corak perilaku manusia. Ketika manusia dikuasai oleh nafsu amarahnya yang emosional maka akal sehatnya tidak berjalan dengan baik, sehingga dengan cepat melontarkan kata/kalimat buruk yang pada hakekatnya adalah doa. Inilah yang dikatakan bahwa manusia bodoh dalam berdoa. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran, salah satunya pada surah Al-Isra ayat 11.
وَيَدْعُ ٱلْإِنسَٰنُ بِٱلشَّرِّ دُعَآءَهُۥ بِٱلْخَيْرِ ۖ وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ عَجُولً
“Dan manusia berdo’a untuk kejahatan sebagaimana ia berdo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (Q.S Al-Isra [17] : 11)
Wahbah az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya yaitu Al-Munir, menjelaskan mengenai penafsiran ayat tersebut. Yaitu bahwa Allah berfirman, salah satu sifat dasar manusia ialah tergesa-gesa. Sehingga terkadang manusia ketika marah, ia mendoakan keburukan-keburukan bagi dirinya, keluarganya, atau orang lain. Seperti mendoakan orang lain agar sakit atau bahkan mati. Hal ini sebagaimana ketika ia meminta kebaikan-kebaikan untuk dirinya seperti kesehatan, kesejahteraan, keselamatan. Seandainya Allah mengabulkan doa-doa keburukan itu, maka pasti binasalah ia. (Tafsir Al-Munir, jilid 8, hal. 50)
Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 11 :
وَلَوْ يُعَجِّلُ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ ٱلشَّرَّ ٱسْتِعْجَالَهُم بِٱلْخَيْرِ لَقُضِىَ إِلَيْهِمْ أَجَلُهُمْ ۖ
“Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka” (Q.S Yunus [10] : 11)
Namun, dengan segala kemurahan, karunia, dan rahmat-Nya, Allah tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya yang buruk itu. Dan inilah salah satu bentuk kasih sayang Allah. Dijelaskan juga dalam Tafsir Al-Munir, maksud dari ayat tersebut ialah manusia tergesa-gesa dalam meminta sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. (Tafsir Al-Munir, jilid 8, hal. 51)
Selaras dengan Wahbah az-Zuhaili, Buya Hamka juga memberikan penafsiran serupa mengenai ayat ini dalam Tafsir Al-Azhar. Beliau mengungkapkan sifat tergesa-gesa merupakan salah satu kelemahan manusia. Yakni ketika seseorang mendapat musibah ataupun kesulitan dalam hidupnya, ia akan merasa gelisah, cemas, cenderung tidak dapat mengendalikan diri. Manusia mengeluh, menyumpah, dan terkadang meminta untuk dicabut nyawanya. (Tafsir Al-Azhar, jilid 6, hal. 4020)
Menurut Buya Hamka, manusia seringkali lupa bahwa kehidupan ini terus berputar. Terkadang kita berada diatas dan kadang pula di bawah, hidup kita tak selamanya buruk, ada bagian yang susah dan adapula yang senang. Sehingga kita harus dapat mengendalikan diri serta berhati-hati dalam bersikap, terutama dalam berdoa meminta kepada Allah. Buya Hamka menegaskan di akhir penafsiran ayat tersebut sebuah anjuran untuk manusia agar melatih diri meminimalisir sifat tergesa-gesa, tidak mudah cemas saat menghadapi kesulitan dan sebaliknya tidak mudah gembira sampai lupa diri ketika mendapat kebahagiaan. (Tafsir Al-Azhar, jilid 6, hal. 4021)
Tergesa-gesa membuat kita mungkin saja salah dalam mengambil keputusan, mungkin saja salah dalam memahami informasi, mungkin saja salah dalam berucap, atau bahkan salah dalam bersikap. Ketika menghadapi sebuah persoalan, tentu kita harus menyertakan syarat berpikir secara sehat dalam mengambil keputusan. Artinya keputusan yang diambil tetap harus menggunakan logika berpikir yang runtut dan jernih. Hal ini tentu berbeda sekali dengan sifat tergesa-gesa yang melekat pada diri seseorang.
Sifat tergesa-gesa akan menyebabkan pengambilan keputusan yang tidak melalui proses berpikir, tetapi lebih sebagai respon reaktif semata. Kalaupun ada proses berpikirnya, tetapi prosesnya terlalu cepat dan tidak sehat sehingga keputusan yang dihasilkan akan merugikan banyak pihak termasuk diri sendiri.
Adanya ayat-ayat yang menjelaskan mengenai sifat buruk manusia tergesa-gesa, menjadi peringatan kepada seluruh manusia agar lebih cermat dalam mengambil keputusan dan bersikap. Terutama ketika meminta dan berdoa kepada Allah. Bukankah manusia diciptakan memiliki akal pikiran sehingga membedakannya dengan mahluk lain? Maka sudah sepantasnya kita sebagai manusia menggunakan akal pikiran tersebut sebaik-baiknya. Alangkah lebih baik jika memikirkan segala sesuatu secara matang agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kehati-hatian dalam mengambil keputusan dan menentukan sikap adalah sesuatu yang jauh bernilai positif ketimbang ketergesa-gesaan.