Nass Alquran dan hadis sudah jelas menyebutkan kematian manusia bersifat mutlak. Tidak ada yang bisa menghindar apalagi menolak. Kalau saatnya tiba, tidak mundur dan maju waktunya. Tidak peduli si mayit sebelumnya sehat atau sakit. Kaya atau miskin. Profesor atau tak pernah sekolah. Izrail pasti berkunjung kepadanya kalau sudah dapat surat tugas.
Mengingat mati tentu penting, biar bisa menyiapkan bekal terbaik ketika ajal datang. Atau paling tidak saat maut tiba, diri ini dalam kondisi dan situasi yang baik. Tidak sedang bermaksiat. Masalahnya, ingatan akan kematian seumur nafas. Sering lupa daripada mengingatnya. Apalagi ketika sibuk-sibuknya mengurus dunia. Alasan pekerjaan, keluarga, atau urusan duniawi lainnya, sehingga lupa mati.
Lupa adalah fitrah manusia. Tapi syukurlah Allah masih membekalinya bersama ingatan. Maka kalau lupa, ingatan segera menyelah. Ini alasan perintah agar sering berzikir, yang artinya mengingat-ingat. Semakin sering berzikir, ingatan akan terlatih, sehingga jarang lupa. Termasuk tidak melupakan kematian. Zikir menjadi alarm ingatan manusia.
Kalau sudah sering atau bahkan selalu ingat mati. Hidup menjadi penting. Setiap nafas amat berharga tidak sebanding berlian dan permata. Menghargai hidup berarti menghargai kehidupan. Setiap yang hidup tidak disia-siakan. Sebab kehidupan adalah kesempatan manusia menanam budi sebelum mati.
Ada kitab judulnya, Dhikr al-Mawt karya Ibnu Abi Dunya. Nama aslinya, Abu Bakr ‘Abd Allah b. Muhammad b. ‘Ubaid al-Baghdadi; seorang prolifik abad ke-9 di era dinasti Umawiyah. Lahir di Baghdad tahun 823 M. Ia ahli sejarah dan sastra Arab, tentunya juga ahli hadis. Banyak riwayat hadis melalu jalur sanadnya. Sehingga banyak ulama memuji dedikasinya terhadap ilmu.
Ibn Hajar dalam kitab al-Taqrīb, menyebut Ibnu Abi Dunya, “orang yang sangat terpercaya, hafiz yang memiliki banyak karya.” Penghargaan serupa datang juga dari Ibn Abi Hatim, “saya dan bapak saya menulis darinya.” Ada pernyataan yang terkenal tentangnya. “Jika ia (Ibnu Abi Dunya) ingin membuat seseorang menangis, ia pasti dapat melakukannya. Dan jika ia ingin membuat seseorang tertawa, ia pun pasti dapat melakukannya.” Ini mewakili pengetahuannya yang luas.
Beralih ke kitab Dhikr al-Mawt. Temanya tentang kematian. Terdiri dari 24 bab. Di bab pertama ada 22 riwayat. Bab pertama dalam kitab Dhikr Mawt tentang ketidaksukaan dan kecemasan manusia terhadap kematian dan penyebabnya.
Salah satu riwayat menyebutkan, “Di dunia, seorang mukmin serupa bayi dalam rahim seorang ibu. Menangis saat keluar melihat dunia, sampai ia menemukan rusuk dan menyusu pada Ibunya. Ia pun tak ingin kembali. Begitulah perjalanan hidup seorang mukmin. Ketika ia sudah dipanggil Allah, tak ingin kembali ke dunia.”
Dalam riwayat lain, Umi Harun (sufi perempuan abad 3 H, sezaman dengan Rabi’ah) pernah ditanya Abu Sulaiman al-Darani, “apa kamu menyukai kematian?” Jawabnya, “kalau aku mencederai seseorang, aku pasti tidak suka ketemu dengannya, lalu apa aku sanggup bertemu Dzat yang sering aku cederai dengan maksiat-maksiatku.”
Konon, kematian pun sangat mengkhawatirkan bagi Umar bin Abdul Aziz. Diriwayatkan, “ketika disebut kematian, maka gemetarlah tungkai Umar.”
Begitulah kematian. Selalu menakutkan bagi manusia yang sadar dan menyadarinya. Sadar kalau dirinya sewaktu-waktu bisa mati. Maka, pandemi yang terjadi saat ini seyogianya dapat mengingatkan kembali bahwa manusia harus menyiapkan bekal sebelum kematian mendatanginya. Memperbanyak amal saleh adalah keharusan. [MZ]