Fathor Rahman Jm Direktur Ma’had Al-Jami’ah dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember

Fikih Korona: Agama dan Politik Penyelamat

2 min read

Foto: https://www.dw.com/

Pada 1969 Ahmad Wahib yang sering disebut sebagai sang pemikir belia bebas penerabas batas teologi Islam itu pernah mengeluhkan begini: “Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan.” Dia bersedih karena, dalam amatannya, agama kehilangan daya serap dan sensitifnya terhadap masalah-masalah dunia dan kehidupan manusia.

Sehingga, dalam catatan hariannya yang terkenal itu, Wahib (1981) berkeluh kesah:
Terus terang, aku kepingin sekali bertemu sendiri dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku sudah kurang percaya kepada orang-orang yang disebut sebagai pewaris-pewarisnya”.

Kondisi yang dikesahkan Wahib sekitar setengah abad silam itu sangat benderang masih terjadi di tengah masyarakat dalam menghadapi Covid-19 tahun 2020 ini. Di saat hantaman Covid-19 ini tidak sedikit pemuka agama yang memberikan panduan teologis atau fikih ibadah mahdah dalam situasi wabah agar masyarakat selamat dari serangan virus yang telah banyak memakan korban ini.

Fatwa dan Potensi Kekacauan
Secara simultan, fatwa-fatwa keagamaan terkait “fikih korona” ini juga memberikan legitimasi teologis bagi kebijakan pemerintah dalam penggalakan represi mental berupa physical distancing, tetap di rumah, hindari kerumunan, termasuk dalam hal ibadah ritual seperti salat berjamaah, majelis taklim, dan lain sebagainya, untuk memutus penyebaran virus berbahaya ini.

Konsekuensi logisnya adalah bahwa siapapun yang melanggar kebijakan dan arahan pemerintah, ia juga melanggar anjuran fikih dan ajaran agama yang bersifat teologis dan eskatologis.

Namun demikian, represi mental ini rupanya mulai memunculkan paradoks di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini. Banyak orang kemudian menemukan keasyikannya dalam kesendirian (individualistis) dan keberjarakannya dengan orang lain, serta timbul sinisme kepada saudaranya yang keluar rumah dengan menyebutnya bebal dan bandel.

Baca Juga  Menghilangkan Kesulitan dan Memaknai Hidup (1)

Di sini sisi empati kita kadang hilang kepada mereka yang harus bekerja di luar rumah untuk mempertahankan hidup. Kecuali, masih banyak di antara kita yang tidak berpangku tangan dengan menggalang donasi untuk memperbaiki situasi. Ini perlu mendapatkan apresiasi.

Represi mental ini juga menimbulkan potensi kekacauan yang diakibatkan frustasi karena pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang menimpa kaum miskin kota dan buruh. Saat ini sudah terjadi lebih 2 juta kasus PHK akibat Covid-19. Ditambah lagi banyaknya masyarakat terdampak Covid-19 namun tidak termasuk dalam skema pengamanan sosial pemerintah yang kadang salah sasaran dan asal-asalan.

Dalam situasi saat ini mereka frustrasi dan berjibaku dengan kesulitan untuk menstabilkan kehidupan dan membebaskan diri dari ancaman kelaparan.

Bebalnya mentalitas korup-kapitalistik
Sementara itu, mentalitas korup-kapitalistik aparatur negara selalu menyeruak, seperti yang terjadi di dalam negeri ribuan pekerja kesehatan butuh APD menghadapi Covid-19, pemerintah dengan mudahnya menjual APD ke luar negeri untuk mendapatkan keuntungan finansial yang besar.Di samping itu, tidak sedikit penumpang gelap, yakni segelintir orang yang mengail di air yang keruh, dalam kebijakan refocusing anggaran negara lantaran corona.

Saat ini, di tengah Covid-19, mentalitas apatis kapitalistik oligark yang menguasai negara masih sangat jelas terlihat: di tengah kondisi amat sedikit uang yang dimiliki negara untuk menyelamatkan banyak sekali orang saat ini, masih terlihat jelas kepongahan segelintir oligark yang dengan nafsunya dan mengorbankan banyak orang, hanya untuk menyelamatkan banyak sekali uang mereka demi kepentingan mereka di masa yang akan datang (Fayyadl, 2020).

Apakah umat beragama cukup hanya dengan menyaksikan mereka di layar televisi dan gawai masing-masing? Apakah agama hanya akan berhenti pada titik memberikan panduan rukshah dalam fikih ibadah mahdah yang bersifat ritual? Apakah umat beragama harus menjadi immoral dan asosial? Pada titik inilah agama (sebagai ajaran universal kenabian dan ketuhanan) dan politik (sebagai seni dan entitas yang mengatur hajat orang banyak) tidak cukup hanya menganjurkan umat atau masyarakat untuk mencari selamat. Agama dan politik harus bisa disublimasi njadi entitas yang menyelamatkan. Agama harus mampu menyerap persoalan masyarakat secara lebih substansial, menukik pada inti persoalan dan penyelesaian masalah secara komprehensif.

Baca Juga  Konsep Islam Cinta ala Habib Husein Ja’far al-Hadar

Dalam kondisi Covid-19 di Indonesia saat ini, agama perlu mencandra persoalan secara lebih holistis dan radikal. Agama tidak boleh hanya memberikan panduan dan keringanan fikih ketika masyarakat beribadah dalam situasi bahaya virus. Ia juga harus memberikan panduan bahkan impresi dan represi moral bagi kebijakan politik pengurus negara yang kadang oleng dari jalur khittahnya, sehingga menyebabkan mereka inkonsisten dan inkompeten dalam menjalankan tugasnya yang pada muaranya menyebabkan kebingungan dan banyak korban di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu a’lam. (HM)

Fathor Rahman Jm Direktur Ma’had Al-Jami’ah dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *