Bismillāhirrahmānirrahīm. Alhamdulillāhi thumma al-salāt wa al-salām ‘alā rasūlillāh. Wa ilā Allah narju rahmatahu wa ra’fatah.
Pada kesempatan ini, kita akan mengupas tentang puasa dalam Islam. Sebagaimana telah jamak diketahui bahwa Islam memiliki berbagai dimensi amaliyah tentang puasa, ada puasa wajib, puasa sunnah, bahkan ada puasa yang diharamkan. Berikut ini kami ulas secara singkat petikan tulisan dari muallif kitab Sullam al-Tawfiq tentang perihal puasa.
Siapa yang wajib berpuasa?
يَجِبُ صَوْمُ شَهْرِ رَمَضانَ على كُلِّ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ؛ ولا يَصِحُّ مِنْ حائِضٍ ونُفَساءَ، ويَجِبُ عليهما القَضاءُ؛ ويَجُوزُ الفِطْرُ لِمُسافِرٍ سَفَرَ قَصْرٍ، وإنْ لم يَشُقَّ عليه الصَّوْمُ؛ ولمرِيضٍ، وحامِلٍ، ومُرْضِعٍ، شَقَّ عليهم مَشَقَّةً لا تُحتَمَلُ، الفِطْرُ، ويَجِبُ عليهم القَضاءُ.
Orang muslim mukallaf berkewajiban untuk menjalankan puasa Ramadan, dan puasanya tidak sah bagi orang yang sedang haid dan nifas, namun dia wajib mengqada’ [mengganti] puasa. Diperkenankan untuk tidak berpuasa bagi orang yang sedang bepergian sambil mengqasar [menyederhanakan bilangan salat] sekalipun tidak masyaqqah [memberatkan]. Diperbolehkan pula untuk tidak berpuasa bagi orang yang sakit, hamil dan menyusui yang dapat memberatkan mereka bila berpuasa, namun mereka harus mengaqada’ [mengganti puasa tersebut].
Dari kutipan di atas, kita bisa melihat bahwa salah satu puasa wajib adalah puasa pada bulan Ramadan. Kewajiban itu mengikat semua orang Muslim yang telah mukalaf. Sebaliknya, khusus untuk perempuan, jika sedang berada dalam keadaan haid atau nifas, maka tidak diperkenankan baginya untuk melakukan puasa, dan wajib baginya untuk mengganti puasa tersebut di lain waktu selain bulan Ramadan.
Di sisi lain, kewajiban berpuasa tidak mengikat bagi mereka yang sedang melakukan perjalanan [musafir]. Meski teks kitab menyebutkan bahwa perjalanan tersebut tidak harus memberatkan, seseorang tetap diperbolehkan untuk tidak melakukan puasa atas dasar musafir. Meski demikian, jika seseorang meninggalkan puasa karena bepergian, maka dia wajib menggantinya di hari lain di luar bulan Ramadan.
Selain itu, diperbolehkan pula bagi mereka yang sedang sakit, hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Namun, jika mereka memandang dirinya sanggup untuk melakukan puasa, dan tidak merasa berat, maka hal itu lebih baik. Sama halnya dengan musafir, meski mendapat rukhsah [keringanan] untuk tidak berpuasa, namun jika perjalanan tidak terasa memberatkan dan dirasa mampu menjalani puasa, maka itu lebih baik. Hal itu, salah satunya, karena pertimbangan akan keagungan bulan puasa yang jelas berbeda dengan bulan-bulan lainnya.
Fardu puasa dan syarat-syaratnya
ويَجِبُ التَّبْيِيتُ، والتَّعْيينُ في النِّيَّةِ لِكُلِّ يَوْمٍ، والإمْساكُ عن: الجِماعِ، والاسْتِمْناءِ، والاسْتِقاءَةِ، وعن الرِّدَّةِ، وعَنْ دُخُولِ عَيْنٍ جَوْفًا، إلّا رِيقَهُ الخالِصَ الطّاهِرَ مِنْ مَعْدِنِهِ. وأنْ لا يُجَنَّ ولو لَحْظَةً، وأنْ لا يُغْمَى عليه كُلَّ اليَوْمِ.
Bagi orang yang melakukan puasa, wajib menginapkan dan menyatakan niat setiap hari, menahan dari bersetubuh, mengeluarkan air mani, muntah, murtad dan memasukkan sesuatu ke dalam lubang [dari anggota tubuh], kecuali ludah murni suci dari dalam, tidak pula gila meskipun sebentar dan tidak pingsan setiap hari.
Dari teks di atas, menurut mualif, bagi orang yang hendak menjalani puasa wajib, maka diharuskan untuk berniat puasa pada malam harinya, yaitu antara waktu maghrib hingga subuh yang diniatkan untuk puasa hari besoknya. Kewajiban ini tentu berbeda dengan puasa sunnah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika di pagi hari nabi tidak menemukan makanan, nabi kemudian melanjutkan dengan niat berpuasa. Artinya, puasa sunnah tidak mengharuskan seseorang untuk menginapkan niat puasanya.
Bagi orang yang berpuasa, ada beberapa larangan yang seharusnya dihindari. Di antara hal yang dapat membatalkan puasa adalah bersenggama, bercumbu hingga menyebabkan keluar air mani, muntah yang disengaja, murtad, dan memasukkan benda-benda ke dalam tubuh, seperti rongga tenggorokan, kecuali air ludah asli yang bersih, tidak berasa, dan suci.
Waktu puasa yang diharamkan
ولا يَصِحُّ صَوْمُ العِيدَيْنِ، وأيّامِ التَّشْرِيقِ، وكَذا النِّصْفُ الأَخِيرُ مِنْ شَعْبانَ ويَومُ الشَّكِّ، إلّا أنْ يَصِلَهُ بِما قَبْلَهُ، أو لِقَضاءٍ أو نَذْرٍ أو وِرْدٍ.
Tidak sah berpuasa pada saat dua hari raya [idul fitri dan idul adha], hari tasyriq [tanggal 11, 12, 13 Zulhijah], paruh akhir bulan Syakban, dan hari syak [ragu akan ketentuannya] kecuali ada kesinambungan dari hari sebelumnya, atau mengqada puasa, melakukan puasa nadzar, atau karena wirid [puasa rutin seperti kebiasaan puasa senin dan kamis].
Batal puasa karena bersenggama
ومَنْ أَفْسَدَ صَوْمَ يَوْمٍ مِنْ رَمَضانَ ولا رُخْصَةَ له في فِطْرِهِ بِجِماعٍ، فَعَلَيْهِ الإثْمُ، والقَضاءُ فَوْرًا، وكَفّارةُ ظِهارٍ
Seseorang yang telah merusak puasa sehari dari bulan Ramadan dengan melakukan persetubuhan di siang hari, padahal tidak adanya hal yang membolehkan berbuka, maka ia berdosa dan wajib mengqada secepatnya serta membayar kafarah ziharnya.
Dari keterangan di atas, orang yang batal puasa Ramadan karena bersenggama, padahal dia tidak mendapat keringanan untuk tidak puasa, maka dia akan menanggung dosa dan harus mengganti puasa tersebut sesegera mungkin, yakni setelah Idul Fitri, dan harus membayar kafarat (tebusan) berupa memerdekakan budak. Apabila tidak bisa, maka puasa selama dua bulan berturut-turut. Dan apabila tidak mampu, maka memberi makan 60 orang miskin, di mana setiap orang miskin mendapat sebanyak dua telapak tangan dari makanan pokok dari daerah asal orang tersebut.
Demikian. Semoga kita diberi kemudahan untuk menjalani perintah-Nya. Amin.
Wallāhu a‘lam bi al-sawāb