Holilurrohman Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Covid-19 dan Pekerja Swasta: di Rumah Saja atau Tetap Bekerja [Kajian Maqasid al-Sharī‘ah]

2 min read

Semenjak kampanye stay at home mencuat ke permukaan, ada banyak kalangan masyarakat mulai sadar untuk tetap tinggal dan beraktivitas di rumah. Bagi para ASN, misalnya, sudah banyak dari mereka yang melakukan WFH (work from home). Beberapa kampus juga telah menerapkan aktivitas belajar secara daring, mulai dari rapat, mengajar, hingga ujian skripsi. Mereka tidak memiliki kendala apapun terkait kebijakan ini.

Lalu, bagaimana dengan nasib para pekerja atau pedagang swasta yang tidak terikat dengan aturan itu? Barangkali ada beberapa perusahaan swasta yang telah memberlakukan WFH. Jelas ini merupakan angin segar bagi para pekerjanya. Lantas, bagaimana bagi pekerja swasta yang belum kena aturan WFH? Bagaimana, misalnya, para pedagang swasta yang setiap harinya mengandalkan jualan secara langsung (offline) untuk mencari nafkah diri dan keluarganya? Apakah mereka juga harus diam di rumah? Lalu, pertanyaan yang menyesakkan, jika mereka di rumah, mereka dapat uang dari mana untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari?

Dalam kajian maqāsid al-sharī‘ah, ada salah satu kitab populer yang ditulis oleh Muhammad Said Ramadān al-Būtī berjudul Dawābit al-Maslahah (Batasan-batasan Maslahat). Kitab ini membahas banyak hal, tapi fokusnya pada batasan-batasan kemaslahatan yang bisa dijadikan metode penggalian hukum Islam

Ada satu pembahasan menarik dalam kitab tersebut, yaitu: salah satu syarat maslahat bisa dijadikan sumber atau metode penggalian hukum adalah rajhān al-wuqū‘ (kemungkinan besar terwujudnya kemaslahatan). Artinya, kemaslahatan tersebut harus punya kemungkinan kuat akan terjadi, bukan berdasar perkiraan yang tak matang (al-Būtī, Dawābit al-Maslahah, 222)

Di dalam kitab tersebut al-Būtī memberi contoh, jika orang Muslim mau berjihad tapi jumlah pasukannya sedikit dan lemah, sedangkan pasukan musuh sangat banyak dan kuat, kemudian diasumsikan bahwa jika perang tetap dilanjutkan, maka pasti akan menyebabkan kekalahan. Dengan demikian, perang lebih baik digagalkan untuk menjaga nyawa.

Baca Juga  [Review Film] On Friday Noon: Agama, Seksualitas, dan Waria

Jika dikaitkan pada kondisi pekerja swasta atau pedagang harian, maka perlu dilihat dengan jeli. Mana di antara dua ancaman tersebut (Covid-19 dan tidak punya uang) yang sangat mungkin mendatangkan mudarat terbesar. Agar lebih jelas bisa dibagi dalam dua keadaan:

Pertama, jika dia tetap bekerja, maka dia akan mendapatkan uang sehingga ancaman “tidak punya uang” atau “tidak bisa makan” bisa terhindar. Lantas, bagaimana dengan ancaman Covid-19? Selama belum diterapkan lock down oleh pemerintah, maka dia bisa keluar rumah untuk bekerja dan berdagang dengan tingkat kewaspadaan tinggi dengan mengikuti anjuran atau protokal keamanan sesuai arahan ahli kesehatan, seperti melakukan physical distancing, rutin cuci tangan tangan, olah raga dan istirahat yang cukup.

Hal ini dilakukan karena sesuai dengan kaidah Fiqh:

 الدفع أولى من الرفع

Artinya: mencegah lebih baik dari mengobati

Jika protokol keamaan dan anjuran pemerintah dilaksanakan, maka dia boleh tetap bekerja di luar rumah dengan penuh kewaspadaan. Hal ini karena ancaman tidak punya uang dan tidak bisa makan lebih nyata dari pada ancaman Covid-19. Dalam kajian maqasid al-shari‘ah, ini merupakan bentuk dari hifz al-nafs (menjaga jiwa).

Kedua, bagaimana jika dia tidak bekerja karena ancaman Covid-19 sangat nyata dan sulit dihindari? Menurut beberapa informasi, virus ini adalah virus baru yang belum dikenal secara detail terkait keberadaan dan sifat-sifatnya, dan yang pasti, penyebarannya sangat cepat.

Ini bisa menjadi pilihan bagi pekerja swasta atau pedagang harian sebagai salah satu bentuk nyata agar terhindar dari penyakit, khususnya Covid-19. Dalam kaidah fikih dijelaskan:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Artinya: menolak mafsadah atau bahaya lebih diutamakan dari pada mendatangkan maslahat.

Baca Juga  Azerbaijan: Negara Mayoritas Muslim yang Ramadannya Biasa-biasa Saja

Pada konsteks ini, bahaya yang harus dihindarkan adalah berada di luar rumah karena dihawatirkan tertular atau menulari Covid-19, sedangkan menarik kemaslahatan adalah bekerja atau berdagang untuk mendapatkan uang. Berdasar kaidah di atas, maka berada di rumah lebih didahulukan dan diutamakan dari pada berada di luar rumah untuk bekerja.

Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari? Inilah yang harus dipikirkan. Tentu ada banyak hal yang bisa dilakukan. Di antaranya adalah:

Pertama, untuk diri sendiri, mulailah bekerja atau berwirausaha dari rumah, seperti berjualan secara online. Saya kira banyak tawaran-tawaran jualan online yang bisa dilakukan pada masa sekarang. Bagaimana jika gaptek (gagap teknologi)? Ya, teruslah belajar. Karena ini kondisi darurat, maka teruslah belajar secara mandiri atau minta bantuan kepada orang lain.

Kedua, untuk tetangga dan teman-temannya, inilah saatnya menerapkan ajaran filantropi Islam, yaitu dengan bersedekah makan, uang, kebutuhan sehari-hari, atau apapun yang bisa membantu tetangga kita selama masa pandemi Covid-19 ini. Bisa juga membantu mereka untuk menghasilkan uang dari rumah, bisnis online, atau lainnya.

Ketiga, bagi umat Islam secara umum, mari kita galang donasi, kuatkan ikatan persatuan kita untuk membantu sesama. Sudah ada beberpa gerakan donasi yang dilakukan perorangan atau lembaga, ini sungguh menggembirakan.

Keempat, bagi Pemerintah, inilah waktu yang sangat tepat untuk merealisasikan janji kampanye. Bantulah masyarakat, terutama untuk kebutuhan mereka sehari-hari mereka selama wabah ini melanda. [FYI, MZ]

Holilurrohman Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *