Sebelumnya: Ben Anderson, Krisis dan Redupnya… (1)
Dalam kaitan ini, Tokoh nasional/ekonom senior Rizal Ramli (RR) mengingatkan, kalau Sri Mulyani meminta bantuan IMF untuk mengatasi utang luar negeri, harus siap-siap nanti seluruh kebijakan ekonomi Indonesia akan diatur dan dikendalikan lagi oleh IMF seperti tàhun 1998. Bahkan kehadiran IMF ini bakal jadi krisis multidimensi dan bisa memicu lengsernya Presiden Jokowi karena,’’ kata RR, Menko Ekuin Presiden Gus Dur.
RR menilai perekonomian Indonesia akan semakin hancur, seperti tahun 1998 kalau pemerintah Jokowi undang IMF kemari. Rizal Ramli (sahabat Jokowi) kembali mengingatkan sejarah hubungan Indonesia dengan IMF khususnya tahun 1998. “Saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia,” kata RR, aktivis pergerakan jebolan ITB.
“Sebab Kejatuhan Presiden Soeharto bulan Mei 1998, juga dipicu oleh kebijakan ekonomi IMF yang harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia waktu itu dengan dampak krisis multidimensi,” kata RR.
Ekonom Rizal Ramli (RR) mengkritik keras langkah Menkeu Sri Mulyani itu. Menko Ekuin Presiden Gus Dur yakni Rizal Ramli (RR) menilai langkah tersebut justru bisa membawa Indonesia masuk ke dalam jurang krisis yang lebih dalam lagi. Bahkan Mantan Menko Maritim ini menyebut Sri Mulyani sebagai Sales Promotion Girl (SPG) IMF. “Dasar SPG Bank Dunia/IMF,” kata Rizal Ramli Sabtu (17/4/2021).
Oleh sebab itu, Jokowi harus mawas diri dan tidak boleh terlalu pede (percaya diri) sebab kabinetnya terbukti kabinet politik, jeblok kinerjanya dan anjlok legitimasinya. Kabinetnya bukan zaken cabinet, bukan kabinet professional, namun kabinet transaksional yang lembek dan dikendalikan oleh oligarkisme dan feodalisme.
Sungguh, Indonesia mengalami kemerosotan di berbagai bidang, mulai dari meluasnya korupsi, ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, demokrasi yang dibajak oligarki/pemodal dan otoritarianisme, penegakan hukum diskriminatif, hingga menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta kerusakan sosial.
Seingat saya, Ben Anderson, juga sejarawan G. Mudjanto dan Soemarsaid Murtono memiliki benang merah pandangan bahwa, dalam kekuasaan Jawa, penting adanya darma (bakti), mulat yaitu sikap mawas dan waspada, amilala, yaitu sanggup memelihara dengan baik, amiluta, yaitu berbuat (baik) supaya orang lain suka padanya, miladharma, yakni melaksanakan darma untuk mencapai kesejahteraan batin, dan parimarma, yaitu memiliki rasa belas kasih dan suka memaafkan.
Kalau kekuasaan elite penguasa dijalankan dengan dusta dan kebohongan, hipokrit dan pura-pura antikorupsi, serta menyalahi prinsip-prinsip darma, maka penguasa/elite itu dikelompokkan pada tingkat nista, rendah, dan hina.
Sejauh mana elite penguasa kini menilai diri sendiri dan introspeksi? Sadarkah bahwa otoriterisme bersemi kembali? Ben Anderson sangat membenci dehumanisasi dan kebohongan/khianat/kekejian elite penguasa pada rakyat yang underdog, yang sangat berharap pada raja/elite penguasa untuk perbaikan nasib mereka, namun malah diceburkan ke dalam kesengsaraan.
Namun demikian, penulis menekankan kembali, bahwa Jokowi harus kita ingatkan lagi bahwa civil society (intelektual dan profesional), selalu membuka pintu untuk dialog dan kerjasama yang sehat dalam membangun rakyat agar tidak terjadi lagi krisis multidimensi tahun 1998 yang diwarnai anarkisme.
Ben Anderson tidak percaya politisi transaksional, melainkan justru percaya pada intelektual yang punya integritas, rekam jejak dan pikiran waras. Tokoh gerakan mahasiswa 1974 (Malari) Hariman Siregar dan tokoh gerakan mahasiswa 1978 (Buku Putih ITB) Rizal Ramli merupakan sosok yang bisa diajak bicara mencari solusi kemelut corona dan krisis ekonomi kini.
Hariman dan Rizal bahkan yakin, kalau Negara minta tolong rakyat dan para elite penguasa berjiwa kemartiran/berkorban demi rakyat maka seluruh rakyat berbondong membantu pemerintah mengatasi krisis/masalah dengan nasionalisme kerakyatan yang ada.
Saya ingat kata-kata Om Ben, “Soekarno-Hatta dan pendiri bangsa lainnya, mereka rela berkorban, mereka dulu meminta tolong rakyat, maka rakyat berbondong menyokong mereka, hidup atau mati, berkorban demi masa depan Indonesia, itu luar biasa,” kata Ben Anderson. Dulu rakyat dukung Soekarno-Hatta untuk merdeka, tapi kini? Kini pun rakyat siap sedia kalau pemimpin dan elite penguasa rela berkorban/martirdom.
Itulah hikmah dari obrolan penulis dengan Om Ben Anderson tahun 1994 soal kekuasaan elite Jawa dan segenap konsekuensi maupun implikasinya, dengan asa untuk antisipasi agar redupnya kuasa Jawa tidak membawa petaka bagi bangsa. Marilah kita berjuang tanpa kebencian. Walahualambissawab.