Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina

Mengenal Molenbeek, Brussel, sebagai sarang teroris (2)

3 min read

Sebelumnya: Mengenal Molenbeek, Brussel,… (1)

Molenbeek Brussels dan Bangkitnya  Radikalisme Muslim

Memasuki Stasiun Sentral, Brussels, saya melihat musim dingin mengaum. Kehidupan sosial Brussels sebagai ibukota Uni Eropa, terjaga, damai dan nyaman. Namun jangan terlena dulu, Belgia telah menjadi sorotan internasional setelah serangan teroris di Paris, London, Madrid  dan Brussels.  Bagaimana negara kecil semacam itu menjadi sarang ekstremisme (hotbed for extremism) di jantung Eropa?

Saya menyusuri liku-liku Molenbeek, sarang radikalisme di Brussels dan berdialog dengan beberapa Muslim di kawasan ini, yang mengungkapkan bahwa  para pemuda Islam di perkampungan itu terus dipantau setelah serangkaian serangan teroris yang bersarang di Molenbeek. “Anak-anak muda Muslim dari Maroko, Turki, Suriah dan Mediteran lainnya yang revivalis atau radikalis di Molenbeek kini pantas dalam pantauan aparat keamanan,” ungkap  Robert Spencer, analis dari Jihad Watch di Brussels, kemarin.

“Molenbeek dalam sorotan para intelijen Uni Eropa, ” kata Gilles Kepel, pakar Islam Perancis yang  mengkaji fenomena Muslim Molenbeek beberapa tahun terakhir.

Brussels, dimana perkampungan Muslim Molenbeek  terbentang di ibukota Uni Eropa itu, menjadi  populer di Eropa karena para Muslimnya menjadi aktor terorisme dengan jejaring rumit dan berkelitkelindan  dari Eropa sampai  Timur Tengah.

Seorang diplomat Asia menuturkan pada saya bahwa  kini sebagian besar warga  ‘’negeri pembuat  coklat ternikmat’’ yang damai itu menyimpan ‘’kecurigaan’’ kepada kaum Muslim karena terorisme kelompok jaringan Molenbeek  yang merambah kemana-mana. Bahkan Molenbeek disebut sebagai  sarang  terrorisme di Eropa.

Dan jangan lupa, Kaum Muslim Belgia itu bagian dari 15 juta Muslim yang sekarang tinggal di Uni Eropa, mewakili 3% dari total populasi, merupakan agama minoritas terbesar di wilayah tersebut dan juga diaspora Islam terbesar di dunia.

Molenbeek juga merupakan kawasan terpadat di Brussels yang disesaki 95.000 orang, atau dua kali lipat dari kawasan lain di Brussels. Molenbeek adalah distrik kelas pekerja dan sejak lama distrik ini identik dengan kemiskinan dan kriminalitas di ibu kota Uni Eropa itu. Bagi warga Brussels, bukan hal yang aneh kalau  warga Molenbeek terlibat dalam berbagai kejahatan seperti penodongan, narkotika hingga perampokan. Bahkan dua serangan teror terakhir di Paris yaitu penembakan kantor majalah Charlie Hebdo dan serangan yang gagal terhadap kereta cepat Thalys, juga melibatkan warga Molenbeek. Seram juga.

Baca Juga  Praktik Syukur, Kunci Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup

Belgia, negara dengan luas 30.528 kilometer persegi dengan penduduk 11 juta jiwa, merupakan negara yang makmur dengan pendapatan per kapita mencapai lebih dari 43.000 dollar AS per tahun. Pada awal 2012, sekitar 25 persen warga Belgia adalah mereka yang memiliki latar belakang dan keturunan asing. Kalau kita periksa rinci, maka 1,2 juta orang adalah keturunan Eropa dan 1,35 juta adalah keturunan negara non-Eropa, sebagian besar berasal dari Maroko, Turki dan Republik Demokratik Kongo.

Sejak undang-undang kewarganegaraan Belgia direvisi pada 1983, hingga saat ini sudah 1,3 juta migran menerima status sebagai warga negara Belgia. Kelompok terbesar imigran yang kini beranak pinak di Belgia berasal dari Maroko, dengan jumlah lebih dari 450.000 orang. Dari sisi keagamaan, meski mayoritas penduduk Belgia memeluk Katolik, namun kerajaan ini adalah negara sekuler.

Semua agama bebas berkembang di negeri itu. Di Belgia kini 6 persen penduduknya atau sekitar 628 ribu jiwa memeluk Islam, mayoritas adalah warga keturunan Maroko. Kaum Muslim Belgia kebanyakan tinggal di kota-kota besar seperti Brussels, Antwerp, dan Charleroi.  Citra Muslim Belgia dirobek oleh aksi terorisme yang membuat mereka menjadi sasaran kecurigaan publik, bahkan sebagian warga Belgia melihat  ekstremis Muslim itu sebagai sumber malapetaka Belgia dan Eropa.

Dewasa ini Islam politik dan Muslim militan ini hanya mewakili minoritas Muslim di Brussels, juga di Eropa, tetapi kapasitasnya untuk mobilisasi dan penyebaran wacana untuk membela Islam sering melampaui lingkaran militan regulernya. Islam inilah yang paling menarik perhatian para pembuat kebijakan di Belgia dan Eropa ketika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan radikalisasi, pelembagaan Islam, adaptasi yuridis kode-kode Islam dan pembelaan hak kewarganegaraan bagi minoritas Muslim.

Baca Juga  Catatan Perjalanan di Kampung Loloan Bali: Tentang Harmoni dan Moderasi

Betapa tidak, Masyarakat Eropa umumnya masih mengidap memori kolektif  mengenai serangan/pengeboman teroris  di Brussels, Paris, London dan Madrid Spanyol yang kini jadi mimpi buruk lanjutan  dari serangkaian serangan teroris di Eropa Barat dalam beberapa tahun terakhir. Dan jejaring  para actor teroris yang menyerang Brussels, Paris, London, Jerman dan Spanyol itu ternyata berdomisili di Molenbeek. Tidak percaya? Itulah sebagian dari hasil kajian penulis yang diperkuat oleh riset para ahli dan akademisi di Belgia dan Uni Eropa.

Merujuk pandangan ahli terorisme Claude Moniquet, bahwa Molenbeek yang berlokasi di pinggiran kota Brussel, Belgia, merupakan sarang para ektremis berjubah agama dan merupakan kawasan imigran ‘’kumuh’’ yang banyak dijadikan tempat tinggal ektremis yang mendukung perang di Aljazair, Afghanistan, Bosnia, Suriah dan Irak selama beberapa dekade.

Meski  bukan satu-satunya di Belgia dan Eropa, tetapi kawasan  itu merupakan sarang untuk ektremis dan pemerintah tak punya control atas wilayah itu sampai kurun 2016 (Toronto Star.,15/11/16)

Belgia secara keseluruhan telah melahirkan hampir 500 ektremis untuk Suriah dan Irak dari total penduduknya yang hanya 11 juta orang. Menurut layanan keamanan setempat, ini merupakan angka tertinggi per kapita di Uni Eropa. Molenbeek sebagian besar dihuni oleh imigran dari dunia Arab yang tersandung kasus kekerasan.

Lalu, siapa sajakah yang pernah tinggal di Molenbeek? Ada Amedy Coulibaly, yang terlibat dalam serangan mematikan di sebuah supermarket milik Yahudi pada  Januari 2016. Ia dikabarkan membeli senjata di Molenbeek seperti yang dilakukan Mehdi Nemmouche. Nemmouche adalah seorang warga Prancis keturunan Arab/Maroko yang menargetkan Museum Yahudi Belgia pada 2014 dan menewaskan empat orang. Ada pula Ayoub El Khazzani dari Maroko.

Baca Juga  Banyak Belajar dari Orientalis

Namun ia berhasil digagalkan atas usahanya menyerang penumpang dalam kereta api berkecepatan tinggi yang hendak bepergian ke Paris dari Amsterdam. ( Toronto Star 15/11/16 dan Republika,16/11/2016).

Molenbeek yang dulunya daerah industri berat, sekarang pemukiman warga kelas menengah bawah. Tercatat memiliki pendapatan terendah kedua seantero Belgia, sepertiga populasi Molenbeek pengangguran dan 40 persen kaum pemuda tidak bekerja. Kemiskinan di distrik ini pun dianggap mendarah daging, diwariskan dari generasi ke generasi. 80 persen warganya muslim, mayoritas asal Maroko yang umumnya berbahasa Prancis.

Molenbeek juga ‘’dipaksa’’ mendapat julukan ‘sarang (breeding ground) teroris’. Karena  dari sini asal muasal kejadian bom Paris pada November 2015 serta ledakan bom di bandara dan stasiun metro Brussels pada Maret 2016. Sejumlah pelaku pemboman teridentifikasi sebagai warga negara Belgia yang tinggal di distrik ini.

Perdana Menteri Belgia saat itu, Charles Michel bahkan menyebut bahwa hampir setiap kali ada aksi terror, ada jaringan yang berkaitan dengan Molenbeek. Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahkan menimbulkan kontroversi setelah menyebut Brussels sebagai “hellhole” (lubang neraka) akibat kejadian ini. (Allessandro Bernama, Kumparan.com,7 Maret 2020)

Merekalah kaum Muslim Molenbeek  Brussels, yang menurut akademisi Oliver Roy, telah mengalami ‘’kekosongan identitas dan dekulturasi’’ sehingga bertindak ekstrem yang menakutkan dan menelan korban jiwa.

Demikianlah catatan kecil saya atas perjalanan ke Brussels, Belgia (selain ke Amsterdam, Paris dan Frankfurt),  berkat dorongan/tangan dingin  tokoh bangsa Dr Rizal Ramli (Menko Ekuin Presiden Gus Dur) dan Kedubes Belanda di Jakarta,  semoga bermanfaat bagi pembaca. (mmsm)

Herdi Sahrasad Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina