Sebelumnya: Mengenal Yap Thiem Hien… (2)
Thiam Hien adalah pendekar hukum yang kredibel, tangguh dan sangat kaya dedikasi. Ia memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu. Ia juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Dan Lev menguraikan dengan runtut, jeli dan mendalam bagaimana pada era Bung Karno, Thiam Hien terus bersikap berani dan tegar. Misalnya, ia menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.
Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa G30S PKI , Thiam Hien yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Bahkan ia bersama H.J.C Princen, Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan tergabung dalam Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966 dan sekaligus mewakili Amnesty International di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.
Thiam Hien telah membuktikan nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang. Ini dibuktikannya dengan tidak mengganti nama Tionghoa yang ia sandang sampai akhir hayatnya, walaupun ada himbauan atau tekanan dari pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka.
Thiam Hien juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaannya yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung dan kesal. Ia juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.
Di era Orde Baru pula, dalam Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, ia juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis mahasiswa generasi Hariman Siregar ini. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Thiam Hien maju ke depan membela para tersangka.
Dengan melihat rekam jejaknya yang luar biasa, saya lebih suka menyebutnya’’ Pendekar HAM sekaligus Bapak Pembela HAM’’ di Indonesia yang paling mumpuni.
Membaca buku Dan Lev mengenai Yap Thiam Hien ini, Insya Allah, niscaya mendorong para aktivis, mahasiswa, intelektual dan masyarakat yang perduli, terinspirasi, termotivasi dan berani melanjutkan cita-cita dan gagasan Thiam Hien bagi terwujudnya Negara Hukum/Negara Keadilan dan Indonesia yang lebih baik, yang bebas dari korupsi, diskriminasi, represi, rasisme dan ketidakadilan.
Saya mengapresiasi penilaian Prof Laurie Sears (Indonesianis/Sejarawati Univ.Washington) atas karya Dan Lev mengenai transformasi sosok Thiam Hien dari masa kanak sampai menjadi tokoh advokat, pejuang HAM dan politik ini, yang dikatakannya ditulis dengan pengetahuan, kearifan, nilai-nilai dan spirit yang mendalam, yang membuat pembaca enggan berhenti sebelum selesai membaca buku ini.
Sebagai catatan tambahan, Dan Lev di era reformasi telah mengungkapkan bahwa sejak presiden Soeharto meletakkan jabatan hampir empat tahun yang lalu, sudah muncul presiden baru. Semua menjanjiakan perbaikan atas proses hukum. Di luar pemerintah, dalam suasana yang makin penuh konflik, kekerasan, pembunuhan, dan kejengkelan, banyak warga negara ikut berpandangan bahwa negara hukum merupakan sine qua no.
Dan Lev menegaskan bahwa kondisi itu sine qua non karena, tanpa proses hokum yang efektif, tidak mungkin diharapkan perbaikan ekonomi, politik, kehidupan social dan keadilan. Ternyata, cara pemerintah Demokrasi terpimpin dan Orde Baru selama 40 tahun merupakan bencana untuk negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan negara jadi babak belur, penuh korupsi, penyalah gunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, tanpa lembaga-lembaga negara yang dapat dipercayai, termasuk, pengadilan, kejaksaan, dan polisi.
Anehnya, ungkap Dan Lev, walaupun semua kalangan bersepakat bahwa sistem hukum perlu diperhatikan betul, belum ada kemajuan yang banyak menuju negara hukum. Pada tahun 2001, seperti tahun-tahun sebelumnya, ada janji dan beberapa langkah diseputar soal hukum. Undang-undang perlu diloloskan, RUU dipertimbangkan, lembaga-lembaga baru dibentuk, dua presiden mengimbau supaya hakim, jaksa, dan polisi bertindak semestinya, dan seterusnya. Tetapi belum terlihat perubahan fundamental.
Selain pendobrakan sedikit pada Mahkamah Agung – penting tapi masih terlalu sedikit, dan tampaknya macet disitu – pengadilan, kejaksaan, dan polisi tidak jauh berbeda dengan empat tahun lalu. Diluar pemerintah ada sejumlah advokat yang mampu sekali, dan ada juga yang turut aktif senagai reformis, tapi profesinya berantakan, dibagi antar beberapa asosiasi yang belum tentu tahu jumlah anggotanya yang tidak mampu mengawasi korupsinya. Menurut Dan Lev, amat sedikit orang yang percaya pada proses reformasi hukum, dan sinisme warga makin luas di Indonesia karena kekuasaan menundukkan hukum itu sendiri.
Dalam International Lecture dengan tema “Judges, Courts and Legal Culture in Indonesia: The Legacy of Daniel S Lev”, Jum’at (13/7/18) di Jakarta, akademisi australia Melissa Crouch mencatat bahwa Pemikiran Daniel S. Lev terkait budaya hukum. Daniel S. Lev berpendapat bahwa budaya hukum adalah nilai-nilai, baik prosedural maupun substantive, yang mendasari hukum dan prosesnya.
Dalam kaitannya dengan politik, Daniel S. Lev berpandangan bahwa sistem dan proses hukum tidak dapat lepas dari pemahaman perihal struktur politik, ideologi, kepentingan dan konflik yang dihadapi oleh kepemimpinan politik yang tengah berkuasa, dan memiliki kontrol terhadap sistem dan proses hukum yang ada.( Melissa Crouch, pengajar senior di Fakultas Hukum, University of New South Wales, Sydney,2018)
Dan Lev terpukau dengan dinamika politik dan hiruk pikuknya di Indonesia. Pada tahun 1959, Dan Lev mengajak istrinya untuk mengunjungi Indonesia. Perjalanan laut menuju ke Indonesia itu ditempuh dalam waktu 28 hari dengan menggunakan kapal barang milik Denmark, tutur Arlene. Di Indonesia mereka menetap selama tiga tahun. Pengalaman hidup di Indonesia itulah yang akhirnya membuat Dan Lev lancar berbahasa Indonesia.
Sekembalinya dari Indonesia pada tahun 1970, Dan Lev mengajar di Unversitas California di Berkeley selama lima tahun. Namun karena pendirian kerasnya yang menentang perang Vietnam kala itu membuat Dan Lev kehilangan pekerjaannya di Unversitas California di Berkeley yang sangat bergengsi tersebut.
Setelah itu Dan Lev pindah mengajar di Universitas Washington, Seattle, hingga pensiun tahun 1999. “Kalau sudah berbicara politik Indonesia, Dan Lev bisa sampai pagi sambil ditemani kopi dan rokok,” kata Ir.Cipung Noer, warga Indonesia yang sudah 12 tahun menetap di Seattle dan mengenal Dan Lev dengan baik.
Setelah pensiun dari Universitas Washington, Dan Lev melanjutkan mengajar di Universitas Leiden, Belanda, dan Harvard Law School. Di kedua universitas itu Dan Lev mengajar studi hukum Asia Tenggara dan HAM. Sebelum meninggal dunia, Daniel Lev menyumbangkan sebagian koleksi buku-buku hukum dan manuskripnya ke Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) di Jakarta. Sementara sisanya lagi, menurut istrinya, Arlene Lev, disumbangkan ke Universitas Washington.
M Faisal, seorang jurnalis, mencatat bahwa berbicara tentang Dan Lev adalah berbicara mengenai seorang Indonesianis yang hebat, gigih, total, dan berkomitmen besar dalam mengupayakan perubahan—mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dan Lev telah melakukan hal itu karena satu faktor yang jelas: ia mencintai bangsa dan negara Indonesia seperti ia mencintai tempat lahirnya sendiri.
Para aktivis, jurnalis dan inteligensia kita sebagian mengenal Dan Lev sebagai sosok luar biasa hebat dalam mempromosikan Indonesia di Amerika, melebihi orang Indonesia sendiri. Dan Lev dan keluarganya juga sangat akrab dengan masyarakat Indonesia di Seattle, termasuk dengan mahasiswa. Demikianlah patahan memori yang kuingat, semoga catatan kecil ini bermakna. (mmsm)
UW Seattle 2012 – Paramadina 2021