Kita sering sekali membaca framing dan propaganda Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahwa Taqiyyuddin An Nabhani, tokoh pendiri kelompok Hizbut Tahrir (HT), adalah lulusan al-Azhar dan diapresiasi pula kontribusi pemikiran politiknya oleh al-Azhar.
Lantas, kita bertanya: apa buktinya?
Mereka biasa mengirim bagian atas foto ini yang menunjukkan bahwa biografi pendiri HT ada dalam memoar al-Azhar.
Saya berusaha mencari, tapi tidak dapat di memoar al-Azhar. Hanya dapat foto ini di link milik HT.
Anggaplah klaim itu benar bahwa biografi sang pendiri ada di memoar al-Azhar. Apakah ini berarti diri sang pendiri adalah insan terbaik dan semua pemikirannya diterima oleh al-Azhar dan umat Islam?
Keberadaan seorang dalam catatan salah satu “lulusan al-Azhar” hanya menunjukkan bahwa sang mantan santri adalah satu insan yang dikenal di tengah umat sebagai seorang yang berkarya. Namun tidak berarti semua karya dan segenap kontribusinya dapat diterima al-Azhar.
Seperti yang tertulis dalam foto ini bahwa “Syekh Pejuang” karena memang ikut berjuang.
Dituliskan bahwa seusai lulus al-Azhar Taqiyyuddin An Nabhani mengajar di departemen pendidikan, kemudian ia pindah untuk bekerja di pengadilan. Setelah itu, ia menjabat dari posisi ke tingkat yang lebih tinggi sampai mengundurkan diri pada tahun 1950 M. Pada tahun 1953, ia mengajar pada SMA di Oman sampai mengundurkan diri pada tahun 1953. Di tahun yang sama, ia menginisiasi partai HT yang membuat pemikiran-pemikirannya tersebar luas, namun usahanya tidak diterima pemerintah, sehingga dia terpaksa bersembunyi sampai meninggal tahun 1978.
Taqiyyuddin An Nabhani meninggalkan sejumlah karya yang membahas agama, sosial dan politik, juga buletin-buletin pemikiran, politik, dan ekonomi. Itu saja.
Lantas, dengan kontribusi tersebut serta keinginan mendirikan khilafah, apakah al-Azhar memuji dan mengapresiasi semua produk pemikirannya?
Kalau hitungan pengakuan tentu yang lebih spektakuler adalah pengakuan al-Azhar pada figur Prof. Dr. Habib Muhammad Quraisy Shihab yang diberi penghargaan dari al-Azhar. Lantas dengan begitu, apakah HTI juga akan ikut memuji Habib Quraisy mengingat ia juga sealmamater dengan Taqiyyudin An Nabhani?
Secara umum, hal yang perlu disadari bahwa kedudukan kita sebagai lulusan al-Azhar tidak membawa nama al-Azhar kecuali dalam ranah yang diakui/diusung langsung oleh al-Azhar.
Sesungguhnya, al-Azhar mengusung akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, bermazhab fiqh empat, dan bertasawuf.
Selama ilmu yang disebarkan sang lulusan tidak menyimpang, ya berarti misi itu Azhari. That’s it. Ilmu yang tidak sesuai, berarti ilmu itu tidak Azhari.
Nah, apakah tokoh pendiri HT itu dan para pengikutnya mengusung manhaj (metode) al-Azhar atau tidak Kenyataannya tidak. Mereka bahkan mencaci-maki al-Azhar dan metodenya. Ibaratnya, mereka sendiri yang menganggap al-Azhar tidak benar.
Keberadaan tokoh HT—kalau benar di memoar al-Azhar—menunjukkan bahwa al-Azhar tetap mencatat sang pendiri sebagai lulusan al-Azhar yang jika ada misinya sesuai al-Azhar berarti mungkin didapatnya dari belajar di al-Azhar. Dalam konteks ini, al-Azhar mengakui bahwa sang pemuja khilafah itu pernah sekolah di al-Azhar.
Ibaratnya “kita tidak mengkafirkan seseorang muslim pun, meskipun orang itu mengkafirkan kita”.
Jadi, kita adalah Azhari selama misi kita sesuai dengan misi al-Azhar.
Itu berlaku pada semua kita yang masih berstatus siswa, mahasiswa, alumni, dosen, bahkan guru besarnya.
Lalu siapakah yang bisa mewakili nama al-Azhar dalam sikap yang diambilnya dalam berbagai masalah umat?
Mereka adalah para anggota Hay’ah Kibār Ulamā’ al-Azhar. Mereka lah yang dianggap sudah mapan dan bisa mewakili nama al-Azhar.
Diakui lulus al-Azhar tidak berarti seseorang itu Azhari murni yang diamini semua sikap dan pemikirannya. Sedangkan manhaj sama sekali tidak diakui al-Azhar. Sangat tidak mungkin al-Azhar mengakui manhaj takfīrī.
Manhaj HT pernah disebut sebagai manhaj terbodoh. Bayangkan saja, mereka mengaku bahwa mereka bisa membangun khilafah dalam 23 tahun, merujuk periode Makkah 13 tahun dan periode Madinah 10 tahun. Pasca-berlalu 23 tahun dakwah mereka, apakah khilafah sudah jadi? Mereka katakan: “kita ulang usaha 23 tahun lagi”.
Sekarang sudah 23 tahun ke berapa? Atau memang setia 23 tahun untuk selamanya?!.
Disebutkan pula dalam satu sumber online toraseyat.com bahwa sebelum membangun HT, Taqiyuddin sempat membuat Yayasan al-I’tisham, di sana dia menolak siapapun dari anggota IM (Ikhwanul Muslimin/IM) untuk berkerja di sana”. Yang mengherankan , para kader IM Indonesia begitu semangat membela HTI. [MZ]