Salah satu manfaat group whatsapp (WAG) adalah untuk diskusi tema-tema ringan hingga materi berat yang harus dijawab dengan membuka buku rujukan. Suatu waktu, saya terlibat diskusi intens di WAG dengan Lukman Hakim Saifuddin (LHS), Menteri Agama RI 2014 – 2019. Salah satu pertanyaan trigger yang menjadi alasan tulisan ini adalah: mengapa warga di Nusantara menjadi bangsa Muslim? Apa yang menyebabkan Hindu dan Buddha kini tak lagi berjaya sebagaimana di era Sriwijaya dan Majapahit?
Pertanyaan tersebut saya kongkritkan menjadi begini, “Mengapa Indonesia hari ini menjadi bangsa (dengan mayoritas) Muslim. Padahal jauh sebelum Islam masuk ke wilayah ini sudah ratusan tahun bercokol agama Hindu dan Budha dengan imperium kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang menguasai wilayah lebih luas daripada Indonesia?”.
Jawaban atas pertanyaan di atas dimulai dengan pernyataan bahwa Islam Indonesia adalah sejarah panjang pertumbuhan dan perkembangan di wilayah yang dahulu dikenal dengan sebutan Dwipantara, Nuswantara, Nusantara, lalu menjadi wilayah Asia Tenggara yang berbicara dalam lingua franca bahasa Melayu. Sebagian besar wilayah itu kemudian menjadi Indonesia seperti yang kita kenal hari ini.
Kalau penanggalan ini disepakati, titimangsa abad ke-12/ke-13 dimana Islam tumbuh lalu berkembang di Samudera Pasai, meluas ke Semenanjung Malaya dan Aceh, lantas menyebar ke seluruh kepulauan Melayu/Sumatera (Swarnadwipa), Jawa (Javadwipa), Maluku (Molucas), Sulawesi (Celebes), Kalimantan (Borneo), dan Nusa Tenggara. Di wilayah-wilayah ini Islam berkembang secara bertahap dan melibatkan banyak unsur sosial, budaya, tokoh, pranata sosial, dan lembaga hingga akhirnya terbentuk kekuasaan politik dengan berdirinya kerajaan Islam di Peurelak, Pasai, Malaka, Demak, Aceh Darussalam, Mataram, Cirebon, Banten, Banjar, Gowa Makassar, Ternate, Tidore, Buton, Bima, Palembang, Madura, Johor, Kedah, Indragiri Riau hingga Raja Ampat di Papua.
Ada pandangan pakar dan peneliti Indonesia yang menyatakan, Nusantara menjadi bangsa Muslim karena nilai-nilai yang diajarkan Islam lebih cocok dan sesuai dengan pandangan hidup yang berlaku di mayoritas masyarakat lokal. Misalnya etos dagang, tauhid, egalitarianisme (kesamaan hak dan kesetaraan), toleransi, dan moderasi. Etos dagang sejatinya telah tumbuh dan berkembang di kepulauan Nusantara, lalu mengalami penyesuaian beriringan dengan proses islamisasi yang berbasis pada pusat-pusat perdagangan di pelabuhan Nusantara. Penyebaran Islam yang dimulai dari wilayah pesisiran lalu menyebar merata ke berbagai pusat perdagangan Nusantara saat itu seperti Pasai, Aceh, Malaka, Palembang, Tuban, Gresik-Surabaya, Caruban/Cirebon, Gowa Makassar, Buton, Banten, dan Sunda Kalapa.
Banyak laporan penelitian yang menyebutkan tradisi dagang menjadi ciri khas masyarakat Muslim pesisiran yang menjadi locus penting penyebaran Islam di Nusantara. Teori yang menyebut bahwa pedagang asing dari mancanegara seperti India, Gujarat, Persia, Arab dan Cina sebagai penyebar Islam awal di Nusantara menunjukkan korelasi positif antara etos dagang dan nilai Islam (yang memuliakan kedudukan pedagang dan perdagangan). Interaksi yang intensif para pedagang Muslim dengan masyarakat lokal itu pada saatnya memunculkan apa yang oleh Nur Syam (2015) disebut “budaya adaptif” yang menjadi ciri khas masyarakat Muslim pesisiran. Etos dagang dan egalitarianisme antar penduduk maupun pendatang terjalin sedemikian rupa berkelindan lama sekali dan menjadi cikal bakal komunitas Muslim dengan nilai baru yang berorientasi pada Islam.
Penyebar Islam di Nusantara tidak hanya didominasi oleh pedagang, tetapi juga ulama/wali, sufi pengembara (faqir), raja-raja pribumi (sultan), pemimpin tarekat, seniman, sastrawan-budayawan, tabib, guru, dai, pengarang, dan lain-lain. Dalam jangka waktu yang lama, mereka memainkan peranan dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara. Makanya pranata keagamaan berkembang beriringan dengan pranata sosial-budaya dan politik. Hampir semua keraton memiliki peran islamisasi yang luar biasa dengan aktor utama sultan dan ulama (sebagai qadhi, penasehat, mufti). Ordo sufi yakni tarekat seperti Qādirīyah, Naqshabandīyah, Tijānīyah, ‘Alawīyah, Khalwatīyah, Rifāīyah, Syattarīyah, Syādzilīyah, dan Idrīsīyah berkembang pesat di Nusantara. Syekh-mursyid atau khalīfah-sulūk yang memimpin tarekat ini memiliki jejaring dengan pemimpin tarekat besar di Timur Tengah dan silsilah-nya sampai pada Rasulullah SAW. Peran krusial tarekat pada masa pergolakan melawan Belanda banyak dibahas para peneliti dan menginspirasi banyak gerakan perlawanan rakyat terhadap penjajah (Belanda).
Lembaga pendidikan dengan nama-nama unik sesuai daerah juga bermunculan bak kecambah di musim hujan. Pesantren (Jawa), surau (Minangkabau), meunasah, dayah, rangkang (Aceh), zawiyah (Jambi, Riau), tajug (Cirebon), langgar (Jawa, juga dipakai di Makasar), rumah besak (Banjar), dan nama sejenis. Penulisan kitab oleh ulama Melayu mencapai tingkat yang tinggi di berbagai bidang keilmuan seperti tasawuf, fikih, tafsir, hadis, lughah, falaq/astronomi, tārīkh (babad), dan siyāsah (ilmu pemerintahan). Pada abad 17-19 jaringan ulama Melayu-Nusantara dengan pusat Islam terkemuka Mekah, kemudian Mesir, berjalan sangat intens. Jejaring ini memunculkan poros keulamaan dan poros keilmuan (pusat-pusat keilmuan yang berbasis di atau mengikuti kemunculan kota-kota baru di seluruh Nusantara).
Penggunaan aksara Arab dengan bahasa Melayu yang disebut aksara Jawi atau Arab Pegon menjadi inspirasi munculnya karya-karya sastra dan seni seperti syair, pantun, hikayat, prosa, puisi, gurindam, gending, tembang, arsitektur, seni pentas/wayang, seni musik, kaligrafi, astrologi, pengobatan (primbon), dan sebagainya.
Karya-karya tersebut dalam banyak hal merupakan tradisi baru yang tak berpreseden sama sekali, alias genuine lahir dari dialektika Islam dan budaya Nusantara. Ada juga yang mengikuti tradisi penulisan ulama Islam yang telah berkembang di kekhilafahan Islam (Umayyah, Abbāsīyah, Utsmānīyah, Safawīyah). Namun pengaruh tradisi tulis-menulis yang berkembang di Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan lain di Nusantara juga tak bisa dielakkan. Seperti kita ketahui, masa Majapahit dan kerajaan di Jawa mencatat perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup mengesankan, khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum.
Beberapa karya intelektual yang lahir pada zaman kerajaan Hindu-Budha antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Islam hadir memberi warna pada peradaban Nusantara yang sudah adiluhung dan berada pada puncak-puncak kebudayaan. Bukan sekedar proses adopsi atau adaptasi budaya, tetapi kreasi dan introduksi budaya baru. Salah satu yang menonjol adalah literasi. Anthony H. Johns (profesor emeritus di Division of Pacific and Asian History of the Research School of Asian and Pacific Studies at the Australian National University) menyebut kreasi itu sebagai proses pembahasalokalan (vernakularisasi) keilmuan Islam yang mulai dikenalkan pada akhir abad ke-15 namun intensif pada abad ke-16 M di berbagai wilayah Nusantara. Selain penggunaan aksara Pegon, banyak kata serapan dari bahasa Arab yang telah ditransformasikan dalam bahasa lokal. Di samping itu banyak karya sastra yang lahir di tangan ulama Melayu terinspirasi oleh model-model karya sastra Arab (dan Persia). “Ijtihad kebudayaan” menciptakan aksara Pegon ini ditengarai menjadi penghubung yang penting antara “dunia raja/bangsawan” dan rakyat.
Tradisi pendidikan yang berkembang sebelumnya, pengetahuan itu “elitis”, milik para bangsawan (kaum Brahmana, mpu, atau bhiksu), tidak merembes ke wong alit alias rakyat. Ilmu hanya berkutat di lingkaran keraton dan mandala. Melalui ajaran iqra’, pengetahuan dan literasi dalam Islam adalah milik semua Muslim. Lembaga pendidikan dapat diakses oleh siapapun tanpa ada kelas atau kasta. Praktik nyata di Nusantara, santri (dari kata sashtri, murid di suatu padepokan/mandala) dari manapun latar belakangnya bisa mengaji dengan kitab-kitab standar yang diajarkan kyai di pesantren. Di sini pesantren bertransformasi menjadi semacam landasan demokrasi pendidikan atau pendidikan universal (education for all).
Seluruh pranata yang disebutkan di atas bekerja sangat efektif dan menjadi faktor pendorong terjadinya integrasi yang kelak dinamakan bangsa Indonesia. Hanya dalam masa tiga atau empat abad penyebarannya di Nusantara, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Suatu hal yang mencengangkan, sejak abad ke-16M praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam; agama yang relatif baru dan jauh (peripheral) dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam (Haramain, Mekkah-Madinah). [MZ
–Bersambung–