Benarkah kita ini tidak memiliki rasa kepemilikan sejarah yang kuat? Betulkah kita ini bangsa pelupa sehingga generasi berikutnya tidak tahu kehebatan warisan sejarah bangsa sendiri.
Saya pernah berkunjung ke Lyon dan Paris di Perancis, Amsterdam di Belanda, lalu meneruskan perjalanan ke Milan Italia dan Barcelona. Seperti halnya deskripsi saya tentang Istanbul, sisa-sisa kejayaan dan peradaban, jejak-jejak masa lalu di beberapa kota itu masih terdokumentasi dengan baik dan dapat dinikmati oleh generasi hari ini. Menara Eiffel begitu terkenal sebagai landmark kota Paris berdiri tahun 1889.
Arc de Triomphe atau Gerbang Kemenangan dibangun tahun 1806 untuk memperingati kemenangan Napoleon Bonaparte. Kathedral Notre Dame merupakan bangunan abad ke-12 yang dianggap sebagai contoh terbaik dari gaya arsitektur gothic Perancis.
Di Milan ada Duomo, katedral Gothic terbesar ketiga di Eropa yang dibangun tahun 1386. Sementara Katedral di Jakarta, berhadapan dengan Masjid Istiqlal adalah tinggalan kolonial Belanda. Milan juga punya Galleria Vittorio Emanuele II, tempat perbelanjaan beratap kaca besar berjajar dengan toko-toko mahal, bar, dan restoran yang dibuka pada tahun 1867. Ada La Scala, gedung opera paling terkenal di dunia yang diresmikan pada 3 Agustus 1778, dibawah nama Nuovo Regio Ducal Teatro alla Scala atas karya dari Antonio Salieri.
Selain itu di Milan ada landmark National Museum of Science and Technology Leonardo da Vinci, yakni museum ilmu pengetahuan dan teknologi terbesar di Italia, didedikasikan untuk seorang pelukis ilmuwan asal Italia yaitu Leonardo da Vinci. Tempat ini dibuka pada tanggal 5 Februari 1953.
Paris, Milan, Amsterdam adalah kota-kota tua bersejarah. Sama halnya dengan kota tua di Jakarta (Batavia atau Jayakarta) atau Yogyakarta. Punya nilai sejarah. Padahal dibandingkan dengan kota Amsterdam, Milan atau Paris, Indonesia memiliki bekas peradaban 10 kali lipat. Tapi kenapa sebagian besar jejak peradaban itu hilang tak berbekas? Kota tua di Semarang misalnya adalah warisan kolonial Belanda. Itupun hampir punah dan tak terawat. Untuk saat ini, sesungguhnya bekas-bekas peradaban itu akan menjadi destinasi pariwisata yang mahal dan mendatangkan devisa negara luar biasa. Selain untuk pembelajaran generasi sekarang, sisa-sisa peradaban itu menjadi mata rantai penghubung masa silam, kini dan akan datang.
Lagi-lagi saya membayangkan, andai Kerajaan Aceh Darussalam masa Sultan Iskandar Muda yang digambarkan oleh Danys Lombard, sejarawan asal Perancis, sebagai puncak kejayaan Aceh itu masih ada dan lengkap: bangunan istananya, struktur kerajaannya, sistem sosialnya, kehebatan armada lautnya, kehidupan keagamaannya, kehebatan ulamanya, keadilan Sultan dan Sultanahnya, dan seterusnya. Wow… betapa orang Aceh bisa berbangga kepada dunia seperti kebanggaan orang Perancis terhadap Eiffel dan Notre Dame, atau orang Italia terhadap Duomo, orang Turki dengan Aya Sofia-nya, dan orang Mesir dengan Pyramid atau Universitas Al-Azhar-nya. Lebih dari itu orang Aceh bisa ‘menjual’ dan menjadikan artefak sejarah itu sebagai destinasi wisata dan tempat belajar orang-orang dari seluruh dunia.
Rekonstruksi sejarah Aceh yang gilang gemilang itu tak pernah lengkap kita miliki. Dua tahun lalu saya berkunjung ke IAIN Lhoksemawe sambil menyempatkan ziarah ke makam pendiri Kerajaan Pasai, Sultan Malikus Shalih (atau Marah Silu nama aslinya). Makam itu dikelola seadanya dan jauh dari memadai. Penjaga makam menerangkan riwayat Marah Silu dengan sangat baik meski kerap tercampur antara legenda dan sejarah.
Kesempatan lain saya berkunjung ke Subulussalam dan berziarah ke makam Hamzah Fansuri (ulama terkemuka Aceh, seorang sufi, dan sastrawan Melayu tanpa tanding). Kondisi makamnya terlantar dan dirawat seadanya. Jauh dari kota, berada di kampung di pinggiran sungai yang dulu menjadi urat nadi perekonomian, tapi sekarang sungai besar itu kotor dan penuh lumpur.
Kondisi yang sama terlihat pada makam Syiah Kuala atau yang harum namanya dengan Syekh Abdurrauf As-Sinkili di Banda Aceh. Meskipun makam ini selamat dari terjangan Tsunami Aceh 2004 lalu, saya membayangkan jika kita memiliki kepedulian sejarah yang tinggi, mungkin maqbarah Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh Darussalam masa dua Sultanah ini pasti lebih layak, setidaknya seperti makam Sunan Ampel di Surabaya atau Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Siapa yang menyangkal keulamaan Abdurrauf As-Sinkili dan Hamzah Fansuri, muridnya Syamsuddin al-Sumatrani, atau penggantinya Nuruddin Ar-Raniri. Keempat ulama besar Aceh ini telah meletakkan pondasi keislaman, kemelayuan, dan intelektualitas dunia Melayu dan Indonesia bersama para sultan Aceh, yakni Iskandar Muda (1607-1636), Iskandar Tsani (1636-1641), Sultanah Safiatuddin (1641-1675) dan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688 M).
Kota-kota tua lainnya seperti Demak, Cirebon, Banten, Banjar, Makassar, Bone, Tidore, Bima, Palembang, Jambi, Kutai, Malang, Surabaya dan semua wilayah yang pernah memiliki jejak historis, tak lebih baik dengan Aceh. Demak dan Banten beruntung punya masjid yang legendaris. Masjid Agung Demak yang didirikan para Wali, rampung tahun 1479. Empat tiang utama yang disebut saka guru konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, atau dinamai saka tatal. Sementara Masjid Agung Banten berdiri 1556 pada masa Sultan Maulana Hasanuddin. Salah satu kekhasan masjid ini adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda Tiongkok—karena arsiteknya berkebangsaan Tionghoa bernama Tjek Ban Tjut. Meski demikian, bayangkan jika bentuk keraton Demak dan Banten yang fenomenal itu masih utuh dan dapat disaksikan sampai sekarang, pastilah nilai historisnya jauh lebih dahsyat. Sebagai destinasi budaya dan pariwisata yang menarik dengan keunikannya jika semua hal peninggalan masa lalu itu terdokumentasi dengan baik.
Wong Cirebon hanya dengan makam Sunan Gunung Djati saja saban hari dikunjungi ribuan wisatawan domestik yang bermaksud ziarah dan ngalap berkah. Apalagi jika Cirebon mampu mengeksplorasi kekayaan bekas kerajaan Cirebon yang hebat itu. Bagaimana dengan Banten yang memiliki Sultan Hasanuddin, Syekh Yusuf Al-Maqassari, Sultan Ageng Tirtayasa dan seabrek peninggalan baik material maupun non-material yang tak ternilai harganya. Sekali lagi, ini soal kesadaran sejarah, ingatan kolektif, dan tanggung jawab generasi sebuah bangsa.
Untung kita punya Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai situs purbakala yang menjadi salah satu keajaiban dunia. Borobudur didirikan oleh Samaratungga dari wangsa Sailendra (tahun 825M) yang melakukan ekspansi untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Inilah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia, dan bukti kehebatan peradaban Nusantara. Monumen yang terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha, menjadikan Borobudur sebagai relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
Kalau Borobudur dikaitkan dengan Buddha, candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno. Pembangunannya dimulai tahun 850M oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Kompleks bangunan candi Prambanan (bahasa Sanskerta menyebut Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa) disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja Sri Maharaja Dyah Daksa dan Dyah Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi tambahan di sekitar candi utama.
Karena kemegahan candi ini, Prambanan berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga ratusan pendeta Brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Kalau Turki memiliki Aya Sofia, India punya Tajmahal, Cina memiliki Tembok Besar Tiongkok, dan Mesir bangga dengan Piramida, Indonesia memiliki puluhan candi sebagai peninggalan agama-agama di Nusantara. Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara, bersama candi Borobudur menjadi daya pikat bagi kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.
Indonesia juga kaya akan masjid-masjid bersejarah di berbagai kota, keraton atau istana, makam atau petilasan orang-orang suci (awliyā’). Seni dan sastra serta kitab karya cipta ulama Nusantara juga tak terhitung jumlahnya dalam bentuk manuskrip maupun cetak. Pesantren sebagai lembaga asli, genuine Indonesia berjumlah ribuan, dan berpotensi menjadi pusat studi Islam berskala internasional. Seni tradisi dan pertunjukan amat kaya dan tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Sebagai bangsa besar dan pernah menjadi pusat peradaban dunia, Indonesia hari ini adalah warisan generasi terdahulu yang perlu dirawat dan dilestarikan. Indonesia yang mengikat diri dalam satu kesatuan tanah air dan tumpah darah adalah milik sah generasi saat ini. Generasi yang melek ilmu dan terknologi. Jika kita memiliki kepedulian terhadap sejarah dan peradaban bangsa ini, itu semata-mata alasan karena akal sehat kita mengatakan: memang kita patut berbangga menjadi Indonesia. [MZ]