Pekan ini memasuki kali keenam warga muslim Jakarta dan sekitarnya tidak melaksanakan salat Jumat. Sejak penerapan work from home, physical distancing, lalu diikuti pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), praktis pelaksanaan salat Jumat di masjid-masjid Jabodetabek ditiadakan. Kalaupun ada sebagian pengurus masjid atau jemaah yang ngotot melaksanakan Jumatan, mereka umumnya mendapat penentangan atau perlawanan dari warga yang lain.
Namun beredarnya video di media sosial tentang warga yang masih melaksanakan salat Jumat tak boleh dianggap angin lalu. Liputan berbagai media massa mengabarkan banyaknya protes terhadap pelarangan salat Jumat yang muncul di beberapa daerah. Dari pinggiran kota Depok dan Bogor dilaporkan warga mendatangi DKM (Dewan Kemakmuran Masjid atau takmir) yang mengunci pintu masjid. Di Martapura Kalimantan Selatan sejumlah jemaah membuka paksa pintu pagar masjid dan memaksa untuk salat Jumat. Perdebatan sempat terjadi antara jemaah, takmir, dan petugas keamanan. Kata-kata sarkasme pun keluar dari mulut kerumunan massa yang tak puas. Setelah bernegosiasi alot, jemaah diijinkan salat Jumat meski dilakukan secara cepat dan harus mengikuti protokol gugus tugas penanganan Covid-19. Jemaah menyatakan gembira, “Alhamdulillah akhirnya bisa salat, setelah dua kali Jumatan tidak bisa salat di sini”.
Video yang beredar di youtube memperlihatkan jemaah yang telah siap melaksanakan salat Jumat memprotes pengurus masjid sembari meneriakkan dalil ayat Alquran dan hadis. “Kita mau takut sama Allah atau takut pemerintah?”, argumennya di muka pengurus yang salah tingkah itu. “Siapa tahu disebabkan kita salat Jumat di masjid, Allah SWT mengangkat bala’ yang bernama Corona ini”, tambahnya.
Di sejumlah daerah warga berunjuk rasa karena masjid-masjid ditutup untuk berjemaah. Sekelompok orang dikabarkan memprotes kebijakan peniadaan salat Jumat yang dikeluarkan DKM Masjid Raya Bandung di awal penerapan physical distancing di Jawa Barat akhir Maret lalu. Salah seorang pria dalam video berteriak meminta agar tidak takut dengan Gubernur, tetapi takut pada Allah”, lalu disambung dengan teriakan takbir. Beberapa orang lantas menurunkan baligo pengumuman peniadaan salat Jumat tersebut.
Karyawan sebuah apartemen di Jawa Timur menuntut pengelola membuka musala yang biasa digunakan salat Jumat. Dua tokoh agama di Pare-pare, Sulawesi Selatan diamuk massa gegara meminta jemaah Jumat membubarkan diri. Aparat pemerintah yang mencoba melerai perselisihan itu pun tak luput terkena kemarahan massa. Tak hanya itu, dari video yang viral kita peroleh informasi beberapa jemaah masjid yang sudah siap Jumatan mengecam ustaz atau khatib yang tak mau datang dan memimpin pelaksanaan salat Jumat.
Perang komentar di jagat maya pun tak kalah seru. Berbagai narasi berseliweran di kanal medsos. Dari menganggap fatwa MUI bermasalah, pelarangan salat Jumat tak tepat sasaran, hingga narasi yang sensitif bagi warganet yakni penutupan masjid. Hal ini dipahami sebagai bentuk ancaman bagi agama (Islam). Kontra-narasi pun dikembangkan sedemikian rupa. Walhasil, di tengah merebaknya wabah Covid-19, muncul “perang wacana” atau “perang dalil” di antara warganet yang merupakan representasi publik yang terlibat pro dan kontra terhadap isolasi/karantina maksimal terhadap kegiatan publik.
Ditengarai dari narasi yag dibangun, perdebatan di media sosial kerap tak terkontrol. Bukan soal kuat atau lemahnya sebuah dalil dan hujjah, misalnya tentang alasan mengapa ulama mendukung isolasi maksimal dengan melarang pelaksanaan salat Jumat. Juga bukan an sich perdebatan benar-tidaknya sebuah dalil, tetapi ada indikasi mengarah like and dislike. Kubu sana versus kubu sini. Harusnya, sepanjang dalil dan hujjah yang disampaikan para pakar di bidang fikih bersumber dari marāji’ (rujukan, referensi) yang otoritatif, perbedaan pendapat itu perlu diletakkan pada kotak ijtihādī (hasil ijtihad masing-masing). Tapi tatkala perdebatannya di kalangan masyarakat awam (dalam pengertian tak memiliki otoritas keilmuan di bidangnya), publik menerimanya dengan pemahaman terbelah.
Di tengah gairah keagamaan yang tinggi seperti saat ini, orang cenderung beragama secara pragmatis. Lebih mendahulukan sensitifitas dalam beragama mengalahkan logika. Memakai perasaan dalam melaksanaan ajaran agama ketimbang mengetahui landasan hukum. Kaidah Al-dīnu huwa al-aql. Lā dīna liman lā aqla lahu tak banyak dipraktikkan. Yang penting pokok’e.
“Gak enak kalau tidak sembahyang Jumat, Ustaz”, kata si A bicara kalem. “Salat Jumat itu wajib kan, kok malah pemerintah melarang-larang sih“, komentar si B. “Bagaimana bisa ada ulama yang melarang diadakan salat Jumat dan jemaah di masjid”, argumen si C lebih vulgar. Tapi ada kelompok yang terang-terangan menyatakan: “Kita harus tetap melaksanakan salat Jumat. Umat Islam jangan mau dikibulin oleh antek-antek Yahudi dan kepentingan Asing dan Aseng. Ini provokasi, kesengajaan untuk menjauhkan umat dari masjid”.
Perbedaan menyikapi pelarangan salat Jumat yang demikian keras tentu perlu disikapi secara bijak. Hal ini berbeda dengan pelarangan salat tarawih, misalnya. Karena hukumnya sunnah, masyarakat bisa jadi lebih mengerti dan faham. Tapi salat Jumat karena masuk fardhu ‘ain, tak semua orang sepakat dan lantas mematuhi. Bukan semata dalilnya kuat atau lemah, tetapi pelarangan yang diterapkan secara gebyah-uyah dan tak melihat status wilayah terdampak pandemi (masuk zona merah atau hijau) menyebabkan silang pendapat itu terus berlangsung.
Coba perhatikan salah satu komentar di akun facebook ini, “Menurut saya mending pada sholat Jumat terus bareng–bareng doa bermunajat kepada Allah SWT supaya wabah Corona cepat berlalu dengan seizin Allah SWT yang Maha Kuasa dan segala-galanya.“ Sekilas komentar ini tampak sangat wise dan menenangkan. Terlepas apakah warganet yang komentar ini mengetahui atau tidak hadis yang menyatakan, “Sungguh, Allah ta’ala ketika menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi, maka penyakit itu dijauhkan dari orang-orang yang meramaikan masjid” (Ibnu Asākir, Tārīkh al-Dimasyqī, 11/17, Ibnu Adi, Al-Kāmil fī Dhu’afā’ al-Rijāl, 4/205). Pendapat demikian itu bisa berbahaya karena meletakkan suatu dalil berdiri sendiri terlepas dari konteks (asbāb al-wurūd) dan tidak dikonfirmasikan dengan ilmu pengetahuan lain, misalnya tentang sejarah pandemi.
Komentar-komentar semacam itu banyak bertebaran di medsos. Pengikut (follower)-nya bisa jadi ribuan kalau yang menulis tokoh terkenal, ustaz selebritis atau influencer. Soal bahwa ada dalil lain yang dikemukakan ulama, misalnya hadis yang menyatakan, “Thā’ūn (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah azza wa jalla untuk menguji hamba-hamba-Nya. Apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri tersebut. Dan apabila penyakit itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya” (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Mereka masa bodoh karena yang dipakai adalah kacamata kuda. Dipengaruhi oleh narasi keagamaan yang pragmatis dan sesuai selera, penjelasan apapun akan ditolak.
Dilihat dari fiqh al-ikhtilāf, perbedaan pendapat sejatinya hal lumrah dalam menyikapi sebuah produk hukum. Polemik pelarangan salat Jumat menunjukkan bahwa soal ikhtilāf (perbedaan pendapat) pada hal-hal yang bersifat furū`īyah (cabang keagamaan) masih laten di kalangan umat. Meskipun sudah ada fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menerangkan bolehnya mengganti salat Jumat dengan salat zuhur selama pandemi Covid-19 dikarenakan adanya udzur syar`ī, tak ayal muncul pendapat berbeda di kalangan ulama dan publik.
Kurang apa ulama sekelas Habib M. Quraish Shihab dan Ketua Umum PBNU, Kiai Said Aqil Siradj. Toh pendapatnya dipersoalkan oleh ulama lain, bahkan dikecengin oleh orang yang tak memiliki kapasitas ilmu yang setara. Anehnya ruang publik bernama “jagat maya” memberi keleluasaan ekspresi tanpa batas dan uncontrolled. Pada saat kebebasan berpendapat menjadi barang murah, siapapun berhak berpendapat sekalipun tanpa dasar ilmu dan memahami substansi yang dibahas.
Apakah dalam situasi demikian masih memberlakukan kaidah ushul fikih: lā inkāra fī al-mukhtalaf fīhi (tidak boleh ada pengingkaran dalam khilāfīyah). Atau kaidah berikutnya: “tidak ada paling benar dalam masalah khilāfīyah furū’īyah”. Kita tunggu komentar ahli ushul sembari ngopi sesaat masuk waktu berbuka puasa. [MZ]