Lukman Hakim Mahasiswa STAI Al Fithrah Surabaya

Kontribusi Alquran dalam Mengarusutamakan Budaya Literasi

2 min read

Negara Indonesia telah memasuki era reformasi yang identik dengan era literasi. Ironisnya, minat baca bangsa Indonesia dianggap cukup rendah dibanding negara-negara lainnya. Hal ini dapat diketahui ketika UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia yang hanya mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1,000 orang, hanya ada satu orang yang minat membaca. Tingkat literasi pun juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei.

Keterampilan dalam hal literasi sangat diperlukan karena mempunyai pengaruh besar terhadap kesuksesan generasi muda Indonesia. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih memahami informasi baik berupa lisan maupun tulisan. Kompetensi-kompetensi yang dimilki oleh generasi muda akan lebih berkembang apabila mereka menguasai literasi.

Menurut Ibnu Khaldūn, kemampuan menulis merupakan olah asah dari sebuah keterampilan. Perkembangan dalam tradisi tulis-menulis dikarenakan adanya beberapa faktor yaitu, komunitas sosial, lingkungan yang kondusif, peradaban yang mapan, dan kompetensi yang mewadahi untuk menjamin berlangsungnya tradisi tersebut. Dari penjelasan Ibnu Khaldūn, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menumbuhkan dan mengembangkan tradisi literasi, diperlukan kesadaran yang kolektif, lingkungan yang mendukung dan peradaban yang mapan.

Salah satu contoh yang dapat kita jadikan pelajaran ialah sebelum turunya Alquran, tradisi literasi Arab sulit berkembang di Hijaz. Hal ini karena pada waktu itu belum ada sarana pendukung (komunitas sosial, lingkungan kondusif, peradaban dan semangat dalam berkompetisi). Namun, tradisi tulis-menulis bangsa Arab mulai berkembang pesat pasca-turunnya Alquran dengan hadirnya Nabi Muhammda saw. sebagai pemimpin yang menjadi sarana berkembangnya tradisi literasi.

Hal ini juga dapat dibuktikan melalui rekaman sejarah kodifikasi Alquran. Dalam kitab Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’an karya Manna` Khalil al-Qattan bahwa Rasulullah saw. menunjuk beberapa sahabat untuk dijadikan sebagai sekretaris beliau untuk mendokumentasikan setiap ayat yang turun. Di antara para sahabat tersebut Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka`ab, dan Mu`awiyah bin Abu Sufyan.

Baca Juga  [Resensi Buku] Kecenderungan Simbolik Masyarakat Indonesia

Kodifikasi tersebut terus berlangsung hingga masa al-Khulafā’ al-Rāsyidūn yang pada akhirya, penulisan Alquran distandarisasikan agar sesuai dengan bahasa pertama kali Alquran diturunkan yakni, bahasa Quraisy yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani.

Dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang dapat dijadikan sebagai motivasi dan inspirasi terhadap tradisi baca-tulis. Ayat-ayat tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap kesadaran dan tingkah laku umat Islam dalam membangun budaya literasi. Ayat Alquran yang secara tegas memerintah untuk belajar membaca dan menulis yaitu surah Al-Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Menurut Mustafā al-Marāghī dalam kitab tafsirnya, Alquran telah merubah suatu bangsa yang sangat rendah menjadi yang paling mulia dengan perantara pena (qalam). Jika tidak ada tulisan, tentu pengetahuan tidak terekam, agama akan sirna dan bangsa belakangan tidak akan mengenal sejarah umat-umat sebelumnya; siapa yang tercela dan siapa yang terpuji, pengetahuan mereka juga tidak akan memberikan penerang atas perselisihan serta dalam membangun peradaban umat manusia.

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam buku berjudul Membumikan al-Quran, membaca adalah syarat utama dalam membangun peradaban. Semakin luas wilayah pembacaan maka semakin tinggi pula peradaban, begitu juga sebaliknya. Selain itu, apabila dilihat dari sejarah tradisi baca-tulis, umat manusia di bagi menjadi dua periode utama yaitu, sebelum penemuan tradisi baca-tulis dan sesudahnya; sekitar lima ribu tahun yang lalu.

Baca Juga  Suling Bambu: Sebuah Kearifan Lokal Fishfinder Masa Lalu

Dengan memanfaatkan penemuan sistem baca-tulis, manusia tidak perlu mengulanginya dari nol dalam membangun peradaban yang tinggi. Mereka tidak perlu lagi merambah jalan dan merangkak. Tetapi, peradaban yang datang dapat menapaktilasi jejak peradaban lalu melalui tulisan yang dapat dibaca oleh generasi pada saat itu.

M. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa kata qara`a yang dikaitkan dengan “bi ismi rabbika” (dengan menyebut nama tuhanmu) merupakan syarat bagi pembaca untuk tidak hanya sekadar melakukan bacaan dengan ikhlas. Akan tetapi, ia juga dituntut agar memilih bahan-bahan bacaan yang tidak menjadiannya bertentangan dengan “nama Allah” tersebu.

Begitu juga kata iqra` yang diulang selama tiga kali, menurut Ibnu Asyūr dalam kitab tafsirnya hal tersebut memberikan indikasi agar tidak hanya membaca apa yang telah diketahui. Namun, juga dituntut agar membaca apa yang belum diketahui.

Karena itu, penting bagi kita mengetahui bahwa ayat-ayat dan data sejarah yang sejalan tentang pengarusutamaan budaya literasi sudah dikemas dalam Alquran. Peradaban yang maju bisa ditangkap melalui fakta sejarah bahwa Islam mengemas apik keduanya.

Dengan berkembangnya budaya literasi di Indonesia, hal ini juga mendekatkan peradabannya untuk lebih tinggi sebagaimana pernyataan yang telah disebutkan di atas. Terutama bagi generasi muda yang masih berkecimpung dalam dunia pendidikan karena nasib masa depan Indonesia ada pada genggaman mereka. [MZ]

Lukman Hakim Mahasiswa STAI Al Fithrah Surabaya