Mencermati keadaan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini, saya jadi teringat kembali sosok pemikir Muslim Neo-Modernis, Profesor Fazlur Rahman. Ia adalah seorang pemikir Muslim dari Pakistan yang lama mengajar di Chicago University yang memiliki pengaruh luas di kalangan dosen-dosen PTKI.
Pemikiran keislamannya telah dikaji secara luas di UIN, IAIN dan STAIN serta PTKIS dan telah menelorkan ratusan karya akademik berupa skripsi, tesis maupun disertasi, termasuk artikel-artikel di banyak jurnal ilmiah.
Saya lupa-lupa ingat, apakah pada kunjungan pertamanya di Indonesia pada tahun 1974, ataukah pada kunjungannya pada tahun 1985 bersama Profesor Sherif Mardin dari Istanbul, yang diundang Pemerintah Indonesia untuk memberikan masukan bagi pengembangan IAIN-IAIN di Indonesia ketika itu.
Yang jelas, Fazlur Rahman pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan, di mana ia melontarkan ramalannya secara optimistik bahwa kebangkitan Islam akan dimotori oleh umat Islam Indonesia. Kebangkitan Islam tidak muncul dari Timur Tengah, Eropa atau Amerika, tetapi dari Indonesia.
Beberapa tahun setelahnya, dalam suatu forum diskusi di sebuah Kota di Amerika, ada seorang mahasiswa Indonesia yang belakangan menjadi tokoh penting Gerakan Dakwah di Republik ini yang menanyakan mengenai statemen Rahman tersebut. Apakah Rahman masih tetap memegangi ramalannya itu, ataukah telah merubahnya
Ternyata, dengan mantap Rahman menyatakan bahwa dia masih memegangi ramalan itu. Ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyenangkan sang penanya yang berasal dari Indonesia, tetapi didasarkan pada data-data yang handal.
Hanya Indonesia yang menurut Rahman memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor kebangkitan Islam. Hanya Indonesia yang memiliki Ormas keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang tidak fanatis terhadap satu mazhab, tetapi menghormati berbagai pluralitas pemikiran mazhab.
Di Indonesia juga sangat banyak bermunculan sarjana Muslim yang berpikiran maju, berpandangan modern dan progesif serta berkemampuan sangat baik dalam menghayati agamanya.
Tidak hanya itu, mereka juga mendukung demokrasi, memiliki intensitas yang baik atas isu-isu HAM dan kesetaraan gender serta-isu-isu modern lainnya. Islamic scholarship yang seperti ini menjadi social capital yang sangat besar bagi Indonesia untuk menyadarkan dunia dari stagnasi berpikir dan “tidur panjang”-nya, untuk kemudian sekali lagi bangkit memimpin peradaban dunia.
Kini, setelah 32 tahun Fazlur Rahman meninggal (Rahman meninggal 26 Juli 1988), setelah mencermati kehidupan umat Islam Indonesia dan setelah reformasi memberikan kebebasan kepada siapapun atas nama demokrasi untuk mengekspresikan pendapat dalam bingkai freedom of expression, khususnya setelah ada fasilitasi sosial media yang sangat dahsyat, wabil khusus setelah Pilpres 2014 dan dipertajam lagi setelah Pilgub DKI yang mampu menyihir umat Islam Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam “bendera Islam” yang saling berhadapan (Bahkan tahun 2018 dan 2019 semakin dahsyat).
Kini, setelah berbagai kelompok yang dipimpin oleh tokoh-tokoh, sebut saja “Muslim scholars” saling berebut klaim kebenaran agama dan berusaha memonopolinya sembari menuding “kafir” atau “sesat” atas kelompok lain yang berbeda.
Kini, setelah tafsir atas kebenaran agama berubah menjadi sejenis ilmu eksakta yang dibingkai melalui kemutlakan epistemologi yang sangat positivistik dan tidak menyisakan ruang kemajemukan, saya jadi membayangkan, seandainya Fazlur Rahman ditanya kembali mengenai tesisnya itu.
Ya, seandainya Fazlur Rahman masih hidup, dan ditanyakan kembali kepadanya mengenai optimismenya tentang Indonesia, maka saya tidak terlalu yakin kalau dia masih konsisten dengan ramalannya itu. Karena Indonesia kini telah berubah. Islamic discourse sangat luar biasa menyerbu ruang-ruang medsos masyarakat Indonesia dengan tawaran pemikiran keagamaan yang eksklusif, menyebar kebencian dan intoleran.
Melalui facebook, Instagram, WA, twitter, masyarakat Islam Indonesia sehari-hari diobok-obok, dibentur-benturkan dan digiring untuk memusuhi, membenci dan melawan pihak-pihak yang berbeda sembari dicomotkan secara serampangan teks-teks agama, berupa ayat Alquran atau teks-teks hadis yang dipahami secara sporadis dan seringkali “tidak bertanggung jawab”. Tak jarang, untuk menghantam kelompok lain, konten-konten tentang agama dibumbui dengan hoax yang mengerikan.
Tidak jelas, apakah situasi ini didesain oleh invisible hand para pemegang remote control kekuasaan atau terjadi dengan sendirinya kemudian mereka “menungganginya” untuk kepentingan agenda-agenda kekuasaan. Ataukah keduanya berjalan secara paralel. Yang pasti situasi ini semakin complicated ketika bertemu dengan momentum-momentum politik.
Ketokohan para pemimpin agama juga mengalami pergeseran luar biasa. Pemimpin-pemimpin Muslim yang selama ini dikenal otoritatif dan telah mapan, tiba-tiba tergeser oleh pemimpin-pemimpin baru yang dibesarkan melalui jalur selebritas baru, yakni youtube dan medsos.
Mulai ada gejala di media bahwa semakin keras orang berbicara—jika perlu dengan pekikan takbir sembari memprovokasi—semakin dianggap layak sebagai pemimpin panutan. Ketika sebagaian besar masyarakat kita bergerak maju dan berorientasi ke depan (progresif) dalam membangun peradaban berdasarkan spirit Islam, ada sebagian dari sudara kita yang getol mempromosikan regresivisme dan formalisme Islam. Formula generiknya adalah “kembali kepada Alquran dan Sunnah Nabi” dalam maknanya yang letterlijk.
Saudara kita ini meyakini sepenuhnya, Jika ingin berhasil mengembalikan kejayaan Islam, kita harus kembali kepada model masyarakat zaman Nabi dan pemimpin-pemimpin Islam sesudahnya dengan sistem khilafah. Zaman now harus dikembalikan pada zaman old. Meskipun perdebatan akademik mengenai hal ini sangat panjang, tetapi ini adalah kecenderungan-kecenderungan baru Islam Indonesia pasca-reformasi.
Arah baru perkembangan Islam di Indonesia ini sangat jelas berbeda haluan dengan arah Islam Indonesia yang dibayangkan oleh Fazlur Rahman 40 atau 30 tahun yang lalu. Rahman mungkin tidak memperkirakan lompatan teknologi informasi yang luar biasa merambah dan memasuki hampir seluruh bilik-bilik kehidupan Muslim Indonesia.
Melalui hand phone, android dan gadget, informasi apa saja, termasuk informasi politik dan keagamaan, bisa masuk kapan saja secara leluasa hingga ke bilik-bilik mereka yang paling privat sekalipun.
Rasanya di negeri kita ini, inklusivisme, toleransi, kepercayaan terhadap demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan isu gender—sebagaimana dibayangkan Rahman—sekarang ini sedang menghadapi tantangan dan ujian yang luar biasa.
Jika eksklusivisme agama, rasa permusuhan, ideologi kebencian, intoleransi dan provokasi tidak bisa dikelola, maka alih-alih menjadi pelopor kebangkitan Islam, kita justru akan menjadi beban berat bagi kebangkitan Islam.
Apalagi jika agen-agen moderatisme Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta UIN, IAIN dan STAIN tidak segera mendefinisikan diri dan bersinergi melakukan perubahan haluan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apakah Indonesia 10 tahun yang akan datang. Sudahkan NU, Muhammadiyah, UIN, IAIN, STAIN dan agen-agen moderatisme Islam lainnya berbuat maksimal? Ini yang kita tunggu. [MZ]