Salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh umat Islam yang bersifat personal adalah ibadah puasa. Jika ibadah lain bersifat demonstratif, yang bisa disaksikan oleh khalayak ramai, salat dan zakat misalnya, maka ibadah puasa bersifat pribadi. Hanya dirinya dan Allah saja yang mengetahui, apakah ia berpuasa atau tidak.
Misalnya, bisa saja kita secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi, makan dan minum di siang hari. Namun, karena ada kesadaran yang begitu kuat bahwa Allah sedang melihat dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh setiap hambanya, maka muncul keengganan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ibadah puasa itu.
Puasa dengan demikian merupakan ibadah yang melatih hambanya untuk belajar merasakan kehadiran Allah dalam setiap saat. Tidak heran jika kemudian Allah dalam hadis qudsi menyebutkan puasa itu adalah untuk-Nya dan Dia sendiri yang akan memberikan balasan dengannya.
Puasa melatih kita untuk menghadirkan Allah dalam keseharian kita. Kesadaran ini lah sesungguhnya yang menghantarkan umat Islam pada ketakwaan, sebuah kesadaran yang menjadi tujuan utama dari ibadah puasa.
Namun demikian, kesadaran tersebut sering diabaikan oleh sebagian besar umat Islam. Setiap kali datang bulan Ramadan, pada saat itu pula kita lupa akan pesan penting dari ibadah puasa ini, bahwa ibadah puasa berupaya mengikis mental beribadah yang menonjolkan formalitas beribadah.
Memang, sangat manusiawi ketika seseorang akan lebih mendahulukan sifat formalisme dalam ibadah dari pada substansinya, atau lebih mengunggulkan sisi ritual dari sebuah ibadah dari pada tujuan utama dari ibadah itu sendiri.
Kita misalnya sibuk dengan pentingnya salat berjamaah di masjid, tetapi lupa tentang implikasi salat itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Kita fasih melafalkan Allahuakbar pada saat takbiratulihram, tetapi kita sendiri mengabaikan esensi dari takbir itu sendiri.
Umat Islam juga sering kali mengejar perintah agama secara tekstual dalam Al-Qur’an atau hadis, sementara aspek kontekstualnya terabaikan. Misalnya, Sebagian besar umat Islam memperhatikan perintah menikah lebih dari satu dalam Al-Qur’an, tetapi cenderung mengabaikan esensi adil dalam berkeluarga.
Dalam ibadah haji, kita hafal betul hadis yang menyebutkan bahwa tidak ada pahala kecuali surga bagi haji mabrur, tetapi sekali lagi kita mengabaikan lanjutan dari hadis tersebut bahwa yang menjadi tanda haji mabrur adalah berkata yang baik-baik dan membagikan makanan.
Dampak penting dari model yang menonjolkan formalitas dalam beribadah ini adalah munculnya kecenderungan untuk mengejar pahala dari pada Ridha Tuhan. Beribadah kepada Allah diandaikan sebagai bentuk laba atau keuntungan yang kelak bisa menyelamatkan dirinya dari yaumulhisab.
Tidak penting baginya apakah setelah salat berjamaah akan mengurangi perilaku korup atau tidak, yang terpenting dia memperoleh 27 derajat jika salat berjamaah. Tidak penting baginya ada tetangga atau saudara yang membutuhkan bantuan dirinya, yang penting dia bisa memperoleh haji mabrur meskipun sudah berkali-kali dia pergi haji.
Formalisme dalam beribadah juga terkadang melahirkan sikap yang merasa lebih hebat dan taat dalam beribadah, merasa “paling saleh” ketimbang yang tidak melaksanakan ibadah sebagaimana yang ia lakukan. Sehingga, ia merasa “berhak” untuk menegur bahkan memaksa yang lain, untuk bisa bersama-sama beribadah sebagaimana yang ia lakukan.
Formalisme beragama pada akhirnya menjadikan seseorang menjadi ingin dimanja, dihormati, dihargai, dan dilayani. Tidak heran jika kemudian mereka ini selalu menginginkan untuk tidak diganggu dengan orang jual makanan di siang hari, pada saat ibadah puasa. Bahkan dengan cara-cara kekerasan dilakukan, agar agamanya bisa hidup dan bisa menjalankan ibadah “dengan tenang”. Mereka juga tidak akan peduli apakah ada orang yang berbeda agama atau tidak, yang penting bisa mensyiarkan agamanya.
Oleh karena itu, penting sekali lagi bagi kita semua, menjelang masa Ramadan segera menghilang, untuk merenungkan kembali pentingnya ajaran ibadah puasa ini, yaitu memahami kembali aspek substantif dari ibadah ini. Puasa yang kita lakukan saat ini adalah puasa yang didasarkan akan kesadaran diri untuk menahan kecenderungan-kecenderungan negative sahwat manusia. Puasa yang kita jalani saat ini, merupakan proses mempelajari hadirnya Allah dalam setiap laku hidup kita. Wallahualam bissaawab. [AR]