Terkenang masa bertahun-tahun lalu saat saya menjadi santri yang mengaji di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur, sebuah pesantren kuno yang berada tepat di tepian Bengawan Solo. Saat itu, Pondok Pesantren Langitan masih diasuh oleh dua kiai karismatik, yaitu KH. Ahmad Marzuqi Zahid dan KH. Abdullah Faqih, kini keduanya telah wafat. Keduanya menjadi guru utama saya dan ribuan santri lainnya dalam bidang agama yang mata rantai keilmuannya bersambung hingga Rasulullah.
Masih lekat dalam ingatan saya hingga kini, saat itu, mulai pada tanggal 12 Juni 1989, KH. Abdullah Faqih membacakan sebuah kitab dalam bidang Ilmu tasawuf berjudul Tāj al-‘Arūs al-Hāwiy Tahdzīb al-Nufūs, salah satu karya dari al-Syaikh Tāj al-Dīn bin Athaillah al-Iskandari (wafat tahun 707 H.), penulis Kitab al-Hikam yang sangat populer di kalangan dunia pesantren NU itu.
Kiai Abdullah Faqih seperti biasa senantiasa memulai pengajian kitab tersebut dengan doa dan tidak lupa juga mendoakan al-Syaikh Athaillah al-Iskandari dengan bersama-sama para santri membacakan surah al-Fātihah untuk dihadiahkan pahalanya kepada beliau.
Selanjutnya Kiai Faqih memberikan kata pengantar singkat tentang kitab Tāj al-‘Arūs sambil memberikan beberapa nasihat kepada para santri yang duduk dengan tenang tanpa kegaduhan mengelilinginya, dan penuh penghormatan kepadanya. Saya masih ingat beberapa nasihat Kiai Faqih dalam Bahasa Jawa yang tertanam dalam hati saya hingga kini.
Di antara nasihat Kiai Faqih adalah bahwa beliau berpesan agar dalam mengaji tasawuf dari Kitab Tāj al-‘Arūs para santri jangan sekali-kali punya niat untuk mengoreksi hati orang lain. Sebab, apabila isi kitab itu hanya untuk mengoreksi hati orang lain, niscaya yang terlihat hanyalah keburukan-keburukannya saja. Hendaklah mengaji kitab tasawuf ini diniati untuk mengoreksi dan memperbaiki hati diri sendiri.
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا
“Perhitungkanlah diri kalian sebelum kalian semua diperhitungkan”.
Kiai Faqih juga berpesan agar para santri selalu memperbarui keimanan dengan memperbanyak membaca kalimat tauhid Lā ilāha illā Allah (Tiada Tuhan selain Allah).”
جددوا إيمانكم بقول لا إله إلا الله
“Perbarui imanmu dengan ucapan Lā ilāha illā Allah”.
Di antara isi Kitab Tāj al-‘Arūs yang dibacakan oleh Kiai Abdullah Faqih dan diterjemahkan kata perkata dari Arab ke dalam Bahasa Jawa, dan sesekali dijelaskan dengan sedikit campuran Bahasa Indonesia adalah tentang masalah rezeki. Bahwa di antara pertanda kelalaian hati dan kesempitan akal adalah bila engkau menanggung rasa prihatin, apakah terjadi atau tidak.
Engkau meninggalkan keprihatinan yang pasti terjadinya itu. Engkau segera berkata bagaimana didapati harga barang pada esok hari, dan bagaimana diperoleh keadaan pada tahun ini, sedangkan kasih sayang Allah pasti akan datang dari arah yang tidak engkau ketahui. Keraguan terhadap (datangnya) rezeki (pada esok hari) adalah keraguan terhadap al-Rāziq (Allah yang sangat banyak memberikan rezeki).
Demikianlah, kebanyakan dari diri kita terkadang mencemaskan tentang kondisi hari esok yang tidak diketahui akan seperti apa. Tidak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi hari esok dengan pasti. Di antara kita mencemaskan akan datangnya rezeki berwujud materi pada hari esok.
Padahal nyatanya rezeki itu datang tidak menentu, kadang ada cukup banyak, terkadang tidak sama sekali, atau datang pun hanya sedikit, atau tidak mencukupi, padahal daftar kebutuhan yang diinginkan sangatlah banyak.
Kecemasan semacam itulah yang sering dirasakan dalam pikiran dan hati kebanyakan manusia. Tentu saja hal semacam ini menambah beban pikiran dan memberatkan hati, meningkatkan kecemasan, membawa peningkatan tekanan jiwa (stress), mendesakkan kekalutan pikiran menghadapi beban-beban hidup yang tak terhindarkan dalam perjalanan hidup setiap manusia.
Oleh sebab itu, sesungguhnya setiap kita tidak perlu mencemaskan dengan kecemasan yang berlebihan akan datangnya rezeki pada hari esok. Yang terpenting bagi kita harus tetap melakukan usaha, berikhtiar tanpa putus asa, dan minimal berdoa agar Allah melapangkan rezeki kita.
Siapa yang mengkhawatirkan atau mencemaskan datangnya rezeki pada esok hari, pada hakikatnya berarti belum memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah, al-Razzāq (Yang Mahamemberi rezeki). [MZ]