Dalam segala urusan, baik persoalan dunia maupun akhirat, pada prinsipnya harus diserahkan kepada ahlinya. Dalam kaitannya dengan suatu disiplin ilmu harus merujuk kepada arbāb al-‘ilm (para spesialis ilmu).
“Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggu saja saat kehancurannya. “Demikian wasiat Nabi Muhammad shalla Allahu ‘alaihi wa sallama yang semestinya dipedomani oleh semua umat manusia, apa pun agamanya.
Namun kenyataannya, banyak kerusakan dalam segala bidang karena diserahkan dan diurus oleh orang yang bukan ahlinya. Di antara penyebabnya adalah karena faktor kecerobohan, tertipu oleh penampilan, ketidaktahuan, fanatisme, dan terburu-buru percaya kepada orang lain.
Padahal setiap pernyataan sangat perlu untuk diuji kebenarannya, dan setiap pengakuan harus bisa dibuktikan kenyataannya. Jika tidak, maka itu adalah pernyataan dan pengakuan yang tidak benar karena mengandung unsur dusta.
Kerusakan yang diakibatkan oleh bertaburnya para pendusta di berbagai bidang ilmu terkait kehidupan manusia amat kasat mata, dapat dijumpai dengan mudah dalam kehidupan nyata. Banyak urusan apa saja menjadi terbengkalai sia-sia, hancur binasa, karena diserahkan dan kemudian dikerjakan oleh orang atau pihak lain yang benar-benar bukan ahlinya. Mereka yang sebenarnya tidak memiliki otoritas dan spesialisasi di bidangnya pun aktif berebut untuk terlibat mengurusnya, tiada lain demi mendapatkan keuntungan materi semata.
Tak terkecuali dalam urusan agama, saat ini banyak orang beragama tiba-tiba saja merasa ahli di bidang agama. Fatwa agama dikeluarkan oleh orang yang bukan ahli memberikan fatwa. Permasalahan agama yang rumit dan detil diuraikan oleh mereka yang jelas bukan ahlinya.
Padahal mereka tidak diketahui belajar agama di mana, kepada siapa, berapa lama, apa saja referensinya yang mu’tabarah (otoritatif), dan entah sudah mengamalkan ilmunya atau tidak. Bahkan butuh syarat-syarat keilmuan dan kepribadian untuk tampil menyampaikan ajaran agama di hadapan orang banyak.
Sedangkan ilmu-ilmu sebagai syarat dan sarana untuk memahami agama sangatlah banyak dan tidak gampang untuk menguasai sebagiannya, apalagi keseluruhannya.
Namun, saat ini menggejala suatu fenomena di mana hanya dengan modal pintar pidato atau ceramah agama saja seseorang merasa sudah menguasai keseluruhan ilmu agama, dan yang mengherankan sebagian masyarakat juga dengan mudah mengidolakannya. Lebih-lebih jika sang penceramah berpenampilan meyakinkan dengan berpakaian bagai ulama besar.
Banyak korban penipuan oleh yang sesungguhnya palsu karena kepandaian meniru yang asli dan mereka pun tak mampu membedakan mana yang asli dari yang palsu-palsu. Sungguh telah beredar luas ilmu agama palsu yang disampaikan oleh para “ustaz” palsu itu.
Apabila diajukan beberapa pertanyaan tentang agama yang mudah saja kepadanya, mereka tidak akan mampu menjawab dengan benar, atau segera dengan tergesa-gesa diluncurkan fatwa (jawaban)-nya karena takut dianggap tidak tahu.
Merekalah sesungguhnya yang berperan besar dalam merusak citra agama dan mereka pula yang menjadikan agama sebagai komoditas untuk mencari keuntungan duniawi semata. Menghadapi maraknya fenomena tersebut, maka ahli agama (ulama)-dalam arti yang sesungguhnya.
Yakni mereka yang dalam jangka waktu yang lama telah menghabiskan usianya untuk ber-tafaqquh fī al-dīn (mendalami ilmu-ilmu untuk memahami agama) dengan mengambil spesialisasi ilmu tertentu kepada para ulama sebelumnya dengan sanad (mata rantai) keilmuan yang bersambung, dan telah diakui oleh para ahli agama lainnya sebagai ahli dibidangnya, jika ada kesempatan yang tepat diperkenankan untuk mengujinya, agar orang tersebut tidak terjerumus dalam kerusakan (tidak tersesat jalan) dan tidak menjerumuskan orang lain dalam kesesatan dan kerusakan.
Betapa banyaknya seorang yang pada hakikatnya sangat awam dan amat dangkal ilmu agamanya, seperti para muallaf (orang yang baru-baru menganut agama Islam) digelari “ustaz” telah diidolakan dan dengan fanatik dijadikan panutan dalam beragama oleh banyak sekali orang yang juga dari kalangan awam, sedangkan ulama yang sesungguhnya mereka hina dan mereka tinggalkan.
Menurut al-Sayyid Abdullah ‘Alwi al-Haddad dalam karyanya yang berjudul Kitab Ithāf al-Sāil bi Jawāb al-Masāil halaman 9 dan 10, orang yang boleh diuji ilmu agamanya ada dua macam:
Pertama, bila seorang alim yang mampu memberi nasihat dan penyayang melihat ada seseorang yang dinilainya merasa kagum kepada pendapatnya sendiri, sehingga ia tidak mau lagi menuntut ilmu dan menambah (tidak meng-up date) lagi ilmunya.
Manusia semacam ini perlu diperkenalkan kepada orang yang keutamaan ilmunya lebih dari yang dikuasainya, boleh diuji dan dijajagi “ketinggian” ilmunya untuk tujuan menasihatinya. Menguji dan menasihatinya lebih utama empat mata di tempat yang sunyi dari dilihat orang lain agar kehormatannya tetap terjaga.
Kedua, yang boleh diuji adalah bila ia melihat seorang munafik yang pandai ceramah (‘ālim al-lisān) yang dikhawatirkan pengaruh buruknya merusak agama kaum lemah dari orang-orang yang beriman. Orang seperti itu harus diuji untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan dan kebodohannya di bidang agama.
Selain untuk tujuan menasihati, mengingatkan kekeliruan-kekeliruannya, juga untuk menyadarkannya agar kembali ke jalan ilmu serta berpegang teguh kepada ajaran agama yang valid sebenar-benarnya.
Semoga kita tetap menjadi manusia yang rendah hati, yakni mau menerima kebenaran, tidak menganggap remeh siapa pun, tidak merasa lebih hebat dari orang lain, tidak merasa mengerti dan merasa paling ahli dalam sedikit hal, lebih-lebih dalam banyak hal, agar tidak memperparah kerusakan di tengah-tengah kehidupan.
Sudah saatnya yang cerdas dan waras jangan mengalah. Mereka wajib “turun gunung” memperbaiki keadaan agar agama kita terjaga dan urusan bangsa kita tidak dikuasai oleh siapa saja yang bukan ahlinya. [MZ]