Menjelang hari raya seperti malam ini, tiba-tiba saya ingat Dorsaf Hamdani, seorang penyanyi perempuan berkebangsaan Tunisia. Saya jadi ingat dengan sebuah cerita yang dibawakannya dengan apik. Sangat apik. Ia membawakan cerita itu dengan sentimental sekali. Sebuah cerita haru yang melibatkan seorang bocah yatim dengan Nabi Muhammad Saw. di suatu pagi pada hari raya Idul Fitri. Jika njenengan sedang lenggang, cobalah barang sejenak mendengarkan alunan nyanyiannya. Bisa dijumpai di Youtube dengan kata kunci “Dorsaf Hamdani”. Tapi tak usah kaget jika ia tak berjilbab dan tak perlu pula men-judge-nya dengan macam-macam. Tak islami lah. Tak syar’i lah. Penistaan lah. Simpan saja kosakata itu di saku dalam-dalam.
Cerita itu berawal ketika Nabi Muhammad saw. hendak berjalan menuju masjid guna melaksanakan salat Id bersama para sahabat. Di tengah langkahnya menuju masjid, beliau Saw. mendapati sekumpulan anak kecil yang sedang bermain riang menyambut hari raya dengan baju baru yang masih wangi dan aneka manisan di kedua tangan mereka. Tapi ada yang janggal, beliau Saw. melihat seorang anak kecil menangis sedu sembari memeluk lututnya dan bersandar pada dinding sebuah rumah milik seorang sahabat.
Bertanyalah Nabi, “Apa yang membuat menangis, wahai anak kecil?” anak kecil tersebut masih dalam posisi yang sama; tertunduk menangis sambil memeluk kedua lututnya. Sembari menangis, ia menjawab, “Tinggalkanlah aku, wahai paman.” Ya. Anak kecil tersebut belum mengetahui jika yang di hadapannya adalah Nabi Muhammad Saw.
Sambil terisak-isak, ia melanjutkan, “Ayahku telah meninggal. Dia gugur dalam salah satu peperangan bersama Rasulullah, paman. Sedang ibuku menikah lagi dengan seseorang yang aku tidak mengenalnya dan dia mengambil rumahku, lalu memakan hartaku. Jadilah aku seperti yang paman lihat sekarang. Telanjang, kelaparan, menderita, dan hina.” Ia menghela nafas panjang-panjang. Tangisnya semakin keras. Di antara nafas yang tersengal-sengal ia melanjutkan ceritanya, “Kemudian ketika hari raya datang, semua orang bergembira, termasuk teman-temanku.mereka semua memakai baju baru yang dibelikan orang tua mereka. Kulihat mereka senang sekali. Bertambahlah kesedihanku dan aku menangis.”
Nabi Muhammad Saw. lantas menimpali, “Maukah kamu jika aku menjadi ayahmu, lalu Aisyah menjadi ibumu, Fathimah menjadi kakak perempuanmu, Ali menjadi pamanmu, dan Hasan Husen menjadi saudaramu?”
Anak kecil itu terkejut. Ia baru sadar yang ia ajak bicara adalah Rasulullah Saw. Ia langsung mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya dengan kedua tangannya. “Bagaimana mungkin aku tidak mau, wahai Rasulullah!”
Akhirnya mereka berdua berdiri. Nabi Muhammad menggandeng tangannya dan mengajaknya menuju kediaman beliau Saw. Sesampainya di rumah Nabi, ia disuapi makanan khas hari raya dan dipakaikan pakaian hari raya seperti teman-temannya. Ia tak lagi menangis. Tak lagi merasakan kelaparan dan kepanasan, dan tak lagi hidup sebatang kara. Ia sekarang adalah anak asuh kesayangan Nabi Muhammad Saw.
Sementara Nabi Muhammad meneruskan salat Id bersama para sahabat, ia menemui teman-temannya yang sedang asyik bermain. Mungkin seperti asyiknya anak-anak sekarang bermain petasan. Atau bahkan lebih asyik lagi. Teman-temannya yang awalnya bermain tiba-tiba berhenti setelah ia datang. Mereka terheran melihatnya yang tadinya menangis sendirian sekarang tak henti-hentinya tersenyum “Apa yang membuatmu tertawa girang? Padahal kamu tadi menangis di sana.” Tanya teman-temanya.
Anak kecil itu menjawabnya dengan sumringah, “Iya. Aku tadi sangat lapar, tapi sekarang aku sudah kenyang. Lalu tadi aku telanjang tak memakai baju, tapi sekarang aku sudah punya baju baru seperti kalian. Dan dulu aku tidak punya ayah dan keluarga, tapi sekarang Rasulullah Saw. adalah ayahku, Ibunda Aisyah adalah ibundaku, Fathimah adalah kakak perempuanku, Ali adalah pamanku, lalu Hasan dan Husein adalah saudaraku.”
“Betapa beruntungnya kamu. Andaikan ayah kami gugur dalam salah satu peperangan bersama Rasulullah…” Iya. Andai ayah mereka gugur di medan perang bersama Rasulullah, alangkah bahagianya mereka menjadi anak asuh Rasulullah Saw.
Akhirnya anak kecil itu diasuh Rasulullah Saw. hingga beliau intiqāl ilā rafi’ al-a’lā. Ketika ia telah tumbuh dewasa, dan mendengar berita kewafatan Rasulullah, ia segera berhambur keluar rumah sembari menangis dan menamburkan pasir di atas kepalanya, “Sekarang aku yatim lagi. Sekarang aku bukan siapa-siapa lagi.”
Terlepas cerita di atas dinilai dhaif menurut sebagian ulama, namun hikmah yang dapat kita ambil adalah betapa perhatiannya Rasulullah saw. terhadap anak yatim hingga mengumpamakan orang yang mengasuh anak yatim dalam sebuah hadits, “Anā wa kāfil al-yatīm fī al-jannah, hākadzā. Aku dan orang yang mengasuh anak yatim (kedudukannya) di surga nanti seperti ini (sambil mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau Saw. serta agak merenggangkan keduanya).” [MZ]