Ungkapan sederhana penuh makna yang pembahasannya tak pernah lekang dimakan zaman, tak lain ialah cinta. Dari zaman ke zaman, sejak era feodal hingga era pembebasan seperti sekarang, berbagai macam pengertian dan pandangan tentang cinta masih terus berkelimpahan. Mengapa? Karena cinta ialah fenomena batin bagi siapa saja; tak peduli ia seorang raja atau rakyat jelata, kalangan intelektual atau kriminal, generasi kolonial atau milenial, semua bisa merasakan cinta.
Manusia dengan kepalanya mustahil berhenti untuk berpikir atau memikirkan sesuatu, apalagi terhadap sesuatu yang melekat dengan dirinya. Dengan kapasitas dan kapabilitas daripadanya, tentu ketika seseorang dihadapkan dengan cinta, sedikit banyak ia akan mencoba memahami dan memaknai akan apa dan bagaimana itu cinta. Senaif apa atau sebegitu spektakuler apa pemahaman atas cinta, semua itu adalah upaya mengungkap hakikat cinta.
Tajuddin Abul Fadl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Iskadari asy-Syadzili, atau lebih akrab disapa Imam Ibnu Atha’illah al-Sakandari, merupakan satu di antara sekian banyak tokoh dalam dunia tasawuf yang turut membahas tentang apa dan bagaimana itu cinta. Sebuah masterpiece yang ditulisnya, yang mana kemudian menjadi rujukan dalam bidang ketasawufan sampai juga sekarang yakni Al-Hikam, salah satu pembahasan pokoknya ialah soal apa dan bagaimana itu cinta. Kalau begitu seperti apa hakikat cinta dalam pandangannya?
Salah satu ungkapan Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berbunyi:
“Ada sebagian orang yang Allah jadikan berkhidmat kepada-Nya, dan sebagian lainnya Allah istimewakan dengan mencintai-Nya. Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, mendapatkan bantuan dari kemurahan Rabb-mu. Dan kemurahan Rabb-mu tidak dapat dihalangi.”
Apa maknanya?
Betul, ada dua golongan yang Allah memang jadikan, satu ialah golongan yang ditetapkan untuk berkhidmat atau mengabdi kepada-Nya, satunya lagi ialah golongan yang diistimewakan dengan cinta kepada-Nya. Satu ialah golongan yang harus merasakan susah payah, satunya lagi golongan yang bisa merasa senang saja dalam menjalankan apa yang seharusnya dijalankan. Akan tetapi perlu diperhatikan, semuanya ialah Allah sendiri yang jadikan. Jadi, bukan berarti satu di antara kedua golongan lebih tinggi atau lebih rendah.
Allah menjadikan seseorang termasuk dalam golongan yang ditetapkan untuk berkhidmat ialah dengan kasih karunia-Nya. Begitupun dengan Allah menjadikan seseorang termasuk dalam golongan yang diistimewakan dengan cinta, tak lain juga karena kasih karunia-Nya. Maka dari itu, artinya apa? Dengan kata lain, cinta hakikatnya adalah anugerah. Cinta adalah sebuah anugerah yang ada tidaknya, hadir tidaknya, bukan karena manusia sendiri, melainkan karena pemberian dari Allah yang tidak bisa diganggu gugat.
Sebagaimana kata budayawan terkemuka Sujiwo Tejo, “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir.” Mengapa demikian? “Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi kamu tak bisa merencanakan cintamu untuk siapa.” Ya, kita bisa begitu saja menikahi siapa atau merencanakan untuk menikah dengan siapa; akan tetapi, soal cinta, kita tidak bisa menentukan atau merencanakan kepada siapa kita mencinta; bukan begitu?
Seseorang yang padahal mulanya kita anggap biasa saja, bisa jadi di kemudian hari kita jatuh hati padanya. Bahkan kepada seseorang yang awalnya kita benci setengah mati, tapi di kemudian hari kita jatuh cinta kepadanya; apakah itu mustahil? Tentu tidak. Kenapa? Karena cinta memang tidak datang karena atau daripada diri kita sendiri, melainkan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa.
Begitupun cinta tidak datang dari sesuatu atau seseorang yang kita cintai. Seseorang dengan kecantikan atau ketampanan, tidak meniscayakan kita menjadi cinta kepadanya. Seseorang dengan ketajiran, kemasyhuran, dan/atau kebaikan pribadi daripadanya, tidak menjamin kita akan cinta kepadanya. Suka, mungkin iya. Kagum, mungkin iya. Tapi kalau cinta, tidak ada jaminan untuk itu. Mengapa? karena cinta hakikatnya ialah anugerah dari Allah. Tidak bisa ditawar, tidak bisa diganggu gugat, semua itu murni dan mutlak ketetapan Allah.
Kemudian pada bahagian lain, Ibnu Athaillah mengungkapkan:
“Seorang pecinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari yang dicintainya, atau menuntut sesuatu dari kekasihnya itu. Tapi sejatinya, pecinta adalah orang yang bermurah hati memberi pada kekasihnya, bukan malah memperoleh sesuatu darinya.”
Artinya apa? Cinta adalah soal ketulusan. Cinta adalah soal memberi tanpa mengharap kembali. Ketika seseorang menepis egonya demi yang dicinta, maka itulah cinta. Sedangkan ketika seseorang kok mengharapkan balasan tertentu dari yang katanya dicintai, memberikan sesuatu padanya tapi supaya mendapat imbalan dalam bentuk tertentu daripadanya, itu namanya dagang. Hakikat cinta bukan dagang, tapi keikhlasan atau ketulusan.
Kesejahteraan dan kebahagiaan daripada yang dicinta adalah orientasi daripada seorang pecinta. Hakikat cinta bukan soal apa yang sudah kamu berikan padaku, kebahagiaan apa yang kamu berikan atas segenap pengorbananku; tetapi soal apa yang sudah kuberikan demi kesejahteraan dan kebahagiaanmu. Tidak ada istilah pengorbanan dalam cinta. Seketika kita sudah mulai berpikir ‘pengorbanan’, maka itu tak lain namanya ‘kalkulasi’, bukan lagi cinta.
Lantas apakah tidak ada pengharapan bagi seorang pecinta kepada yang dicinta?
Imam Ibnu Athaillah mengatakan:
“Kenikmatan sejati itu, kendati bermacam bentuknya, sesungguhnya hanyalah dengan menyaksikan dan mendekat kepada Allah. Dan azab itu, walau beragam jenisnya, sesungguhnya hanyalah disebabkan adanya hijab (antara hamba) dengan-Nya. Jadi, sebab azab itu karena adanya hijab, sedang sempurnanya nikmat adalah memandang wajah Yang Mahamulia.”
Artinya, pengharapan seorang pecinta yang sejati tak lain ialah kedekatan dan kebersamaan bersama yang dicinta. Hanya itu dan sekadar itu. Melakukan apapun jika bersama yang dicinta nikmatnya luar biasa, dan melakukan apapun ketika ada halangan terhadap dengan yang dicinta sumpeknya luar biasa. Adanya keinginan untuk senantiasa dekat dan bersama, di situlah adanya cinta.
Akan tetapi, walau demikian, tetaplah kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicinta adalah yang di atas segalanya. Tiada lagi suatu hal yang lebih tinggi daripada senyum tulus bahagia dari dia yang dicinta, bagi seseorang yang cinta kepadanya. Dalam kehidupan, dengan berbagai macam problem dan benturan kebutuhan dan kepentingan, ketika dia yang dicinta menjadi yang nomor satu, menjadi yang diutamakan dan diprioritaskan; maka di situlah ada cinta. Demikianlah hakikat cinta.
Imam Ibnu Athaillah dengan Al-Hikam-nya yang membahas soal cinta, semua itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana definisi umum daripada tasawuf yang merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang dapat sedekat mungkin dengan Allah, Imam Ibnu Athaillah mengungkapkannya dalam bahasan cinta. Betapapun demikian, cinta tetaplah cinta. Cinta adalah anugerah daripada Allah kepada hamba-Nya. Hakikat cinta bukan sebuah kalkulasi, tapi sebuah keikhlasan, ketulusan, dan pengharapan untuk bisa dekat dan bersama yang dicinta.